Saat membangun rumah itulah Jepang lagi musim salju. Apalagi di desa Rustono ini. Yang di lereng gunung. Yang ketinggiannya 900 meter.
Yang saljunya lebih tebal.
Rustono tidak berhenti bekerja. Ia naik ke atap. Menyelesaikan rumahnya. Dengan menggigil kedinginan.
Ternyata kerja bersalju-salju itu tidak sia-sia. Ada wartawan lewat di jalan depan rumahnya. Terheran-heran. Kok ada orang kerja di atas atap. Saat salju lagi turun.
Difotolah itu Rustono.
”Lagi bikin apa?,” teriak si wartawan. Dari mobilnya.
”Membangun impian,’’ jawab Rustono. Antara serius dan bercanda.
Kata ‘membangun impian’ itu membuat si wartawan terpikat. Ia turun dari mobil. Mengajak Rustono bicara. Diwawancara. Tentang filsafat ‘membangun impian’ itu.
Maka terpaparlah ‘membangun impiannya’ Rustono di surat kabar Jepang. Hampir satu halaman penuh. Beserta foto-fotonya.
Dan itu di koran Yumiuri Shimbun. Koran yang sangat besar di Jepang. Saya pernah ke kantor pusatnya. Dulu. Juga ke percetakannya. Dulu.
Koran-koran Jepang juga ikut memberi inspirasi penting bagi saya. Terutama Chunichi Shimbun. Koran terbesar di Jepang Tengah. Di Nagoya: bagaimana koran daerah bisa mengalahkan koran ibukota di daerahnya. Saya ikuti kiat-kiat Chunichi Shimbun. Sampai berhasil.
Yang memotret Rustono itu rajanya koran di seluruh Jepang: Yumiuri Shimbun.
Itulah titik balik Rustono. Dimuat di koran besar. Satu halaman pula.
Restoran-restoran yang pernah ia datangi kaget. Membaca koran itu. mereka pada tilpon. Memesan tempenya. Mereka simpati pada Rustono.
Bukan soal kehebatan tempenya. Tapi pada besarnya tekad anak Indonesia itu. Dalam membangun mimpinya.
Di koran tadi kisah tentang tempenya hanya sekilas. Yang banyak justru tentang impian seorang manusia muda.
”Dari tulisan itu saya belajar. Menjual tempe ternyata tidak harus bercerita tentang tempe,” ujar Rustono.
Sejak itu tempenya terus berkembang. Kini Rustono punya tiga lokasi pembuatan tempe. Semuanya di daerah pegunungan. Dekat rumahnya. Yang sumber airnya banyak. Yang pemandangannya indah.
Di setiap lokasi itu dilengkapi cool storage. Sekali bikin tempe: 1,5 ton kedelai.
Tidak tiap hari ia bikin tempe. Saat saya ke lokasi No 3 nya, tempenya masih tampak kedelai. Di bungkusan-bungkusan plastik. Di jejer-jejer di rak-rak. Baru sehari sebelumnya dibuat.
Rustono baru membuat tempe lagi kalau yang 1,5 ton itu hampir habis terjual. Dan itu tidak lama. Hanya seminggu. Ada pengukur suhu du ruang itu: 35 derajat. Ada tiga kipas angin. Yang bergerak semua.
”Itu untuk memutar udara agar suhunya merata,” ujar Rustono.
Saya amati anak Grobogan ini: penuh energi. Sangat antusias. Optimistis. Khas orang sukses.
Ia juga humble. Sopan. Rendah hati. Khas orang sukses.
Ia selalu tersenyum. Kadang tertawa. Matanya berbinar. Khas orang sukses.
Saat mengunjungi lokasinya yang No 2 ada pemandangan unik. Ada kulkas di lantai bawah. Yang seperti garasi. Ada tulisan ditempel di kulkas itu. Ukurannya cukup besar. Bisa dibaca oleh orang yang lewat di jalan di dekatnya.
Bunyi tulisannya: silakan ambil sendiri. Harganya: 300 yen sebiji.
Ada kaleng berlubang yang digantung di atas kulkas. Itulah kasir Rustono.
Rustono membuka kulkas isi tempe itu. Isinya berkurang. Ia kocok kaleng berlubang itu. Yang ia gantung di atas kulkas itu. Berbunyi kecrek-kecrek. Pertanda ada uang di dalamnya.
Ia buka kaleng itu. Ia tumpahkan isinya. Ada uang lembaran 1000 yen. Ada pula segenggam uang koin.
Siapa saja boleh mengambil tempe di kulkas itu. Ia percaya semua orang Jepang pasti memasukkan uang ke kaleng itu. Sesuai harganya. (dahlan iskan / bersambung)