30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bukan Lagi Sekadar Trump Lawan Hillary

Tuduhan-tuduhan Trump yang sangat pribadi seperti itu memang ampuh sebagai pembangkit emosi sesaat. Sebaliknya cap itu akan menempel terus pada korbannya. Seumur hidup. Terbunuhlah karakter. Karir anak muda seperti Rubio bisa habis selamanya. Si kecil Rubio akan jadi panggilannya yang abadi.

Memang begitu banyak yang marah pada Trump: pimpinan partainya, kader-kader asli partai, wanita, keturunan Spanyol, Meksiko, RRT, Jepang, Eropa, Islam dan kaum globalis. Dua mantan presiden dari Republik, George Bush dan bapak ya, bikin pernyataan: tidak akan mendukung Trump. Grup band Rolling Stone melarang Trump menggunakan lagu-lagunya. Penyanyi Inggris Adele juga bersikap sama.

Tapi berbagai senjata untuk menghentikan Trump ternyata tumpul. Trump melaju sendirian. Dua calon presiden lainnya sudah lempar handuk.

Partai pun pasrah. Apa boleh buat. Trump praktis hampir resmi jadi calon presiden dari partai Republik. Berhadapan dengan calon dari partai Demokrat Hillary Clinton. Rencana mengganjal Trump di konvensi menjadi tidak relevan. Trump bukan hanya menang. Tapi juga berhasil mencapai angka kemenangan yang mutlak.

Memang awalnya tidak mengkhawatirkan. Hasil semua survey jelas: Hillary pasti menang. Bahkan dilawankan Bernie Sanders pun Trump pasti kalah. Tapi pasang naik Trump belakangan ini mulai mengubah peta. Kemenangan berturut-turut di 11 pemilu negara bagian terakhir ini bisa seperti Jamie Vardi di klub sepakbola Inggris Leicester (baca: Lesster, bukan leicerter). Terus menerus mencetak gol di 11 pertandingan.

Trump berhasil terus menguasai panggung. Trump terus happening. Akibatnya Hillary mulai terlihat biasa-biasa saja. Ini bukan lagi Trump lawan Hillary. Tapi baru lawan lama. Tidak biasa lawan biasa. Urakan lawan santun.

Kecuali Hillary menemukan angin baru. Yang membuatnya kembali berkibar.

Tapi bagaimana dengan kebencian yang begitu banyak pada Trump?
Seorang penulis di The New York Times dengan nada sinis minta pembacanya agar tidak terlalu khawatir. Tulisnya: Trump itu pragmatis. Bisa gampang berubah. Segampang dia mengganti isterinya.(*)

Tuduhan-tuduhan Trump yang sangat pribadi seperti itu memang ampuh sebagai pembangkit emosi sesaat. Sebaliknya cap itu akan menempel terus pada korbannya. Seumur hidup. Terbunuhlah karakter. Karir anak muda seperti Rubio bisa habis selamanya. Si kecil Rubio akan jadi panggilannya yang abadi.

Memang begitu banyak yang marah pada Trump: pimpinan partainya, kader-kader asli partai, wanita, keturunan Spanyol, Meksiko, RRT, Jepang, Eropa, Islam dan kaum globalis. Dua mantan presiden dari Republik, George Bush dan bapak ya, bikin pernyataan: tidak akan mendukung Trump. Grup band Rolling Stone melarang Trump menggunakan lagu-lagunya. Penyanyi Inggris Adele juga bersikap sama.

Tapi berbagai senjata untuk menghentikan Trump ternyata tumpul. Trump melaju sendirian. Dua calon presiden lainnya sudah lempar handuk.

Partai pun pasrah. Apa boleh buat. Trump praktis hampir resmi jadi calon presiden dari partai Republik. Berhadapan dengan calon dari partai Demokrat Hillary Clinton. Rencana mengganjal Trump di konvensi menjadi tidak relevan. Trump bukan hanya menang. Tapi juga berhasil mencapai angka kemenangan yang mutlak.

Memang awalnya tidak mengkhawatirkan. Hasil semua survey jelas: Hillary pasti menang. Bahkan dilawankan Bernie Sanders pun Trump pasti kalah. Tapi pasang naik Trump belakangan ini mulai mengubah peta. Kemenangan berturut-turut di 11 pemilu negara bagian terakhir ini bisa seperti Jamie Vardi di klub sepakbola Inggris Leicester (baca: Lesster, bukan leicerter). Terus menerus mencetak gol di 11 pertandingan.

Trump berhasil terus menguasai panggung. Trump terus happening. Akibatnya Hillary mulai terlihat biasa-biasa saja. Ini bukan lagi Trump lawan Hillary. Tapi baru lawan lama. Tidak biasa lawan biasa. Urakan lawan santun.

Kecuali Hillary menemukan angin baru. Yang membuatnya kembali berkibar.

Tapi bagaimana dengan kebencian yang begitu banyak pada Trump?
Seorang penulis di The New York Times dengan nada sinis minta pembacanya agar tidak terlalu khawatir. Tulisnya: Trump itu pragmatis. Bisa gampang berubah. Segampang dia mengganti isterinya.(*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/