28 C
Medan
Thursday, November 21, 2024
spot_img

Nasmod untuk Rintisan dan Terobosan

Dahlan Iskan saat meresmikan taman-listrik buatan putra petir.
Dahlan Iskan saat meresmikan taman-listrik buatan putra petir.

Beginilah ceritanya: mengapa teknologi penemuan ahli-ahli kita sendiri kalah dengan teknologi dari luar negeri. Teknologi temuan ahli kita kurang memiliki kesempatan untuk diterapkan. Akibatnya, peluang untuk dilihat kekurangannya pun kecil. Padahal tanpa tahu kekurangannya bagaimana bisa disempurnakan? Padahal tidak ada teknologi yang begitu diciptakan bisa langsung sempurna.

Mengapa sulit dapat kesempatan untuk diterapkan?
Saya juga baru tahu lima tahun lalu. Saat itu saya menjadi Dirut PLN. Tahu saya pun setelah saya kebentur-bentur di sana-sini.

Sebetulnya kalau saya masa bodoh sih tidak akan ada resiko. Tapi saya tidak bisa begitu. Misalnya, saya tahu kita pasti mampu membuat travo 500 kva. Pasti! Memang sulitnya luar biasa. Tapi pasti mampu.

Lalu mengapa kita selalu saja harus impor? Padahal harganya, saat itu, Rp 120 miliar per satu buah.

Semua itu berawal dari sistem tender. Apakah itu permainan tender? Bisa iya, bisa tidak.

Yang membuat harganya sampai Rp 120 miliar/buah tentulah ada unsur permainannya, meski mungkin tidak bisa ditemukan unsur pidananya. Maka sistem tender lama kami ubah: harganya pun anjlok tinggal Rp 37 miliar/buah. Tentu banyak yang marah. Tapi kami cuek saja.

Itu tidak sulit.

Yang sulit adalah ini: dalam ketentuan suatu tender kadang ada syarat yang sama sekali tidak memungkinkan sebuah penemuan baru bisa ikut tender.

Misalnya bila dalam tender itu ada syarat begini: barang tersebut sudah harus terbukti pernah dipakai secara komersial selama tiga tahun dan terbukti handal. Bahkan bisa saja ada tambahan syarat begini: harus pernah dipakai di negara tropis selama tiga tahun.

Mengapa ada syarat seperti itu? Kadang memang harus. Kalau tidak, bisa-bisa panitia tendernya akan terkena perkara: dianggap kongkalingkong dengan produsen baru. Apalagi kalau barang itu nanti kurang bagus di sana-sini. Atau terbukti kurang handal. Atau kalah efisien. Matilah panitianya.

Tapi dengan ketentuan seperti itu matilah para penemu teknologi baru. Padahal penemuan baru pasti memiliki kekurangan. Justru dari situlah penyempurnaan dilakukan.

Jangankan penemuan baru. Penemuan lama pun begitu. Hanya saja kalau kekurangan itu terjadi pada teknologi yang sudah banyak dipakai, panitia tender tidak akan disalahkan. Tapi kalau itu terjadi di teknologi baru panitia akan babak belur. Yang dibilang ceroboh. Yang dibilang ada permainan. Yang dibilang kok berani-berainya. Dan seterusnya.

Tapi dalam hal travo 500 kva tersebut, waktu itu, kami agak nekat. Apalagi ini bukan soal penemuan baru. Ini hanya aplikasi baru. Pasti bisa. Tidak boleh lagi impor. Harus bikin di dalam negeri.

Dan ternyata bisa. Sampai sekarang. Tidak perlu impor lagi.

Dahlan Iskan saat meresmikan taman-listrik buatan putra petir.
Dahlan Iskan saat meresmikan taman-listrik buatan putra petir.

Beginilah ceritanya: mengapa teknologi penemuan ahli-ahli kita sendiri kalah dengan teknologi dari luar negeri. Teknologi temuan ahli kita kurang memiliki kesempatan untuk diterapkan. Akibatnya, peluang untuk dilihat kekurangannya pun kecil. Padahal tanpa tahu kekurangannya bagaimana bisa disempurnakan? Padahal tidak ada teknologi yang begitu diciptakan bisa langsung sempurna.

Mengapa sulit dapat kesempatan untuk diterapkan?
Saya juga baru tahu lima tahun lalu. Saat itu saya menjadi Dirut PLN. Tahu saya pun setelah saya kebentur-bentur di sana-sini.

Sebetulnya kalau saya masa bodoh sih tidak akan ada resiko. Tapi saya tidak bisa begitu. Misalnya, saya tahu kita pasti mampu membuat travo 500 kva. Pasti! Memang sulitnya luar biasa. Tapi pasti mampu.

Lalu mengapa kita selalu saja harus impor? Padahal harganya, saat itu, Rp 120 miliar per satu buah.

Semua itu berawal dari sistem tender. Apakah itu permainan tender? Bisa iya, bisa tidak.

Yang membuat harganya sampai Rp 120 miliar/buah tentulah ada unsur permainannya, meski mungkin tidak bisa ditemukan unsur pidananya. Maka sistem tender lama kami ubah: harganya pun anjlok tinggal Rp 37 miliar/buah. Tentu banyak yang marah. Tapi kami cuek saja.

Itu tidak sulit.

Yang sulit adalah ini: dalam ketentuan suatu tender kadang ada syarat yang sama sekali tidak memungkinkan sebuah penemuan baru bisa ikut tender.

Misalnya bila dalam tender itu ada syarat begini: barang tersebut sudah harus terbukti pernah dipakai secara komersial selama tiga tahun dan terbukti handal. Bahkan bisa saja ada tambahan syarat begini: harus pernah dipakai di negara tropis selama tiga tahun.

Mengapa ada syarat seperti itu? Kadang memang harus. Kalau tidak, bisa-bisa panitia tendernya akan terkena perkara: dianggap kongkalingkong dengan produsen baru. Apalagi kalau barang itu nanti kurang bagus di sana-sini. Atau terbukti kurang handal. Atau kalah efisien. Matilah panitianya.

Tapi dengan ketentuan seperti itu matilah para penemu teknologi baru. Padahal penemuan baru pasti memiliki kekurangan. Justru dari situlah penyempurnaan dilakukan.

Jangankan penemuan baru. Penemuan lama pun begitu. Hanya saja kalau kekurangan itu terjadi pada teknologi yang sudah banyak dipakai, panitia tender tidak akan disalahkan. Tapi kalau itu terjadi di teknologi baru panitia akan babak belur. Yang dibilang ceroboh. Yang dibilang ada permainan. Yang dibilang kok berani-berainya. Dan seterusnya.

Tapi dalam hal travo 500 kva tersebut, waktu itu, kami agak nekat. Apalagi ini bukan soal penemuan baru. Ini hanya aplikasi baru. Pasti bisa. Tidak boleh lagi impor. Harus bikin di dalam negeri.

Dan ternyata bisa. Sampai sekarang. Tidak perlu impor lagi.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/