Bedanya, saat Jepang mengalami itu, demokrasinya sudah sangat matang. Tiongkok belum menjadi negara demokrasi. Entah itu kekuatan atau kelemahan. Mungkin saja itu justru menjadi kekuatan daripada, misalnya, masih dalam status negara demokrasi setengah matang.
Jebakan utang Tiongkok itu terlihat dari angka ini:
1. Utang negara dan utang perusahaan di Tiongkok sudah mencapai USD 26 triliun. Tertinggi di dunia.
2.Utang itu sudah mencapai rasio 250 persen dari GDB Tiongkok yang sekitar USD 10 triliun.
3. Rasio sebesar itu — dalam doktrin negara-negara Eropa — sudah memasuki tahap yang perlu di-bailout. Artinya, kalau tidak di-bailout, memasuki tahap kebangkrutan.
4. Untuk menurunkan rasio itu, utangnya tidak boleh tambah, tapi ekonominya harus tumbuh tinggi. Atau, utangnya boleh tambah sedikit, tapi pertumbuhan ekonominya harus tumbuh besar.
5. Secara teori, tanpa tambah utang, ekonomi tidak mungkin tumbuh. Di sinilah jebakannya itu.
6. Suku bunga harus rendah. Tapi, tanpa utang baru, likuiditas akan ketat. Itu berarti suku bunga pinjaman atau obligasi akan terpaksa tinggi. Di sini terlihat juga jebakannya.
Kenyataan di atas sudah mirip persoalan ayam dan telur. Bahkan sudah masuk ke persoalan buah simalakama. Hanya, berbeda dengan negara lain, masih banyak faktor positif yang dimiliki Tiongkok:
1. Cadangan devisanya USD 4 triliun. Tertinggi di dunia. Negara lain akan berada dalam bahaya kalau cadangan devisanya hanya cukup untuk membiayai impor selama dua minggu. Cadangan devisa Tiongkok itu bisa digunakan untuk membiayai impornya selama — wooww — beberapa tahun.
2. Hitungan GDB Tiongkok tadi belum termasuk kekayaan CIC, perusahaan investasi negara yang melakukan investasi di luar negeri.
3. Pengendalian jumlah penduduknya berhasil. Karena itu, pemberian izin untuk memiliki lebih dari satu anak dilakukan dengan sangat selektif.
4. Utang-utang luar negeri tersebut umumnya berbentuk mata uang renminbi/yuan. Bukan dolar. Itu tidak akan menggerus cadangan devisa.
Saya sudah menduga Tiongkok akan memainkan yuan untuk mengatasi jebakan utangnya itu. Tapi, saya tidak menduga kalau devaluasi yang akhirnya dilakukan.
Semua kesulitan ternyata ada jalan keluarnya. Setinggi apa pun kesulitan itu. (*)