31.7 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Cetak Sawah Perlu Waktu Tahunan

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Harapan agar Indonesia bisa mencukupi kebutuhan beras sehingga tidak perlu impor, bisa jadi bakal sebatas angan. Sebab, terobosan untuk mengurai krisis beras malah dianggap sebagai masalah.

Itulah yang tengah dihadapi Dahlan Iskan dengan gagasan cetak sawahnya di Ketapang, Kalimantan Barat. Kemarin (30/6) dia memenuhi panggilan penyidik Bareskrim Polri sebagai saksi terkait dengan persoalan tersebut.

Dahlan datang di Bareskrim pukul 08.45. Dia menghadapi penyidik selama hampir enam jam. Setelah menjalani pemeriksaan, sekitar pukul 15.00, mantan menteri BUMN itu menjelaskan, program cetak sawah tersebut digagas untuk menggantikan sawah-sawah yang tiap tahun jumlahnya berkurang karena terdesak perumahan dan industri.

Program cetak sawah tersebut awalnya dipercayakan kepada PT Sang Hyang Seri (SHS). Perusahaan negara itu lantas menggalang konsorsium dengan BUMN lain. Yakni, PT Hutama Karya, PT Brantas Abipraya, serta PT Yodya Karya. “Saat itu, yang dilaporkan ke saya tanah yang sudah di-land clearing (pembukaan lahan) seluas 4 ribu hektare dan yang ditanami seribu hektare,” jelas Dahlan.

Dia mengakui bahwa hasil program tersebut belum memuaskan. Sebab, menurut teori, hasil cetak sawah baru bisa dilihat setelah empat tahun. Semangat Kementerian BUMN saat itu adalah menjadikan cetak sawah sebagai “Universitas Sawah Baru”. Artinya, BUMN dan masyarakat belajar bersama menangani persoalan sawah. Mulai mengatasi kondisi fisik tanah (lahan gambut) hingga penataan pengairan.

“Nah, karena kurang berhasil, di akhir masa jabatan sebagai menteri, saya minta program itu dialihkan dari PT SHS ke PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC),” terangnya.

Kebijakan tersebut dilakukan karena Dahlan menilai PT PIHC sebagai perusahaan raksasa yang punya kemampuan lebih bagus. Apalagi kebutuhan terbesar program cetak sawah adalah pengadaan pupuk yang tidak lain merupakan bisnis inti PT PIHC.

PT PIHC pun sebenarnya mulai mengerjakan lahan 100 hektare. Diharapkan, ketika 100 hektare tersebut berjalan dengan baik, cetak sawah kembali diperluas. “Karena itu, saya mohon sawah ini dilanjutkan. Sebab, telanjur ada 4 ribu hektare lahan yang dibuka,” ungkapnya.

Dahlan yakin PT PIHC mampu melanjutkan proyek cetak sawah apabila ada dorongan yang kuat dari pihak terkait. Dia pun berharap program tersebut bisa berjalan kembali karena para petani di Ketapang memang telah menanti.

Yang disampaikan Dahlan itu diamini sejumlah petani di Ketapang. Salah satunya Nasrudi, petani asal Desa Sukanaju. Dia menyebut program cetak sawah itu sangat bermanfaat. “Dua ratus persen bermanfaat buat petani. Siapa yang bilang tidak bermanfaat” Ayo ketemu dengan saya,” tegasnya.

Nasrudin sempat menikmati panen dari cetak sawah seluas 3 hektare. Saat itu, dia berhasil panen 2 ton per hektare. “Hasilnya juga padi bibit unggul. Padahal, biasanya masyarakat hanya bisa menanam bibit biasa,” ujarnya.

Senada dengan Dahlan, Nasrudin menyadari, program cetak sawah tidak mungkin bisa langsung memuaskan pada awal. Sebab, tanah yang digarap selama ini adalah lahan yang tidak termanfaatkan. Dia yakin hasil program sangat luar biasa pada 2″3 kali penanaman. Sebab, teknologi yang diterapkan pada cetak sawah sangat bagus. Termasuk penggunaan bibit dan pupuknya.

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Harapan agar Indonesia bisa mencukupi kebutuhan beras sehingga tidak perlu impor, bisa jadi bakal sebatas angan. Sebab, terobosan untuk mengurai krisis beras malah dianggap sebagai masalah.

Itulah yang tengah dihadapi Dahlan Iskan dengan gagasan cetak sawahnya di Ketapang, Kalimantan Barat. Kemarin (30/6) dia memenuhi panggilan penyidik Bareskrim Polri sebagai saksi terkait dengan persoalan tersebut.

Dahlan datang di Bareskrim pukul 08.45. Dia menghadapi penyidik selama hampir enam jam. Setelah menjalani pemeriksaan, sekitar pukul 15.00, mantan menteri BUMN itu menjelaskan, program cetak sawah tersebut digagas untuk menggantikan sawah-sawah yang tiap tahun jumlahnya berkurang karena terdesak perumahan dan industri.

Program cetak sawah tersebut awalnya dipercayakan kepada PT Sang Hyang Seri (SHS). Perusahaan negara itu lantas menggalang konsorsium dengan BUMN lain. Yakni, PT Hutama Karya, PT Brantas Abipraya, serta PT Yodya Karya. “Saat itu, yang dilaporkan ke saya tanah yang sudah di-land clearing (pembukaan lahan) seluas 4 ribu hektare dan yang ditanami seribu hektare,” jelas Dahlan.

Dia mengakui bahwa hasil program tersebut belum memuaskan. Sebab, menurut teori, hasil cetak sawah baru bisa dilihat setelah empat tahun. Semangat Kementerian BUMN saat itu adalah menjadikan cetak sawah sebagai “Universitas Sawah Baru”. Artinya, BUMN dan masyarakat belajar bersama menangani persoalan sawah. Mulai mengatasi kondisi fisik tanah (lahan gambut) hingga penataan pengairan.

“Nah, karena kurang berhasil, di akhir masa jabatan sebagai menteri, saya minta program itu dialihkan dari PT SHS ke PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC),” terangnya.

Kebijakan tersebut dilakukan karena Dahlan menilai PT PIHC sebagai perusahaan raksasa yang punya kemampuan lebih bagus. Apalagi kebutuhan terbesar program cetak sawah adalah pengadaan pupuk yang tidak lain merupakan bisnis inti PT PIHC.

PT PIHC pun sebenarnya mulai mengerjakan lahan 100 hektare. Diharapkan, ketika 100 hektare tersebut berjalan dengan baik, cetak sawah kembali diperluas. “Karena itu, saya mohon sawah ini dilanjutkan. Sebab, telanjur ada 4 ribu hektare lahan yang dibuka,” ungkapnya.

Dahlan yakin PT PIHC mampu melanjutkan proyek cetak sawah apabila ada dorongan yang kuat dari pihak terkait. Dia pun berharap program tersebut bisa berjalan kembali karena para petani di Ketapang memang telah menanti.

Yang disampaikan Dahlan itu diamini sejumlah petani di Ketapang. Salah satunya Nasrudi, petani asal Desa Sukanaju. Dia menyebut program cetak sawah itu sangat bermanfaat. “Dua ratus persen bermanfaat buat petani. Siapa yang bilang tidak bermanfaat” Ayo ketemu dengan saya,” tegasnya.

Nasrudin sempat menikmati panen dari cetak sawah seluas 3 hektare. Saat itu, dia berhasil panen 2 ton per hektare. “Hasilnya juga padi bibit unggul. Padahal, biasanya masyarakat hanya bisa menanam bibit biasa,” ujarnya.

Senada dengan Dahlan, Nasrudin menyadari, program cetak sawah tidak mungkin bisa langsung memuaskan pada awal. Sebab, tanah yang digarap selama ini adalah lahan yang tidak termanfaatkan. Dia yakin hasil program sangat luar biasa pada 2″3 kali penanaman. Sebab, teknologi yang diterapkan pada cetak sawah sangat bagus. Termasuk penggunaan bibit dan pupuknya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/