30 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Kyai Ahong dari Makam Wali Ningxia

Sebelum kembali lagi ke Amerika, Dahlan Iskan beberapa hari di daerah Muslim Tiongkok, di perbatasan Korea Utara dan di perbatasan Russia. Ini kisahnya:

New Hope-Dahlan Iskan

Inilah pengalaman saya Jumatan di salah satu dari 3.100 masjid di propinsi Ningxia, Tiongkok bagian barat.

Saya memilih masjid ini demi kepraktisan. Lokasinya di tengah kota. Kota Wuzhong, dua jam dari Yinchun, ibukota propinsi Ningxia.

Masjid ini bersebelahan dengan restoran. Selama saya Jumatan istri saya bisa makan siang. Bersama beberapa teman Tiongkok yang mengaku bertuhan tapi tidak beragama.

Sebenarnya saya bisa Jumatan di satu masjid berumur 600 tahun. Bahkan ada dua yang segitu tuanya. Sama-sama besarnya. Sama-sama seperti kelenteng bentuknya. Yang pagi itu juga sama-sama saya kunjungi. Yang dua jam jaraknya dari Wuzhong.

Tapi hari masih terlalu pagi. Lebih baik saya jalan lagi. Waktu yang tersedia bisa saya manfaatkan untuk ziarah. Ke makam wali penyebar Islam di Ningxia: Kyai Hong Shou-lin.

Saya membayangkan betapa sulitnya Kyai Hong Shou-lin membawa Islam ke Tiongkok. Hingga ada 70 juta orang Islam di sana saat ini.

Makam ini letaknya di tengah gurun pasir. Dua jam naik mobil dari kota Wuzhong, tempat saya Jumatan tadi. Tidak ada kampung di dekat makam ini.

Dari jarak setengah jam saya sudah bisa melihat makam itu. Dari menara-menaranya yang tinggi. Begitu megahnya semula saya pikir itu masjid besar. Ada empat menara setinggi menara masjid Istiqlal Jakarta. Di tengah menara-menara hijau itu terlihat qubah besar yang juga berwarna hijau.

Itukah masjid utama di komplek makam waliullah ini?
Ternyata bukan. Menara-menara itu, dan kubah besar itu, ternyata hanya pintu gerbangnya. Di balik bangunan gerbang ini masih banyak bangunan lain. Masing-masing memiliki gerbang sendiri. Juga menaranya sendiri.

Yang paling belakang barulah bangunan seperti masjid. Saya menapaki tangga-tangganya. Ternyata ini juga bukan masjid. Inilah makamnya.

Tiga orang terlihat sedang berdoa di dekat makam itu. Satu orang lagi, tua, berada di lantai atas. Lagi menyimak kitab.

Saya tidak mau menegur mereka. Agar tidak mengganggu. Saya langsung menyiapkan diri untuk sembahyang sunnah. Menghadap searah dengan mihrab, tempat imam, yang lagi kosong.

Begitu melakukan gerakan takbiratul ikram (gerakan pertama salat dengan mengangkat kedua tangan sampai setinggi telinga) orang yang menyimak kitab tadi berteriak-teriak ke arah saya. Marah-marah.

Saya membatalkan sembahyang saya. Saya datangi dia.

“Saya tidak mengerti mengapa Anda marahi saya,” kata saya. Dalam bahasa Mandarin.

“Anda ini Islam atau bukan?”
“Islam,” jawab saya.

“Kok tidak tahu cara sembahyang?,” tanyanya masih dengan nada tinggi.

Saya memahami sikapnya itu. Orang Islam di Tiongkok umumnya curiga dengan orang asing. Atau orang yang bukan suku Hui.

“Apanya yang salah?,” tanya saya.

“Menghadap ke mana sembahyangmu itu,” tegurnya.

Oh, saya tahu.

Saya tadi ternyata menghadap ke utara. Bukan menghadap ke barat.

Lalu saya jelaskan bahwa saya tadi hanya mengikuti arah mihrab. Tempat imam. Begitulah di Indonesia.

“Itu bukan tempat imam,” katanya, “itu kamar saya”.

Saya baru sadar bahwa ini kan bukan madjid. Tidak ada tempat imam. Ini bangunan makam. Meski bentuknya, besarnya dan penataan karpetnya persis seperti masjid.

Saya pun kembali salat. Dengan arah yang benar. Lalu membaca Qur’an.

Usai ziarah, di halaman tengah komplek ini, saya bertemu dengan rombongan yang berdoa tadi.

Dialah yang memberitahu saya siapa yang dimakamkan di situ. “Beliau itu wali Allah,” katanya. Rombongan itu sendiri datang dari satu desa sekitar 30 menit dari situ. Ternyata dia juga seorang kyai. Yang di Tiongkok disebut Ahong.

Sebelum kembali lagi ke Amerika, Dahlan Iskan beberapa hari di daerah Muslim Tiongkok, di perbatasan Korea Utara dan di perbatasan Russia. Ini kisahnya:

New Hope-Dahlan Iskan

Inilah pengalaman saya Jumatan di salah satu dari 3.100 masjid di propinsi Ningxia, Tiongkok bagian barat.

Saya memilih masjid ini demi kepraktisan. Lokasinya di tengah kota. Kota Wuzhong, dua jam dari Yinchun, ibukota propinsi Ningxia.

Masjid ini bersebelahan dengan restoran. Selama saya Jumatan istri saya bisa makan siang. Bersama beberapa teman Tiongkok yang mengaku bertuhan tapi tidak beragama.

Sebenarnya saya bisa Jumatan di satu masjid berumur 600 tahun. Bahkan ada dua yang segitu tuanya. Sama-sama besarnya. Sama-sama seperti kelenteng bentuknya. Yang pagi itu juga sama-sama saya kunjungi. Yang dua jam jaraknya dari Wuzhong.

Tapi hari masih terlalu pagi. Lebih baik saya jalan lagi. Waktu yang tersedia bisa saya manfaatkan untuk ziarah. Ke makam wali penyebar Islam di Ningxia: Kyai Hong Shou-lin.

Saya membayangkan betapa sulitnya Kyai Hong Shou-lin membawa Islam ke Tiongkok. Hingga ada 70 juta orang Islam di sana saat ini.

Makam ini letaknya di tengah gurun pasir. Dua jam naik mobil dari kota Wuzhong, tempat saya Jumatan tadi. Tidak ada kampung di dekat makam ini.

Dari jarak setengah jam saya sudah bisa melihat makam itu. Dari menara-menaranya yang tinggi. Begitu megahnya semula saya pikir itu masjid besar. Ada empat menara setinggi menara masjid Istiqlal Jakarta. Di tengah menara-menara hijau itu terlihat qubah besar yang juga berwarna hijau.

Itukah masjid utama di komplek makam waliullah ini?
Ternyata bukan. Menara-menara itu, dan kubah besar itu, ternyata hanya pintu gerbangnya. Di balik bangunan gerbang ini masih banyak bangunan lain. Masing-masing memiliki gerbang sendiri. Juga menaranya sendiri.

Yang paling belakang barulah bangunan seperti masjid. Saya menapaki tangga-tangganya. Ternyata ini juga bukan masjid. Inilah makamnya.

Tiga orang terlihat sedang berdoa di dekat makam itu. Satu orang lagi, tua, berada di lantai atas. Lagi menyimak kitab.

Saya tidak mau menegur mereka. Agar tidak mengganggu. Saya langsung menyiapkan diri untuk sembahyang sunnah. Menghadap searah dengan mihrab, tempat imam, yang lagi kosong.

Begitu melakukan gerakan takbiratul ikram (gerakan pertama salat dengan mengangkat kedua tangan sampai setinggi telinga) orang yang menyimak kitab tadi berteriak-teriak ke arah saya. Marah-marah.

Saya membatalkan sembahyang saya. Saya datangi dia.

“Saya tidak mengerti mengapa Anda marahi saya,” kata saya. Dalam bahasa Mandarin.

“Anda ini Islam atau bukan?”
“Islam,” jawab saya.

“Kok tidak tahu cara sembahyang?,” tanyanya masih dengan nada tinggi.

Saya memahami sikapnya itu. Orang Islam di Tiongkok umumnya curiga dengan orang asing. Atau orang yang bukan suku Hui.

“Apanya yang salah?,” tanya saya.

“Menghadap ke mana sembahyangmu itu,” tegurnya.

Oh, saya tahu.

Saya tadi ternyata menghadap ke utara. Bukan menghadap ke barat.

Lalu saya jelaskan bahwa saya tadi hanya mengikuti arah mihrab. Tempat imam. Begitulah di Indonesia.

“Itu bukan tempat imam,” katanya, “itu kamar saya”.

Saya baru sadar bahwa ini kan bukan madjid. Tidak ada tempat imam. Ini bangunan makam. Meski bentuknya, besarnya dan penataan karpetnya persis seperti masjid.

Saya pun kembali salat. Dengan arah yang benar. Lalu membaca Qur’an.

Usai ziarah, di halaman tengah komplek ini, saya bertemu dengan rombongan yang berdoa tadi.

Dialah yang memberitahu saya siapa yang dimakamkan di situ. “Beliau itu wali Allah,” katanya. Rombongan itu sendiri datang dari satu desa sekitar 30 menit dari situ. Ternyata dia juga seorang kyai. Yang di Tiongkok disebut Ahong.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/