28.9 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Kyai Ahong dari Makam Wali Ningxia

Kalau lagi tidak liburan musim panas, ada 200an santri yang mondok di komplek makam ini, katanya.

Masih adakah keturunan wali ini? Masih. Cucunya. Yang sekarang juga jadi tokoh agama. Dan tokoh politik. Tinggalnya di ibukota propinsi Ningxia, Yinchun. Namanya kyai (Ahong) Hong Yang. Beliau tamatan Beijing University, Harvard-nya Tiongkok. Kini juga menjabat wakil ketua DPRD propinsi Ningxia.

Tiga hari saya keliling propinsi ini. Terutama ke gurun pasir Gobi. Untuk meninjau pembangkit listrik tenaga angin. Yang lagi dibangun besar-besaran di gurun pasir itu. Yang satu kincirnya sudah bisa menghasilkan 2 MW.

Dalam perjalanan dua jam berikutnya saya melintasi desa-desa pertanian Tiongkok. Tapi perasaan saya seperti melintasi desa-desa di Lombok: begitu banyak masjidnya. Tiap desa pasti ada satu atau dua masjid besar. Terlihat dari menara-menara tingginya. Satu masjid umumnya memiliki tiga menara.

Akhirnya saya tiba di masjid besar kota Wuzhong. Masih ada waktu setengah jam untuk menemani istri dan teman-teman saya makan siang. Tapi saya memilih ke masjid lebih awal. Ada dzikir tertentu yang harus saya lakukan sebelum Jumatan itu.

Tepat jam 13.00 imam masjid tiba dan duduk di dekat mihrab. Tujuh orang lainnya, yang semua berpakaian persis imam, duduk berjajar di belakangnya. Saya mengembalikan tasbih dan duduk di barisan berikutnya. Masjid yang di lantai dua itu sudah mulai penuh.

Sang imam berbalik menghadap ke jamaah. Lalu bersama-sama melafalkan sholawat nabi. Dibaca dari buku tipis.

Ada dua podium di masjid itu. Yang satu di dekat tempat imam. Bentuknya mirip podium pidato. Satunya dihiasi ukiran.

Tepat jam 13.30 seorang pengurus tampil ke dekat imam. Membawa dua lidi hio. Seperti di kelenteng. Lidi hio itu dibakar ujungnya. Lalu ditancapkan di dupa.

Saat itulah sang imam berdiri menuju podium. Pidato. Ceramah agama. Dalam bahasa Mandarin. Tanpa assalamualaikum.

Lima belas menit kemudian, ada adzan. Lalu salat sunnah empat rakaat.

Sesaat kemudian salah satu dari tujuh orang tadi berdiri. Menuju podium berukir. Mengambil tongkat. Dan mulai mendendangkan kalimat-kalimat berbahasa Arab.

Semula saya pikir ini bilal sebelum khotib naik mimbar. Tapi dendangnya kok tidak selesai-selesai. Lima menit kemudian dia duduk sekedipan mata lalu mendendangkan lagi kalimat-kalimat berbahasa Arab dengan lagu mengalun-alun.

Dendang itu secara total sekitar 7 menit.

Lalu ada qamah. Tanda salat segera dimulai.

Oh, dendang tadi ternyata khotbah. Dia Bukan bilal, tapi khotib.

Begitu singkat dan simple khotbah ini. Karena itu rupanya ada ceramah sebelumnya. Kalau mengandalkan isi khotbahnya saja pasti tidak banyak yang paham apa maksudnya.

Habis Jumat saya ngobrol dengan beberapa anak muda di serambi masjid. Ternyata mereka para ustadz madrasah. Dari propinsi lain: Yunnan.

Saya pun bertanya apakah di Yunnan khotbahnya juga dilagukan.

“Tidak,” katanya.

Saya tahu Islam di Tiongkok hampir semuanya bermadzhab Hanafi. Dan hampir semuanya penganut tarekat. Satu prinsip yang mengutamakan hubungan batiniyah. Bukan hanya lahiriyah.

Tapi umumnya tarekat mereka terbelah dalam aliran-aliran sufi yang sangat banyak.

Wali tadi misalnya, mengajarkan filsafat sufi Khuffiyah. Dzikr Khuffiyah. Di seberangnya ada aliran Jahriyyah. Sedang anak muda dari Yunnan tadi mengaku menganut Qadiriyah.

Selama 35 tahun terakhir mengikuti perkembangan Tiongkok saya melihat ini: kian banyak anak muda datang ke masjid. Ini sangat berbeda dengan 35 tahun lalu yang kalau ke masjid hanya melihat orang-orang yang renta. (*)

Kalau lagi tidak liburan musim panas, ada 200an santri yang mondok di komplek makam ini, katanya.

Masih adakah keturunan wali ini? Masih. Cucunya. Yang sekarang juga jadi tokoh agama. Dan tokoh politik. Tinggalnya di ibukota propinsi Ningxia, Yinchun. Namanya kyai (Ahong) Hong Yang. Beliau tamatan Beijing University, Harvard-nya Tiongkok. Kini juga menjabat wakil ketua DPRD propinsi Ningxia.

Tiga hari saya keliling propinsi ini. Terutama ke gurun pasir Gobi. Untuk meninjau pembangkit listrik tenaga angin. Yang lagi dibangun besar-besaran di gurun pasir itu. Yang satu kincirnya sudah bisa menghasilkan 2 MW.

Dalam perjalanan dua jam berikutnya saya melintasi desa-desa pertanian Tiongkok. Tapi perasaan saya seperti melintasi desa-desa di Lombok: begitu banyak masjidnya. Tiap desa pasti ada satu atau dua masjid besar. Terlihat dari menara-menara tingginya. Satu masjid umumnya memiliki tiga menara.

Akhirnya saya tiba di masjid besar kota Wuzhong. Masih ada waktu setengah jam untuk menemani istri dan teman-teman saya makan siang. Tapi saya memilih ke masjid lebih awal. Ada dzikir tertentu yang harus saya lakukan sebelum Jumatan itu.

Tepat jam 13.00 imam masjid tiba dan duduk di dekat mihrab. Tujuh orang lainnya, yang semua berpakaian persis imam, duduk berjajar di belakangnya. Saya mengembalikan tasbih dan duduk di barisan berikutnya. Masjid yang di lantai dua itu sudah mulai penuh.

Sang imam berbalik menghadap ke jamaah. Lalu bersama-sama melafalkan sholawat nabi. Dibaca dari buku tipis.

Ada dua podium di masjid itu. Yang satu di dekat tempat imam. Bentuknya mirip podium pidato. Satunya dihiasi ukiran.

Tepat jam 13.30 seorang pengurus tampil ke dekat imam. Membawa dua lidi hio. Seperti di kelenteng. Lidi hio itu dibakar ujungnya. Lalu ditancapkan di dupa.

Saat itulah sang imam berdiri menuju podium. Pidato. Ceramah agama. Dalam bahasa Mandarin. Tanpa assalamualaikum.

Lima belas menit kemudian, ada adzan. Lalu salat sunnah empat rakaat.

Sesaat kemudian salah satu dari tujuh orang tadi berdiri. Menuju podium berukir. Mengambil tongkat. Dan mulai mendendangkan kalimat-kalimat berbahasa Arab.

Semula saya pikir ini bilal sebelum khotib naik mimbar. Tapi dendangnya kok tidak selesai-selesai. Lima menit kemudian dia duduk sekedipan mata lalu mendendangkan lagi kalimat-kalimat berbahasa Arab dengan lagu mengalun-alun.

Dendang itu secara total sekitar 7 menit.

Lalu ada qamah. Tanda salat segera dimulai.

Oh, dendang tadi ternyata khotbah. Dia Bukan bilal, tapi khotib.

Begitu singkat dan simple khotbah ini. Karena itu rupanya ada ceramah sebelumnya. Kalau mengandalkan isi khotbahnya saja pasti tidak banyak yang paham apa maksudnya.

Habis Jumat saya ngobrol dengan beberapa anak muda di serambi masjid. Ternyata mereka para ustadz madrasah. Dari propinsi lain: Yunnan.

Saya pun bertanya apakah di Yunnan khotbahnya juga dilagukan.

“Tidak,” katanya.

Saya tahu Islam di Tiongkok hampir semuanya bermadzhab Hanafi. Dan hampir semuanya penganut tarekat. Satu prinsip yang mengutamakan hubungan batiniyah. Bukan hanya lahiriyah.

Tapi umumnya tarekat mereka terbelah dalam aliran-aliran sufi yang sangat banyak.

Wali tadi misalnya, mengajarkan filsafat sufi Khuffiyah. Dzikr Khuffiyah. Di seberangnya ada aliran Jahriyyah. Sedang anak muda dari Yunnan tadi mengaku menganut Qadiriyah.

Selama 35 tahun terakhir mengikuti perkembangan Tiongkok saya melihat ini: kian banyak anak muda datang ke masjid. Ini sangat berbeda dengan 35 tahun lalu yang kalau ke masjid hanya melihat orang-orang yang renta. (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/