30 C
Medan
Monday, May 27, 2024

Kami Belajar Menjadi Orang Pemaaf…

Foto: Teddy Akbari/Sumut Pos Suhardi Alius, Kepala BNPT meletakkan batu pertama tertanda pembangunan masjid di Pesantren Darul Syifa untuk anak-anak mantan teroris dimulai.
Foto: Teddy Akbari/Sumut Pos
Suhardi Alius, Kepala BNPT meletakkan batu pertama tertanda pembangunan masjid di Pesantren Darul Syifa untuk anak-anak mantan teroris dimulai.

Para santri Pesantren Darusy Syifa mayoritas anak-anak mantan pelaku teror di Sumut dan Aceh. Namun, tidak semua anak-anak bekas teroris diizinkan keluarganya untuk menimba ilmu di pesantren tersebut. Makanya, Khairul Ghazali selaku pimpinan pesantren tidak ingin para santrinya diekspos secara berlebihan. Dia khawatir, anak-anak itu diambil lagi oleh keluarganya.

TEDDY AKBARI, Medan

Rindang pepohonan memayungi pesantren Darusy Syifa, Kamis (8/9) siang. Saat itu, suasana masih sepi. Pasalnya, 20 santri yang menghuni pesantren itu masih mengikuti kegiatan belajar-mengajar di sebuah pondok. 12 orang dari mereka merupakan anak-anak mantan teroris. Sedangkan 8 orang lainnya adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu.

“Kami membaurkan mereka agar tidak merasa terasing dan dikucilkan. Umumnya, orangtuanya mantan teroris. Ada yang sudah meninggal dunia dan ada juga yang masih di dalam penjara,” kata Khairul Ghazali.

Saat Sumut Pos meminta izin agar mewawancarai seorang santri, Ghazali mengizinkan, tapi dia melarang agar nama santrinya tidak dipublikasikan. “Nama anak-anak mantan teroris ini tidak bisa dikonsumsi publik. Takutnya nanti diambil oleh orangtuanya karena malu atau merasa dikucilkan,” jelas Ghazali.

Menurut dia, tak semua dari para anak mantan teroris yang diboyongnya ke Pesantren Darusy Syifa ini mendapat persetujuan dari keluarganya. Sebab, tidak sedikit keluarga mantan teroris yang tidak setuju anaknya mendapatkan pendidikan di pesantren itu. Mungkin mereka khawatir, pendidikan di pesantren malah akan membuat mereka terjun ke dunia teroris.

Seorang santri bernisial AZA (13), yang merupakan anak kedua dari juhadis sekaligus perampok Bank CIMB Niaga tahun 2010 lalu dari Tanjungbalai, bersedia diwawancaraiSumut Pos. Dia pun mengisahkan perjalanan hidupnya paska ayahnya ditahan hingga ia masuk ke Pesantren Darusy Syifa ini.

Dengan suara lirih, dikatakannya, saat ayahnya ditangkap, dia masih berusia 7 tahun. Sehingga dia tidak begitu tahu bagaimana dan mengapa ayahnya ditangkap serta ditahan selama enam tahun. Namun yang dia tahu, dua teman ayahnya meninggal dunia karena ditembak. Sedangkan ayahnya dan Khairul Gazali ditangkap dan ditahan Polisi.

Foto: Teddy Akbari/Sumut Pos Suhardi Alius, Kepala BNPT meletakkan batu pertama tertanda pembangunan masjid di Pesantren Darul Syifa untuk anak-anak mantan teroris dimulai.
Foto: Teddy Akbari/Sumut Pos
Suhardi Alius, Kepala BNPT meletakkan batu pertama tertanda pembangunan masjid di Pesantren Darul Syifa untuk anak-anak mantan teroris dimulai.

Para santri Pesantren Darusy Syifa mayoritas anak-anak mantan pelaku teror di Sumut dan Aceh. Namun, tidak semua anak-anak bekas teroris diizinkan keluarganya untuk menimba ilmu di pesantren tersebut. Makanya, Khairul Ghazali selaku pimpinan pesantren tidak ingin para santrinya diekspos secara berlebihan. Dia khawatir, anak-anak itu diambil lagi oleh keluarganya.

TEDDY AKBARI, Medan

Rindang pepohonan memayungi pesantren Darusy Syifa, Kamis (8/9) siang. Saat itu, suasana masih sepi. Pasalnya, 20 santri yang menghuni pesantren itu masih mengikuti kegiatan belajar-mengajar di sebuah pondok. 12 orang dari mereka merupakan anak-anak mantan teroris. Sedangkan 8 orang lainnya adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu.

“Kami membaurkan mereka agar tidak merasa terasing dan dikucilkan. Umumnya, orangtuanya mantan teroris. Ada yang sudah meninggal dunia dan ada juga yang masih di dalam penjara,” kata Khairul Ghazali.

Saat Sumut Pos meminta izin agar mewawancarai seorang santri, Ghazali mengizinkan, tapi dia melarang agar nama santrinya tidak dipublikasikan. “Nama anak-anak mantan teroris ini tidak bisa dikonsumsi publik. Takutnya nanti diambil oleh orangtuanya karena malu atau merasa dikucilkan,” jelas Ghazali.

Menurut dia, tak semua dari para anak mantan teroris yang diboyongnya ke Pesantren Darusy Syifa ini mendapat persetujuan dari keluarganya. Sebab, tidak sedikit keluarga mantan teroris yang tidak setuju anaknya mendapatkan pendidikan di pesantren itu. Mungkin mereka khawatir, pendidikan di pesantren malah akan membuat mereka terjun ke dunia teroris.

Seorang santri bernisial AZA (13), yang merupakan anak kedua dari juhadis sekaligus perampok Bank CIMB Niaga tahun 2010 lalu dari Tanjungbalai, bersedia diwawancaraiSumut Pos. Dia pun mengisahkan perjalanan hidupnya paska ayahnya ditahan hingga ia masuk ke Pesantren Darusy Syifa ini.

Dengan suara lirih, dikatakannya, saat ayahnya ditangkap, dia masih berusia 7 tahun. Sehingga dia tidak begitu tahu bagaimana dan mengapa ayahnya ditangkap serta ditahan selama enam tahun. Namun yang dia tahu, dua teman ayahnya meninggal dunia karena ditembak. Sedangkan ayahnya dan Khairul Gazali ditangkap dan ditahan Polisi.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/