Negeri SOP
“Musuh besar” pengusaha gila kerja dan suka kerja cepat adalah birokrasi yang lengkap dengan standard operating procedure (SOP) yang rigid. Ini ibarat gas dengan rem. Kalau jalanan macet, gas dan rem memang bisa dimainkan secara proporsional. Tapi, kalau jalanan tidak macet dan rem-nya terus diinjak, kita pun jengkel.
Sayangnya kita lebih percaya integritas itu sebagai bagian dari rigidity, padahal dunia sendiri sudah membangun konsep agility yang berkebalikan.
Dahlan, saya kira, menghadapi situasi yang semacam ini. Kantornya, baik selama dia menjadi Dirut PLN atau Kementerian BUMN, sama-sama berisi birokrat. Padahal, sebagai entrepreneur, Dahlan perlu ditemani dengan intrapreneur (Anda paham bukan bedanya entrepreneur dengan intrapreneur, bukan?)
Di luar itu tentunya ada pertimbangan yang lebih besar, yakni kepentingan untuk kemaslahatan masyarakat.
Pertimbangan seperti inilah yang akhirnya bisa membuat Dahlan kena jerat dalam kasus pembangunan 21 gardu induk listrik. Siapa pemimpin yang tahan mendengar rakyatnya setiap hari mengeluh dengan listrik yang byar pet alias mati hidup. Maaf, persisnya lebih banyak matinya ketimbang hidupnya. Sudah banyak yang mempersulit, alamak, mafianya minta ampun.
Negeri kita masih mendewa-dewakan SOP. Dalam banyak hal, ini celakanya, SOP kerap saling kait mengait sejumlah aspek, termasuk kepentingan atau sakit hati. Misalnya, SOP kerap digunakan untuk mencari-cari kesalahan. Alhasil, kerap hal yang lebih besar dikalahkan oleh kepentingan yang lebih kecil.
Keberpihakan semacam ini ternyata harganya bisa sangat mahal. Harga itulah yang kini harus dibayar oleh Dahlan. Bukan hanya untuk kasus gardu induk, tetapi juga kasus-kasus lainnya, seperti yang tengah ia hadapi di Jawa Timur.
Saya sama sekali tidak percaya kalau Dahlan Iskan didakwa melakukan korupsi atau memperkaya diri sendiri. Ia sudah kaya. Bahwa ia menabrak SOP, mungkin saja. Tapi, kalau itu untuk kepentingan yang lebih besar, apa salahnya? Hidup di negeri yang mendewa-dewakan SOP membuat kita sering tak bisa menjawab pertanyaan tadi. Maka, jadilah kita hanya bisa mengurut dada. Kok bisa! (*)