32 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Soal Daging yang Ibarat Dokter Salah Resep

‘Sopir’ ini sungguh asyik. Kakeknya yang kelahiran Rote termasuk orang paling kaya di Sumba. Termasuk raja sapi. Sang kakek menginginkan anak laki-lakinya kawin dengan gadis tercantik di desanya. Juga anak tokoh paling berpengaruh saat itu. Maka, disediakanlah maskawin yang sepadan: 200 ekor sapi. Perkawinan itulah yang melahirkan Victor.

Di Sumba, saat itu, sapi adalah lambang kekayaan, status sosial, dan taruhan masa depan generasi penerus. “Saya bisa jadi insinyur karena sapi,” ujar Victor. “Di sini orang memelihara sapi sebagai tabungan untuk menyekolahkan anak ke universitas,” tambahnya.

Semua itu sudah berakhir. “Lihat, Pak,” katanya sambil menunjuk sabana luas yang berbukit hijau. “Tuh, di sana hanya ada satu ekor sapi,” katanya. Mata saya pun mengarah ke seekor sapi di kejauhan itu. Tapi, hati saya berdebar. Takut dia lengah mengemudikan mobil di jalan yang berliku-liku itu. “Waktu saya remaja, sabana ini penuh sapi,” kata Victor. “Juga kuda. Kuda Sumba. Kuda sandelwood,” tambahnya.

Apakah karena tidak ada kapal khusus ternak?

“Ha ha ha,” dia tertawa.

Victor ternyata juga mengikuti perdebatan ilmiah di Jakarta yang membahas merosotnya ternak di NTT.”

“Apa yang lucu?” tanya saya.

“Penyebabnya bukan itu,” ujar Victor. “Ini,” tambahnya.

Lalu, dia menciptakan suasana tegang. “Sudah lama orang Sumba takut memelihara sapi,” katanya. “Pencurian sapi di sini sudah masif, sistematis, dan terstruktur,” tambahnya. Dia pun terdiam. Agak lama. Seperti tidak tahu harus memulai ceritanya dari mana. Saking ruwetnya. “Ambulans pun sudah mulai dipakai angkut daging sapi curian,” tutur dia.

‘Sopir’ ini sungguh asyik. Kakeknya yang kelahiran Rote termasuk orang paling kaya di Sumba. Termasuk raja sapi. Sang kakek menginginkan anak laki-lakinya kawin dengan gadis tercantik di desanya. Juga anak tokoh paling berpengaruh saat itu. Maka, disediakanlah maskawin yang sepadan: 200 ekor sapi. Perkawinan itulah yang melahirkan Victor.

Di Sumba, saat itu, sapi adalah lambang kekayaan, status sosial, dan taruhan masa depan generasi penerus. “Saya bisa jadi insinyur karena sapi,” ujar Victor. “Di sini orang memelihara sapi sebagai tabungan untuk menyekolahkan anak ke universitas,” tambahnya.

Semua itu sudah berakhir. “Lihat, Pak,” katanya sambil menunjuk sabana luas yang berbukit hijau. “Tuh, di sana hanya ada satu ekor sapi,” katanya. Mata saya pun mengarah ke seekor sapi di kejauhan itu. Tapi, hati saya berdebar. Takut dia lengah mengemudikan mobil di jalan yang berliku-liku itu. “Waktu saya remaja, sabana ini penuh sapi,” kata Victor. “Juga kuda. Kuda Sumba. Kuda sandelwood,” tambahnya.

Apakah karena tidak ada kapal khusus ternak?

“Ha ha ha,” dia tertawa.

Victor ternyata juga mengikuti perdebatan ilmiah di Jakarta yang membahas merosotnya ternak di NTT.”

“Apa yang lucu?” tanya saya.

“Penyebabnya bukan itu,” ujar Victor. “Ini,” tambahnya.

Lalu, dia menciptakan suasana tegang. “Sudah lama orang Sumba takut memelihara sapi,” katanya. “Pencurian sapi di sini sudah masif, sistematis, dan terstruktur,” tambahnya. Dia pun terdiam. Agak lama. Seperti tidak tahu harus memulai ceritanya dari mana. Saking ruwetnya. “Ambulans pun sudah mulai dipakai angkut daging sapi curian,” tutur dia.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/