26.7 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Soal Daging yang Ibarat Dokter Salah Resep

DAHLAN ISKAN
DAHLAN ISKAN

‘Ini’ tidak pernah dibahas di pusat pengambilan kebijakan. Saat saya menjadi menteri pun tidak pernah memikirkan yang ‘ini’. Saya memang tidak tahu bahwa ternyata ‘ini’-lah pangkal penyebab mahalnya daging.

Begitu naifnya saya.

Saya ingat, setiap terjadi gejolak harga daging, pembahasannya selalu sangat ilmiah. Ilmu supply and demand, ilmu dagang, ilmu hewan, ilmu logistik, serta segala macam ilmu diperdebatkan.”

Kesimpulannya pun sangat ilmiah: Indonesia hanya cocok untuk penggemukan sapi, tapi tidak cocok untuk pembibitan sapi. Biaya membuat seekor anak sapi hingga berumur enam bulan sampai Rp6 juta. Di Australia hanya Rp2 juta. Tapi, biaya membesarkan dan menggemukkan sapi di Indonesia lebih murah.”

Maka, logikanya pun ilmiah: beli saja peternakan sapi di Australia. Khusus untuk pembibitan. Lalu, anak sapi itu dikirim ke Indonesia. Untuk digemukkan. Jangan impor sapi potong dari Australia. Bisa mematikan peternak kita.

Maka, penjajakan untuk membeli peternakan sapi di Australia pun dilakukan. Bahwa usaha ilmiah tersebut gagal, itu karena kurs rupiah tiba-tiba anjlok. Investasi itu harus dihitung ulang.

Anjloknya rupiah, khusus dalam kasus ini, ternyata menyenangkan!

Kenapa pembibitan sapi di Australia murah? Sebab, sapi dilepas di alam bebas! Tidak perlu beli makanan ternak. Yang kian hari kian mahal itu. Kita tidak punya jutaan hektare lahan seperti itu. Kecuali di NTT. Khususnya Sumba. Dan sekitarnya.

Tapi, sudah lama NTT tidak lagi jadi andalan pasokan sapi. Semua tahu itu. Panjang sekali rapat untuk membahas itu. Kesimpulannya ya yang sangat ilmiah tadi: Tidak ada kapal khusus pengangkut ternak. Maka, tol laut dan penyediaan kapal akan menjadi solusi.

Ternyata semua itu salah.

Atau benar tapi salah.

‘Ini’ baru saya ketahui bulan lalu. Saat saya untuk kali kelima ke Sumba. Bisa mengetahui ‘ini’-nya pun kebetulan. Kebetulan ada relawan yang mau jadi sopir saya: Victor Rebo Lewa, seorang insinyur mesin lulusan ITN Malang. Saya memang sudah jenuh mengemudi berjam-jam. Sejak dari Tambulaka di ujung barat daya Sumba ke Waingapu di timur pulau itu. Besoknya ganti Victor Lewa yang jadi sopir. Juga berjam-jam. Menjelajah berbagai daerah di Sumba. Termasuk melewati padang-padang sabana yang luas.

DAHLAN ISKAN
DAHLAN ISKAN

‘Ini’ tidak pernah dibahas di pusat pengambilan kebijakan. Saat saya menjadi menteri pun tidak pernah memikirkan yang ‘ini’. Saya memang tidak tahu bahwa ternyata ‘ini’-lah pangkal penyebab mahalnya daging.

Begitu naifnya saya.

Saya ingat, setiap terjadi gejolak harga daging, pembahasannya selalu sangat ilmiah. Ilmu supply and demand, ilmu dagang, ilmu hewan, ilmu logistik, serta segala macam ilmu diperdebatkan.”

Kesimpulannya pun sangat ilmiah: Indonesia hanya cocok untuk penggemukan sapi, tapi tidak cocok untuk pembibitan sapi. Biaya membuat seekor anak sapi hingga berumur enam bulan sampai Rp6 juta. Di Australia hanya Rp2 juta. Tapi, biaya membesarkan dan menggemukkan sapi di Indonesia lebih murah.”

Maka, logikanya pun ilmiah: beli saja peternakan sapi di Australia. Khusus untuk pembibitan. Lalu, anak sapi itu dikirim ke Indonesia. Untuk digemukkan. Jangan impor sapi potong dari Australia. Bisa mematikan peternak kita.

Maka, penjajakan untuk membeli peternakan sapi di Australia pun dilakukan. Bahwa usaha ilmiah tersebut gagal, itu karena kurs rupiah tiba-tiba anjlok. Investasi itu harus dihitung ulang.

Anjloknya rupiah, khusus dalam kasus ini, ternyata menyenangkan!

Kenapa pembibitan sapi di Australia murah? Sebab, sapi dilepas di alam bebas! Tidak perlu beli makanan ternak. Yang kian hari kian mahal itu. Kita tidak punya jutaan hektare lahan seperti itu. Kecuali di NTT. Khususnya Sumba. Dan sekitarnya.

Tapi, sudah lama NTT tidak lagi jadi andalan pasokan sapi. Semua tahu itu. Panjang sekali rapat untuk membahas itu. Kesimpulannya ya yang sangat ilmiah tadi: Tidak ada kapal khusus pengangkut ternak. Maka, tol laut dan penyediaan kapal akan menjadi solusi.

Ternyata semua itu salah.

Atau benar tapi salah.

‘Ini’ baru saya ketahui bulan lalu. Saat saya untuk kali kelima ke Sumba. Bisa mengetahui ‘ini’-nya pun kebetulan. Kebetulan ada relawan yang mau jadi sopir saya: Victor Rebo Lewa, seorang insinyur mesin lulusan ITN Malang. Saya memang sudah jenuh mengemudi berjam-jam. Sejak dari Tambulaka di ujung barat daya Sumba ke Waingapu di timur pulau itu. Besoknya ganti Victor Lewa yang jadi sopir. Juga berjam-jam. Menjelajah berbagai daerah di Sumba. Termasuk melewati padang-padang sabana yang luas.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/