Bolehkah kita membandingkan Freeport Indonesia (FI) dengan Blok Mahakam dan Asahan?
Saya hanya tahu Asahan. Agak banyak. Soal berakhirnya kontrak itu. Menarik. Sangat menarik.
Soal Blok Mahakam saya hanya tahu sebagian. Sedang soal FI saya tidak banyak tahu.
Ketiganya mungkin bisa dibandingkan. Mungkin juga tidak. Ketiganya beda industri. Juga beda negara asal. Asahan dengan perusahaan Jepang. Bergerak di peleburan alumunium. Blok Mahakam dengan perusahaan Prancis. Di bidang migas. Dan Freeport dengan perusahaan Amerika. Bidangnya pertambangan tembaga dan emas.
Asahan kini sudah 100 persen kembali milik ibu pertiwi. Blok Mahakam sedang diproses. Dan FI masih agak jauh. Yang dekat baru heboh-hebohnya.
Di pengakhiran kontrak Asahan, saya menjadi bagian yang ikut menangani prosesnya. Di Blok Mahakam, saya hanya sempat membuat salah satu pagar pengamannya. Sedang di FI saya hanya ikut menonton kehebohannya.
Di Blok Mahakam peran saya hanya terbatas: ikut membidani lahirnya keputusan Pertamina. Keputusan yang taktis. Yakni keputusan bahwa Pertamina sanggup mengelola Blok Mahakam. Dan mampu.
Kenapa saya anggap taktis?
Pertama, telah beredar luas opini bahwa Pertamina tidak akan mampu. Karena itu sebaiknya kontrak diperpanjang.
Kedua, saya khawatir direksi Pertamina tidak cukup kuat. Khususnya kalau ada tekanan begini: keluarkan putusan bahwa Pertamina tidak sanggup! Bukan tidak sanggup. Tapi disuruh tidak sanggup.
Gejala munculnya tekanan seperti itu belum ada. Atau lebih tepatnya: saya tidak tahu. Saya hanya khawatir. Karena itu lebih baik didahului. Dipagari. Saya minta direksi Pertamina membahas soal kemampuan itu. Secara profesional. Jangan tidak mampu mengaku mampu. Atau mampu mengaku tidak mampu.
Tiga bulan kemudian Pertamina lapor: mampu. Sangat mampu. Saya minta kesanggupan itu dinyatakan dalam dokumen yang kuat. Lalu dikirimkan ke semua pihak.
Dengan demikian tidak akan ada lagi yang memutarbalikkan opini. Pun Pertamina, siapa pun direksinya, terikat dengan putusan itu. Memang bisa saja diubah. Oleh direksi berikutnya, misalnya. Tapi setidaknya memerlukan proses.
Peran saya hanya sebatas itu. Tak lama kemudian masa jabatan saya berakhir.
Soal FI lain lagi. Saya tidak banyak tahu. Kondisi FI juga sudah memburuk. Deviden sudah seret. Ditagih sulit. Atau tidak bisa. Lebih tepatnya memang tidak ada deviden. Berarti Tidak ada lagi setoran untuk negara.
Lantas apa sumbangan FI pada keuangan negara? Dari deviden tidak ada lagi. Maka saya memperjuangkan ide ini: saham 9 persen itu disatukan saja dengan saham-saham minoritas milik negara di tempat lain. Disatukan dalam satu perusahaan. Lalu nilai saham-saham itu dijadikan agunan untuk mencari uang. Uangnya bisa dipakai membangun infrastruktur.
Ide seperti itu setidaknya bisa membuat saham yang tidak berarti itu menjadi saham hidup. Bukan saham yang hanya kelihatan angkanya.
Tapi memperjuangkan ide tersebut juga tidak mudah. Tepatnya: sulit. Saham itu bukan milik BUMN. Tapi milik negara. Untuk membicarakannya harus memutari labirin birokrasi. Saya merasa gagal memperjuangkan ide tersebut. Tapi dengan iklim pemerintahan sekarang mestinya bisa dicoba lagi.
Cara itu penting karena, rasanya, sampai berakhirnya kontrak FI tahun 2021 nanti sulit mengharap bisa dapat setoran deviden dari FI.
Kondisi FI memang benar-benar sulit. Apalagi setelah tahun 2013 lalu membeli perusahaan minyak Plains Company yang produksinya 300 ribu barrel perhari (bukan 300 juta seperti tulisan saya minggu lalu). Sejak kejatuhan harga tembaga Freeport terhuyung-huyung. Dengan jatuhnya harga minyak Freeport terjungkal.
Mau diapakan FI?
Sulit. Sulit sekali. Terutama karena ini: adanya peraturan yang menyulitkan banyak pihak. Menurut peraturan itu pemerintah baru boleh membicarakan kontrak FI dua tahun sebelum kontrak berakhir. Berarti tahun 2019. Baru boleh membicarakan.
Saya tidak tahu mengapa batas itu dua tahun. Mengapa tidak lima tahun? Atau 4 tahun? Apa latar belakangnya? Bagaimana asbabun nuzulnya?