Kita betul-betul ingin mendengar dari si pemilik ide dua tahun itu. Perlu buka-bukaan. Secara jenih. Akademis. Kepala dingin. Semata untuk mencari solusi.
Penentuan waktu dua tahun itu benar-benar menyulitkan semua pihak: pemerintah, yang merasa punya kepentingan, dan Freeport. Menyulitkan bagi pihak yang ingin memperpanjang. Bahkan sekaligus menyulitkan pihak yang tidak ingin memperpanjang.
Untuk skala seraksasa FI, dua tahun itu tidak cukup. Sangat. Sangat mepet. Akibatnya semua pihak tersandera.
Jangan-jangan, dulu, penentuan dua tahun itu tidak mempertimbangkan besarnya skala usaha FI. Perlu ada kesaksian dari penyusun draft peraturan itu. Agar yang ingin mengubahnya tidak dituduh menyimpan udang di balik tembaga.
Kondisi FI sangat berbeda dengan Asahan. Di Asahan, jelas ada kesepakatan bagaimana kalau suatu saat kontrak berakhir.
Pihak Jepang wajib menyerahkan kembali Asahan dalam kondisi terbaiknya. Kita tidak khawatir akan menerima barang rongsokan.
Saya memuji habis perusahaan Jepang tersebut. Dalam acara perpisahan dengan mereka pujian itu saya ulangi beberapa kali. Jepang menyerahkan kembali Asahan tidak hanya dalam kondisi baik. Tapi seperti baru: baik PLTA-nya maupun industri alumuniumnya. Bahkan investor tersebut meninggalkan uang cash yang sangat besar.
Apakah Jepang waktu itu tidak menuntut perpanjangan?
Jelas: menuntut. Sangat. Amat sangat. Ngotot. Mengancam. Tidak hanya itu. Jepang juga mengancam ke arbitrase. Bukan. Bukan hanya mengancam. Tapi sudah melakukannya.
Pak Hidayat, menteri industri saat itu, berjuang habis-habisan. Bersama timnya. Berhasil.
Untuk FI sebenarnya bisa lebih pasti. Perpanjangan dalam pengertian seperti kontrak lama sudah pasti tidak mungkin. Dalam UU kita yang baru tidak dikenal lagi binatang bernama KK (Kontrak Karya). Ke depan yang dikenal hanya dua: Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Jluntrungannya begini: 1. Seluruh KK Freeport berakhir sesuai dengan kontraknya. 2. Wilayah bekas KK tersebut berubah status menjadi “wilayah pencadangan nasional” (WPN). 3. Pemerintah bisa mengeluarkan ijin khusus (IUPK) tanpa harus tender, tapi maksimum 50.000 hektar di wilayah WPN.
Maka kalau pun Freeport minta ijin perpanjangan, maksudnya adalah minta IUPK. Untuk 50.000 hektar. Mungkin sudah mengincar di wilayah terbaik dari areal yang sekarang dimilikinya.
Masalahnya, sampai sekarang belum ada aturan yang merincinya. Misal: siapa yang boleh mengajukan IUPK. Siapa yang akan diberi. Apa saja persyaratan untuk memenangkan perebutan itu. Dan seterusnya.
Menurut UU, menteri ESDM-lah yang berwenang mengeluarkan aturan itu. Maka betapa panas kursinya. (*)