Berbuat atau tidak berbuat
Berbuat berisiko
Tidak berbuat tidak berisiko
Berbuat?
Tidak perlu berbuat?
Berbuat atau tidak berbuat. Itulah yang harus diputuskan untuk mengurai kekusutan 8.000 hektare lahan perkebunan BUMN di Medan. Sudah bertahun-tahun lahan itu diduduki orang. Ribuan rumah permanen berdiri di lahan tersebut. Setiap hari jumlahnya bertambah. Tanpa bisa dicegah.
Dari 8.000 hektare itu, yang jadi rumah mencapai 4.000-an hektare. Tapi, karena letak rumah-rumah itu bertebaran, tanah kosong yang kalau dijumlah masih 4.000 hektare itu tidak bisa dikuasai juga.
Secara hukum, tanah itu milik PTPN II (Persero). Tapi, kenyataannya penuh dengan masalah. Ribuan kasus hukum terjadi di situ. Itulah profil wilayah perkebunan yang terus terdesak oleh perkotaan. Itulah perkebunan yang sudah tidak ada kebunnya.
Itulah perkebunan yang sudah lebih banyak rumah ilegalnya daripada pohon sawitnya.
Di zaman Belanda, perkebunan itu memang berada di luar Kota Medan. Jumlah penduduk Medan yang sedikit saat itu tidak menjadi ancaman sama sekali. Kian lama penduduk bertambah. Kemiskinan juga meluas. Maka, pada zaman kegembiraan kemerdekaan, sebagian wilayah kebun itu ikut ‘merdeka’. Ribuan hektare berubah menjadi permukiman dadakan.
Sekian tahun kemudian jumlah penduduk meledak. Kemiskinan juga kian besar. Pada pergolakan 1965, terjadi hal yang sama. Ribuan hektare lagi berubah wujud. Ledakan jumlah penduduk tidak pernah berhenti. Kota Medan terus diperluas.
Pada zaman riuhnya reformasi 1998, sekian ribu hektare lagi berubah pula menjadi permukiman tiba-tiba.
Hingga hari ini, desakan penduduk ke wilayah perkebunan itu terus terjadi. Rumah baru terus bertambah. Pohon sawit yang masih hidup disiram minyak. Agar mati pelan-pelan. Agar ada alasan untuk ditebang. Lalu, diduduki. Didirikan rumah. Gerakan seperti itu nyaris terstruktur, sistematis, dan masif.
Pelanggaran itu sebenarnya sering diadukan. Tapi, proses bertambahnya kasus lebih cepat daripada penyelesaiannya. Misalnya dilakukan tindakan keras, yang melawan lebih besar daripada jumlah petugas.
Tidak lama lagi sisa tanah 4.000 hektare itu pun akan menyusut. Sekarang pun masalah itu sudah rumit. Tapi, kalau tidak diselesaikan, akan lebih rumit lagi.
Berbuat atau tidak berbuat?
Aset BUMN (PTPN II) itu perlu diselamatkan atau tidak? Haruskah pendudukan itu dibiarkan?
Sudah berapa tahun ‘pembiaran’ itu dilakukan?
Rasanya memang lebih aman membiarkan itu daripada mengurusnya. Tapi, untuk apa ada pemerintah?
Maka, saya minta direksi PTPN II untuk mencari jalan terbaik. Memang penuh risiko, tapi cobalah berbuat sesuatu. Atau bom ini akan meledak. Tinggal tunggu waktu. Saya menyadari tugas itu tidak mudah. Risikonya luar biasa: bisa masuk penjara, bahkan kehilangan nyawa.
Satu hal yang sudah pasti: kawasan yang sudah masuk Kota Medan itu tidak mungkin lagi dikembalikan menjadi areal perkebunan. Pasti tidak akan pernah bisa panen. Bahkan sudah tidak rasional. Perkebunan kok di dalam kota. Mengusir ribuan rumah permanen itu juga hil yang mustahal. Bisa terjadi revolusi.
Mereka memang tidak akan pernah bisa mendapat sertifikat tanah. Tapi, kenyataannya, mereka sudah bisa mewariskannya dan memperjualbelikannya.
Yang lebih pasti lagi: pemerintah sudah melarang kawasan itu dijadikan perkebunan. Tata ruangnya sudah berubah.
Berbuat atau tidak berbuat?
Saya putuskan untuk berbuat. Bisa saja kelak saya difitnah telah melepas tanah 8.000 hektare di tengah-tengah Kota Medan yang mahal. Bisa saja kelak saya dianggap korupsi di situ. Bisa saja kelak saya dianggap salah dalam memutuskan masalah tersebut dan harus masuk penjara.
Berbuat atau tidak berbuat?
Saya putuskan untuk berbuat. Tapi, saya minta prosesnya seterbuka mungkin. Sebersih mungkin. Sebaik mungkin. Hasilnya pun nanti harus untuk beli lahan perkebunan. Yang luasnya melebihi 8.000 hektare. Untuk menambah luasan kebun PTPN II yang kini masih tersisa 43.000 hektare.
Idenya pun ditemukan. Kawasan 8.000 hektare yang ruwet itu akan dijadikan kota baru Medan. Namanya terserah. Seperti BSD di Jakarta. Toh, Kota Medan perlu perluasan. Perencanaan kotanya harus bagus dan profesional. Jangan menjadi pusat kekumuhan baru.
PTPN II tidak mungkin mengerjakan itu sendiri. Harus cari partner. PTPN II hanya ahli di perkebunan. Bukan ahli tata kota. PTPN II juga tidak punya kemampuan bagaimana mengurus ribuan rumah ilegal yang menguasai 4.000 hektare tersebut.
Partner itulah yang dicari setahun terakhir ini. Lewat tender terbuka. Bisa diikuti siapa saja. Dalam proses tender ini, lembaga seperti BPKP dan Kejaksaan Agung kami minta fatwanya. Takut prosesnya salah atau kurang fair.
Di ujung proses tender itu, seperti dilaporkan Dirut PTPN II Bhatara Moeda Nasution, ada tiga perusahaan yang lolos: PT Danayasa Tbk dari Grup Artha Graha, PT Pancing Medan, dan PT Ciputra Tbk dari Grup Ciputra.
Seluruh proses itu terjadi dan dilakukan di Medan. Menteri atau pejabat Kementerian BUMN tidak ikut campur sama sekali.
Hasil akhirnya: Ciputra yang menang.
Tugasnya berat. Termasuk mengurus yang ribuan rumah itu dengan cara yang baik.
Begitulah. Sebuah kota baru yang indah dan besar akan lahir di Medan. Itu kalau proses tersebut bisa diterima. Justru karena itulah proses ini saya ungkap saja secara terbuka sekarang. Mumpung masih bisa dibatalkan.
Siapa tahu ada yang berpendapat lebih baik saya tidak usah berbuat apa-apa. (*)