26.7 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Mode Pramugari Anda yang Jadi Juri

Oleh: Dahlan Iskan

 

Saya tertarik ini: foto-foto pramugari Garuda. Dari masa ke masa. Yang dipajang di lounge eksekutifnya. Di terminal 3 Soetta. Terminal internasionalnya.

 

Di situ dipajang lengkap. Mulai kostum tahun 1949. Saat pesawatnya masih Dakota. Sampai sekarang. Era Boeing 777. Yang jet itu. Atau era ATR 70. Yang propeler itu.

 

Ide memasang foto-foto itu tentu datang dari orang yang kreatif. Bisa menghibur kekecewaan penumpang kelas bisnis. Yang diperlakukan seperti ini. Yang membuat saya sering mengalah. Pilih duduk di ruang tunggu ekonomi.

 

Bayangkan: setelah proses paspor itu kita harus belok kanan. Tidak ada pilihan lain. Lalu turun eskalator. Tidak ada pilihan lain.

 

Sampai di situ tidak segera ada petunjuk. Di mana lounge kelas bisnis. Tanda itu baru dipasang di sanaaaaa. Setelah orang keburu bertanya.

 

Lokasi lounge itu ternyata di arah sebaliknya. Tidak make sense. Jauh. Sangat tidak terasa wellcome. Ibarat masuk pekarangan rumah tapi lewat pintu belakang. Desainnya seperti tidak mengenal ‘gerbang depan’.

 

Untung ada foto-foto pramugari itu. Mata saya terpaku di situ. Di pramugari tahun 1947. Lihatlah kostumnya. Modenya. Jenis kainnya. Tentu juga orangnya. Begitu vintage. Terutama karena pecinya. Yang masih berbau perjuangan.

 

Bayangkan di tahun itu. Ketika baru empat tahun merdeka. Ketika jutaan orang Islam di India melarikan diri. Terbirit-birit. Ke arah barat. Ketika jutaan orang Hindu di Pakistan lari. Terbirit-birit. Ke arah timur. Ketika Pakistan memisahkan diri dari India. Dengan mendadaknya. Jutaan orang mati sia-sia. Dosa Inggris yang tidak terpermana.

 

Bayangkan zaman itu. Pramugari Garuda sudah semodis itu. Lihat cutting atasannya: begitu sempurna. Saya hanya tidak suka satu: krah lehernya. Begitu kunonya.

 

Zaman itu memang zaman kuno. Ketika dunia barat baru mengakui kemerdekaan Indonesia. Di mata mereka tidak ada: proklamasi 17 Agustus 1945.

 

Saya tidak bisa menduga: jenis apa kain atasan itu. Begitu tipisnya. Begitu beningnya. Begitu terasa mahalnya.

 

Tentu saya tidak menampilkan yang pria. Tidak banyak perubahannya. Begitu-begitu saja. Begitulah pakaian pria. Tidak ada yang perlu bicara. Laki-laki itu tidak menarik. Luarnya. Laki-laki itu hanya menarik. Dalamnya.

 

Sepuluh tahun kemudian. Sebuah kekecewaan. Lihat pramugari tahun 1959 itu.

Oleh: Dahlan Iskan

 

Saya tertarik ini: foto-foto pramugari Garuda. Dari masa ke masa. Yang dipajang di lounge eksekutifnya. Di terminal 3 Soetta. Terminal internasionalnya.

 

Di situ dipajang lengkap. Mulai kostum tahun 1949. Saat pesawatnya masih Dakota. Sampai sekarang. Era Boeing 777. Yang jet itu. Atau era ATR 70. Yang propeler itu.

 

Ide memasang foto-foto itu tentu datang dari orang yang kreatif. Bisa menghibur kekecewaan penumpang kelas bisnis. Yang diperlakukan seperti ini. Yang membuat saya sering mengalah. Pilih duduk di ruang tunggu ekonomi.

 

Bayangkan: setelah proses paspor itu kita harus belok kanan. Tidak ada pilihan lain. Lalu turun eskalator. Tidak ada pilihan lain.

 

Sampai di situ tidak segera ada petunjuk. Di mana lounge kelas bisnis. Tanda itu baru dipasang di sanaaaaa. Setelah orang keburu bertanya.

 

Lokasi lounge itu ternyata di arah sebaliknya. Tidak make sense. Jauh. Sangat tidak terasa wellcome. Ibarat masuk pekarangan rumah tapi lewat pintu belakang. Desainnya seperti tidak mengenal ‘gerbang depan’.

 

Untung ada foto-foto pramugari itu. Mata saya terpaku di situ. Di pramugari tahun 1947. Lihatlah kostumnya. Modenya. Jenis kainnya. Tentu juga orangnya. Begitu vintage. Terutama karena pecinya. Yang masih berbau perjuangan.

 

Bayangkan di tahun itu. Ketika baru empat tahun merdeka. Ketika jutaan orang Islam di India melarikan diri. Terbirit-birit. Ke arah barat. Ketika jutaan orang Hindu di Pakistan lari. Terbirit-birit. Ke arah timur. Ketika Pakistan memisahkan diri dari India. Dengan mendadaknya. Jutaan orang mati sia-sia. Dosa Inggris yang tidak terpermana.

 

Bayangkan zaman itu. Pramugari Garuda sudah semodis itu. Lihat cutting atasannya: begitu sempurna. Saya hanya tidak suka satu: krah lehernya. Begitu kunonya.

 

Zaman itu memang zaman kuno. Ketika dunia barat baru mengakui kemerdekaan Indonesia. Di mata mereka tidak ada: proklamasi 17 Agustus 1945.

 

Saya tidak bisa menduga: jenis apa kain atasan itu. Begitu tipisnya. Begitu beningnya. Begitu terasa mahalnya.

 

Tentu saya tidak menampilkan yang pria. Tidak banyak perubahannya. Begitu-begitu saja. Begitulah pakaian pria. Tidak ada yang perlu bicara. Laki-laki itu tidak menarik. Luarnya. Laki-laki itu hanya menarik. Dalamnya.

 

Sepuluh tahun kemudian. Sebuah kekecewaan. Lihat pramugari tahun 1959 itu.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/