25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Setelah Istri Membawa Rejeki Scaffolding

Fisika dan matematika memang punya kode-kodenya sendiri. Penguasaan bahasa tidak menentukan. Demikian juga pacaran. Punya bahasa isyaratnya sendiri.

Sang pacar adalah teman kuliahnya sendiri. Sesama dari pantai selatan. Hanya beda kota.

Kawin.

Dari sinilah awal suksesnya. Istri membawa rejeki.

Itu terjadi saat sang istri liburan ke kampung halamannya. Tetangganya berkisah tentang pabrik yang terancam bankrut di kampung itu. Pabrik scaffolding. Buruhnya demo terus. Atau mogok. Khas Prancis.

Sang istri mendesak Mohed untuk membeli pabrik itu. Hanya 1 dolar. Asal hutang-hutang di banknya ditanggung.

Saat itu Mohed memang sudah punya tabungan 600.000 dolar. Hasil kerja selama 4 tahun di perusahaan minyak di Dubai. Belum cukup. Mohed mengajak tiga temannya berkongsi. Mohed 80 persen.

Di mana kunci suksesnya?
Keterbukaan. Ketulusan. Kesungguhan. Pertaruhan. Merebut kepercayaan buruh. Tidak egois. Optimis. Tidak ada kebencian. Desentralisasi.

Mohed bercerita apa adanya pada buruh yang suka mogok itu. Bahwa dia mempertaruhkan seluruh tabungan hasil kerjanya selama 4 tahun di situ.

Dengan rendah hati dia mengaku dengan tulus: saya tidak tahu bisnis, tidak tahu mengurus pabrik, bahkan tidak tahu scaffolding itu apa dalam bahasa Prancis.

Ketulusannya, kerendah hatiannya, nekadnya, semua itu meluluhkan hati buruh. Toh kalau pabrik itu tidak dia ambil akan bankrut juga.

Mohed sendiri berada di pojokan: sukses atau ikut bankrut. Tidak punya siapa-siapa. Tidak punya apa-apa.

Dia sukses.

Mohed kini menjadi pengusaha scaffolding terbesar di dunia. Terutama sejak mengambil alih perusahaan scaffolding Jerman yang jadi pesaingnya.

Kelihatannya industri ini tidak bergengsi. Bukan pula sesuatu yang tampak modern. Tapi tiap tahun Mohed mengakuisisi perusahaan scaffolding di negara yang berbeda. Termasuk di Amerika.

Mohed mempertahankan kantor pusatnya di kota Montpellier. Dengan hiasan Ferrari, Lamborghini dan sejenisnya.

Dengan hanya 25 staf.

Mohed menganut desentralisasi untuk mengurus anak-anak perusahaannya: sepakati beberapa hal pokok, serahkan gaya ke masing-masing, komunikasikan.

“Mungkin karena saya pernah hidup di padang pasir,” katanya. “Terbiasa dengan kebebasan penuh.”
Tapi Mohed tetap sulit tidur. Idenya terlalu banyak. Dia tidak bisa minum-minum di bar, atau rekreasi atau olahraga.

Dia hoby menulis.

Malam-malamnya dia sibukkan dengan menulis. Hasilnya menakjubkan: Badawi. Sebuah novel tebal tentang suku Badui. Lebih tepatnya tentang perjalanan hidupnya.

Fisika dan matematika memang punya kode-kodenya sendiri. Penguasaan bahasa tidak menentukan. Demikian juga pacaran. Punya bahasa isyaratnya sendiri.

Sang pacar adalah teman kuliahnya sendiri. Sesama dari pantai selatan. Hanya beda kota.

Kawin.

Dari sinilah awal suksesnya. Istri membawa rejeki.

Itu terjadi saat sang istri liburan ke kampung halamannya. Tetangganya berkisah tentang pabrik yang terancam bankrut di kampung itu. Pabrik scaffolding. Buruhnya demo terus. Atau mogok. Khas Prancis.

Sang istri mendesak Mohed untuk membeli pabrik itu. Hanya 1 dolar. Asal hutang-hutang di banknya ditanggung.

Saat itu Mohed memang sudah punya tabungan 600.000 dolar. Hasil kerja selama 4 tahun di perusahaan minyak di Dubai. Belum cukup. Mohed mengajak tiga temannya berkongsi. Mohed 80 persen.

Di mana kunci suksesnya?
Keterbukaan. Ketulusan. Kesungguhan. Pertaruhan. Merebut kepercayaan buruh. Tidak egois. Optimis. Tidak ada kebencian. Desentralisasi.

Mohed bercerita apa adanya pada buruh yang suka mogok itu. Bahwa dia mempertaruhkan seluruh tabungan hasil kerjanya selama 4 tahun di situ.

Dengan rendah hati dia mengaku dengan tulus: saya tidak tahu bisnis, tidak tahu mengurus pabrik, bahkan tidak tahu scaffolding itu apa dalam bahasa Prancis.

Ketulusannya, kerendah hatiannya, nekadnya, semua itu meluluhkan hati buruh. Toh kalau pabrik itu tidak dia ambil akan bankrut juga.

Mohed sendiri berada di pojokan: sukses atau ikut bankrut. Tidak punya siapa-siapa. Tidak punya apa-apa.

Dia sukses.

Mohed kini menjadi pengusaha scaffolding terbesar di dunia. Terutama sejak mengambil alih perusahaan scaffolding Jerman yang jadi pesaingnya.

Kelihatannya industri ini tidak bergengsi. Bukan pula sesuatu yang tampak modern. Tapi tiap tahun Mohed mengakuisisi perusahaan scaffolding di negara yang berbeda. Termasuk di Amerika.

Mohed mempertahankan kantor pusatnya di kota Montpellier. Dengan hiasan Ferrari, Lamborghini dan sejenisnya.

Dengan hanya 25 staf.

Mohed menganut desentralisasi untuk mengurus anak-anak perusahaannya: sepakati beberapa hal pokok, serahkan gaya ke masing-masing, komunikasikan.

“Mungkin karena saya pernah hidup di padang pasir,” katanya. “Terbiasa dengan kebebasan penuh.”
Tapi Mohed tetap sulit tidur. Idenya terlalu banyak. Dia tidak bisa minum-minum di bar, atau rekreasi atau olahraga.

Dia hoby menulis.

Malam-malamnya dia sibukkan dengan menulis. Hasilnya menakjubkan: Badawi. Sebuah novel tebal tentang suku Badui. Lebih tepatnya tentang perjalanan hidupnya.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/