Banyak yang merasa kehilangan atas meninggalnya Pak Mustofa di Jakarta kemarin siang. Istri dan ketiga anaknya sudah tentu. Unair, almamaternya. Universitas Brawijaya, yang dia pendiri jurusan akuntansinya. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yang dia salah satu tokoh utama dan pernah jadi Sekjennya. Dunia golf, yang dia salah satu penggilanya. Jawa Pos, yang dia jadi penasihat keuangannya. Dan saya, sahabatnya.
PAK Mustofa akuntan terkemuka Indonesia. Besar namanya, tinggi reputasinya. Dia sering menolak menjadi akuntan perusahaan besar dengan fee bermiliar-miliar karena, katanya, perusahaan itu tidak mau menuruti doktrin akuntansi yang benar.
Kapan itu Pak Mustofa mengatakan sangat sedih mendengar saya dijadikan tersangka kasus korupsi oleh Kejati Jatim. Kami memang sering mendiskusikan bobroknya hukum kita. Inilah SMS-nya 24 Oktober lalu. ”Keyakinan sy Pak Dahlan gak mungkin berbuat untuk kerugian negara. Aplg untuk memperkaya diri. Kita ini kan dari dulu sudah merasa kaya dan tidak kekurangan, kerja karena hobby saja hahaha…”
Persis sebulan lalu ketika mendengar saya ditahan, Pak Mustofa kirim SMS berikut ini. ”Yang jelas Pak Dahlan tidak terbukti terima apa pun dan tidak memperkaya orang lain. Doa saya untuk Bpk. Saya nangis, Pak. Negara kok penuh fitnah.”
Menerima SMS seperti itu, saya terharu. Kok dia masih memikirkan saya di tengah perjuangannya sendiri melawan kanker ganas di ususnya. Maka saya jawab dengan kebiasaan kalimat saya: ”Seberat-berat yg saya hadapi saat ini, sy bayangkan, masih lebih berat yg dihadapi Pak Mus. Jadi saya terus doakan Pak Mus. Sy merasa enteng menghadapi persoalan saya karena saya kan tidak melakukannya. Enteng, Tenang, dan Sabar!”
Pak Mustofa rupanya terus mengikuti kasus saya. Termasuk sempat melihat YouTube eksepsi saya. ”Luar biasa Pak Dahlan, sampai mbrebes mili aku. Mdh2an Allah melindungi kita.” Itulah SMS terakhir Pak Mus kepada saya.
Hari ini ganti saya yang mbrebes mili (menangis karena sedih). Pak Mustofa begitu tulus orangnya. Saya ingat ketika sama-sama ke Makkah dengan keluarga kami masing-masing. Saya juga ingat beliau selalu menghadiri rapat-rapat besar grup Jawa Pos: mengkritik, memberi nasihat, memberi jalan keluar, dan sering juga memarahi manajer-manajer keuangan kami dari seluruh Indonesia. Semua nasihatnya kami taati. Kecuali satu: go public.
Pak Mustofa terus mendesak kami agar Jawa Pos masuk pasar modal. ”Saya tahu Jawa Pos tidak mengalami kesulitan keuangan. Tapi, cepatlah go public. Untuk menghindari masalah-masalah politik,” tuturnya selalu.
Pak Mus mengingatkan bahwa Jawa Pos yang ”seksi” ini akan jadi incaran politik. Dengan masuk pasar modal, katanya, risiko itu berkurang. Maafkan, Pak Mus. Ternyata Pak Mus benar. Saya yang salah.
Kanker usus yang menyerang Pak Mus itu seperti datang tiba-tiba. Waktu itu, tahun lalu, Pak Mus liburan keluarga di Bali. Saat di Ubud terasa perutnya sakit. Dibawa ke dokter tidak reda. Pak Mus membatalkan liburannya. Pulang ke Surabaya. Langsung masuk RS untuk diperiksa. Ternyata terlihat tumor. Yang setelah diambil sudah sebesar 0,5 kg, di balik ususnya: limfoma maligna.
Pak Mus termasuk yang rajin check up. Dia terheran-heran melihat hasil itu. Kok selama check up tumor itu tidak pernah terlihat. Lokasi tumor yang di balik usus, katanya, yang membuat tidak terlihatnya itu.
Pak Mus juga cepat mengambil langkah: ke Singapura. Inilah SMS-nya saat itu. ”Okay, yg terjadi kemo di Jkt yg ke-5 dan 6 gak ada efeknya. Dokter dari SGH (Singapura) menganjurkan radiasi di NCC. Jd sebulan sy di Singapore.”