29 C
Medan
Monday, June 3, 2024

Akuntan Besar yang Sering Tolak Fee Besar

Pak Mus terus mengabarkan perkembangan kesehatannya dari Singapura. Termasuk mengirimkan fotonya hanya berdua dengan istri. Teks fotonya: ”Kondisi setelah radiasi yang ke-17.” Saya lihat wajahnya masih cukup segar. Hanya, dia mengenakan topi. Saya duga rambutnya menipis akibat radiasi itu.

Saya sempat menengoknya di Jakarta. Beberapa hari sebelum saya ditahan. Kondisinya agak lemah, tapi jalannya masih cukup cepat. Pak Mus memang punya rumah di Jakarta. Beberapa tahun belakangan Pak Mus memang lebih banyak tinggal di Jakarta. Di Jakarta ini pula Pak Mus banyak menulis.

Buku akuntansi yang sangat baik untuk textbook universitas dia terbitkan. Baik juga untuk para akuntan muda. Isinya gabungan antara teori dan pengalaman. Buku kedua sudah terbit pula. Bukan main. Sambil sakit menulis buku. Pak Mus bercerita masih akan menerbitkan buku ketiganya. Itulah warisan abadi untuk disiplin ilmunya.

Seminggu yang lalu saya menerima undangan. Pak Mus mantu. Mantu putrinya: Dian Paramita. Di Hotel Intercontinental Jakarta. Saya balas undangan itu dengan SMS: ”Pak Mus, sy sdh terima undangan, tapi mhn maaf sy ini tahanan kota. Selamat Pak, selamat utk Mita. Dapat menantu Amerika atau Prancis? Dari namanya sy sulit menebak.” Saya tidak bisa hadir.

Saya bayangkan betapa bahagianya Pak Mus karena putrinya akhirnya mau menikah. Pak Mus begitu sering curhat tentang Mita, nama panggilan Dian Paramita. Yang tidak mau kawin-kawin. Sampai adik laki-lakinya sudah punya anak dua.

Pak Mus sangat-sangat bangga pada Mita. Yang selalu mau cari jalan hidup sendiri. Dia maunya kuliah di Amerika. Di Universitas Pennsylvania, salah satu yang terbaik di USA. Tapi tidak mau ambil jurusan ekonomi atau akuntansi. Mita ambil jurusan seni. Lukis. Setelah lulus dengan prestasi tinggi, Mita tidak pulang. Disuruh pulang tidak mau. Dia pilih bergabung dengan studio di universitas itu. Kumpul bersama para pelukis. Mita melukis.

Suatu saat Pak Mus kirim lukisan karya Mita ke HP saya. Saya lihat lukisannya hebat sekali. Saya yakin Mita akan bisa menjadi salah satu maestro lukis Indonesia. Saya bayangkan betapa bahagianya Pak Mus mendampingi Mita di pelaminan.

Menjawab pertanyaan saya tentang menantunya, Pak Mus kirim foto Mita bersama calon suaminya. Pria bule, Amerika keturunan Prancis. Tinggi dan ganteng sekali.

Dua hari sebelum Mita naik pelaminan, Pak Mus harus masuk rumah sakit. Saya dikirimi fotonya yang lagi terbaring. Ups. Berarti tidak akan bisa menghadiri perkawinan itu. Ternyata bisa. Alhamdulillah. Saya dikirimi fotonya bersama pengantin. Dari sana kembali ke RS. Sampai meninggalnya kemarin. Pak Mus, saya mbrebes mili… (*)

Pak Mus terus mengabarkan perkembangan kesehatannya dari Singapura. Termasuk mengirimkan fotonya hanya berdua dengan istri. Teks fotonya: ”Kondisi setelah radiasi yang ke-17.” Saya lihat wajahnya masih cukup segar. Hanya, dia mengenakan topi. Saya duga rambutnya menipis akibat radiasi itu.

Saya sempat menengoknya di Jakarta. Beberapa hari sebelum saya ditahan. Kondisinya agak lemah, tapi jalannya masih cukup cepat. Pak Mus memang punya rumah di Jakarta. Beberapa tahun belakangan Pak Mus memang lebih banyak tinggal di Jakarta. Di Jakarta ini pula Pak Mus banyak menulis.

Buku akuntansi yang sangat baik untuk textbook universitas dia terbitkan. Baik juga untuk para akuntan muda. Isinya gabungan antara teori dan pengalaman. Buku kedua sudah terbit pula. Bukan main. Sambil sakit menulis buku. Pak Mus bercerita masih akan menerbitkan buku ketiganya. Itulah warisan abadi untuk disiplin ilmunya.

Seminggu yang lalu saya menerima undangan. Pak Mus mantu. Mantu putrinya: Dian Paramita. Di Hotel Intercontinental Jakarta. Saya balas undangan itu dengan SMS: ”Pak Mus, sy sdh terima undangan, tapi mhn maaf sy ini tahanan kota. Selamat Pak, selamat utk Mita. Dapat menantu Amerika atau Prancis? Dari namanya sy sulit menebak.” Saya tidak bisa hadir.

Saya bayangkan betapa bahagianya Pak Mus karena putrinya akhirnya mau menikah. Pak Mus begitu sering curhat tentang Mita, nama panggilan Dian Paramita. Yang tidak mau kawin-kawin. Sampai adik laki-lakinya sudah punya anak dua.

Pak Mus sangat-sangat bangga pada Mita. Yang selalu mau cari jalan hidup sendiri. Dia maunya kuliah di Amerika. Di Universitas Pennsylvania, salah satu yang terbaik di USA. Tapi tidak mau ambil jurusan ekonomi atau akuntansi. Mita ambil jurusan seni. Lukis. Setelah lulus dengan prestasi tinggi, Mita tidak pulang. Disuruh pulang tidak mau. Dia pilih bergabung dengan studio di universitas itu. Kumpul bersama para pelukis. Mita melukis.

Suatu saat Pak Mus kirim lukisan karya Mita ke HP saya. Saya lihat lukisannya hebat sekali. Saya yakin Mita akan bisa menjadi salah satu maestro lukis Indonesia. Saya bayangkan betapa bahagianya Pak Mus mendampingi Mita di pelaminan.

Menjawab pertanyaan saya tentang menantunya, Pak Mus kirim foto Mita bersama calon suaminya. Pria bule, Amerika keturunan Prancis. Tinggi dan ganteng sekali.

Dua hari sebelum Mita naik pelaminan, Pak Mus harus masuk rumah sakit. Saya dikirimi fotonya yang lagi terbaring. Ups. Berarti tidak akan bisa menghadiri perkawinan itu. Ternyata bisa. Alhamdulillah. Saya dikirimi fotonya bersama pengantin. Dari sana kembali ke RS. Sampai meninggalnya kemarin. Pak Mus, saya mbrebes mili… (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/