Lain lagi dengan isi curhat di saat politik panas seperti belakangan ini. Semua berkaitan dengan politik. Termasuk kuburan tadi. Dan hubungan antar-ras. Mereka memang mengidolakan Ahok. Ada yang sampai nangis-nangis saat Ahok kalah. Hanya Ahok-lah orang hebat itu. Seolah-olah.
Saya juga suka Ahok. Mata Najwa pernah menggelari kami bertiga sebagai cowboy-nya Indonesia: Ahok, Bu Susi, dan saya.
Media sosial memang luar biasa membakar emosi. Sampai tidak lagi peduli mana info yang benar. Atau yang ngawur. Atau yang sengaja dingawur-ngawurkan. Mereka cenderung percaya begitu saja. Kebetulan lagi cocok dengan emosinya. Tidak perlu pikir panjang.
Dikira gampang untuk tiba-tiba menjadi Syria. Atau membunuh orang kafir. Ini sangat menakutkan. Mengerikan. Saya sangat memahami. Saya bisa merasakan ketakutan mereka itu. Apalagi memang benar-benar terjadi sampai ada iringan anak-anak yang nyanyiannya, ’’Bunuh, bunuh, bunuh si Ahok… Bunuh si Ahok sekarang juga’’ (lihat tulisan di JP edisi Minggu kemarin).
Padahal, menjadi Syria itu tidak gampang. Banyak sekali syaratnya. Dan untuk membunuh kafir, lebih banyak lagi rambunya. Syarat dan rambu itu sulit sekali dipenuhi di Indonesia. Tapi, medsos menggambarkannya berbeda. Seolah Indonesia akan jadi Syria besok pagi. Dan orang kafir dihabisi nanti malam.
Wartawan kami di Bangka Belitung bisa melihat kebalikannya. Kuburan itu baik-baik saja. Tidak ada gangguan sedikit pun. Sorenya saya suruh balik lagi ke kuburan itu. Lihat yang benar mengapa kaca itu retak.
Retakan itu ternyata sudah sangat lama. Menurut penjaga makam karena terik matahari. Kaca foto di makam lain juga ada yang seperti itu.
Adik Ahok sendiri, Basuri, akhirnya menjelaskan kepada wartawan kami. ’’Saya ini ke NTT urusan pekerjaan,’’ katanya kemarin sore. ’’Dan berita kuburan itu hoax,’’ tambahnya.
Pilkada Jakarta memang meninggalkan luka yang dalam. Yang minoritas merasa terluka. Tapi, yang mayoritas juga merasa terluka. Pemilu di AS juga meninggalkan luka yang dalam. Untuk kalangan minoritasnya.
Hanya, di AS, hukum bisa tegak. Minoritas bisa berlindung di balik hukum. Itulah yang masih sulit di Indonesia. Yang mayoritas pun tidak bisa mengandalkan hukum. Minoritas di AS masih lebih beruntung. Punya backing hukum yang kuat.
Di sini demokrasi masih pincang. Hukum belum bisa diandalkan. Dalam kepincangan seperti ini, alangkah indahnya yang mayoritas menjadi lebih pemaaf. Yang minoritas juga menjadi lebih mampu membaca situasi.
Kalah-menang sebenarnya biasa dalam demokrasi. Sepanjang hukum bisa tegak. Sayang, hukum masih jadi alat politik. Padahal, demokrasi tanpa tegaknya hukum ibarat suami istri tanpa rumah tangga bahagia.
Demokrasi bisa menjadi duda. Atau janda. Kalau penegakan hukum berselingkuh setiap harinya. (*)