SUMUTPOS.CO – Sejumlah pegiat hak-hak perempuan di Cina menimbulkan polemik ketika mereka meluncurkan kompetisi rambut ketiak di jejaring media sosial.
“Apakah saya harus mencukur rambut ketiak?” Itu adalah pertanyaan yang sering mengusik Xiao Meili, seorang aktivis hak perempuan terkenal di Cina.
“Perempuan sering mencemaskan rambut ketiak seolah itu merupakan pertanda bahwa dia kotor atau tidak beradab. Tapi kita harus memiliki kebebasan untuk memilih menerima apa yang tumbuh secara alami di tubuh kita,” kata Xiao Meili.
Pemikiran itu kemudian diwujudkan Xiao dengan meluncurkan “Kompetisi Rambut Ketiak” di situs Weibo, jejaring sosial yang sangat populer di Cina.
Begitu kompetisi digulirkan, ribuan orang antusias berpartisipasi.
“Saya seorang mahasiswa. Saya mencintai rambut ketiak saya. Saya mendukung rambut alami, kepercayaan diri dan kesetaraan,” tulis seorang peserta yang menunjukkan dirinya bersandar di tempat tidur sambil memperlihatkan ketiaknya.
Li Tingting, seorang aktivis hak perempuan lainnya, mengunggah foto rambut ketiaknya disertai tulisan berbunyi “hukum pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan cintai rambut ketiak.
Menurut Li, argumen bahwa perempuan harus mencukur rambut ketiak didasari oleh ketimpangan gender.
Hal itu, tambahnya, dimanfaatkan pebisnis untuk memasarkan produk-produk kewanitaan, termasuk alat cukur khusus perempuan.
“Saya pikir kompetisi ini sangat bermakna. Konsumerisme didasari oleh pandangan mengenai gender. Pasar dipenuhi berbagai macam alat-alat cukur bagi perempuan. Kita harus menyediakan ruang untuk berpikir, mengapa perempuan diharuskan bercukur?” tanya Li.
Namun, berbagai pihak menantang pendekatan feminis.
“Apa maksudnya kompetisi ini? Tidak ada yang memaksa saya mencukur rambut ketiak. Saya lakukan itu karena merasa jijik bila tidak,” tulis seorang perempuan di Weibo.
“Tidak sopan bila tidak mencukur rambut ketiak, baik lelaki maupun perempuan,” tulis seorang lainnya. (BBC)