29 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

7 Tahun Pindah-pindah Lokasi, Festival Danau Toba Sepi

SOLU BOLON Peserta lomba Solu Bolon ikut memeriahkan FDT 2019. Lomba tradisional ini diharapkan mampu menarik minat wisatawan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pesta Danau Toba (PDT) pertama kali digelar di Parapat-Simalungun tahun 1980 lalu. Terbaliknya KM Peldatari yang mengangkut ratusan pengunjung PDT di Tomok-Samosir tahun 1997, menyebabkan PDT tidak digelar selama 15 tahun (1998-2012).

Pesta yang sejatinya merupakan event budaya, pariwisata dan olahraga itu kembali digelar tahun 2013, dan berubah nama menjadi Festival Danau Toba (FDT). Sejak berubah nama, tiap tahun FDT digelar di lokasi berbeda. Tidak lagi melulu di Parapat Simalungun. Pertama tahun 2013 di Tuktuk Samosir, 2014 di Balige, 2015 di Berastagi-Karo, 2016 di Muara-Tapanuli Utara, 2017 di Humbahas, 2018 di Sidikalang-Dairi, dan 2019 kembali ke Parapat-Simalungun.

Lama event bervariasi, mjulai dari 3 hari 3 malam, hingga 7 hari 7 malam, tergantung anggaran. Tahun ini, FDT digelar hanya 4 hari mulai 9-12 Desember 2019. Dana yang dikucurkan pun kecil, konon hanya Rp1,4 miliar. Dana ini jelas sangat minim dibanding anggaran pada FDT beberapa tahun sebelumnya.

Minimnya anggaran FDT sudah berlangsung beberapa tahun. Tahun lalu, FDT di Dairi bahkan sangat sepi dan relatif tidak bergaung. Panitia mengaku dana yang tersedia sangat minim, sehingga tidak bisa membiayai banyak kegiatan. FDT yang paling ramai adalah FDT 2013 di Tuktuk, Samosir. Saat itu, dana dibiayai langsung dari pusat.

Meski tahun ini FDT kembali ke lokasi pertama, yakni di Parapat Simalungun, penyelenggaraan tetap sepi seperti di lokasi-lokasi sebelumnya. Sejumlah pihak menganggap FDT tahun ketujuh ini gagal karena rendahnya antusiasme pengunjung datang ke acara itu.

“Penyelenggaraan FDT ke depan memerlukan banyak evaluasi. Baik mengenai waktu pelaksanaan, kemasan acara dan keterlibatan stakeholder lainnya guna suksesi acara. FDT mestinya menjadi representasi orang Toba atau Sumut. Jadi rakyat lokal mesti terlibat mengelola festival. Kalau semua produk pusat, sedangkan daerah hanya kebagian lokasi acara, ya begitulah hasilnya,” kata Sekretaris Fraksi Partai Nasional Demokrat (F-NasDem) DPRD Sumut, Dimas Tri Adji, kepada Sumut Pos, Rabu (11/12).

Ia melihat, tingginya ego sektoral pada pemerintah tujuh kabupaten se kawasan Danau Toba, menjadi pemicu even FDT tak pernah sukses dihelat. “Ada sekat ego sektoral antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang saya lihat. Terutama pemkab se kawasan itu. Terkesan tidak mau mencari solusi bersama-sama,” katanya.

Ia juga menyinggung kinerja Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) mengembangkan KSPN Danau Toba, termasuk dalam menyukseskan pagelaran FDT. “Masak untuk tingkat direktur BPODT mesti dari pusat. Bahkan Dewan Pengawas itu diisi oleh orang-orang kementerian. Alhasil rasa memiliki dari orang-orang lokal jadi kecil. Untuk perbaikan ke depan, perlu melibatkan banyak orang-orang dari daerah setempat,” katanya.

Menurutnya, masuknya orang daerah menjadi jajaran direksi BPODT, akan memunculkan rasa saling memiliki untuk memajukan Danau Toba.

“Ada baiknya pelaksanaan FDT dikembalikan ke pemda atau pemprov, seperti ketika awal-awal even tersebut digagas. Sehingga projek-projeknya tidak bersifat top down, melainkan buttom up. Kayaknya pun, konsep FDT dan apa yang dibangun BPODT ini dirancang dari luar. Memang modern dan kekinian, cuma tak cukup menjamin pengerjaan pembangunan secara berkelanjutan,” katanya.

Kegiatan Kurang Menarik

Sementara itu, sejumlah netizen media sosial Facebook, Twitter, dan lainnya, menilai FDT 2019 kurang menarik bagi wisatawan. Kegiatannya relatif rutin dan kurang promosi. Adapun sejumlah acara FDT yakni Lomba Ucok-Butet, koor raksasa, tari kolosal saoan, tari kolosal multi etnik, pelepasan balon dan lampion, hiburan rakyat, lomba paduan suara, lomba solu bolon, pameran UKM, dan lainnya.

“Festival Danau Toba Gagal Total tidak berdampak kepada masyrakat Parapat-Ajibata dan sekitarnya. Percuma anggaran Rp1,4 miliar, lebih baik di alokasikan pelatihan pertanian atau Pokdarwis sekaligus pembelian peralatannya… Sendainya GAAPS (Gabungan Alumni Ajibata Parapat- Sekitarnya) yang pengang event ini sudah mantap kita buat yah bro Ecko Millenix Muse?” kata akun Facebook, Renz Pakpahan.

Ada juga yang menilai sepinya pengunjung FDT 2019, karena iklan promosinya hanya menampilkan foto Gubsu dan Wagubsu, dengan tulisan: ‘Festival Danau Toba 2019, di Parapat Kabupaten Simalungun.’

“Mengapa sepi pengunjung? Kelihat iklan promosi ini ibarat Gubsu kampanye lagi. Publik tidak mengetahui materi apa yang difestivalkan untuk ditonton,” kata akun Inang Malvinas Bagariang.

Sejumlah pengunjung menilai, FDT hanya dimeriahkan para pejabat dan pengisi acara. Sementara turis mancanegara dan turis domestik, tidak banyak. “Hanya sedikit ramai-ramai. Kebanyakan pejabat yang datang. Turis sama orang lokal sepi, ada yang tak tahu pas ditanya festival ini,” kata seorang pengunjung dari Kota Medan.

Sebelumnya, Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi, saat membuka FDT 2019 di Open Stage Parapat-Simalungun, mengakui bahwa masyarakat di Sumut pun banyak yang tidak tahu ada perhelatan FDT.”Danau Toba itu indah. Harus kita syukuri. Gunung Toba meletus ribuan tahun lalu sehingga membunuh dan mematikan makhluk Tuhan. Pasca-letusan, empat profesor dari Australia, Jepang, London dan Amerika menemukan tanah di Kutub Utara yang bertahun-tahun dicari asalnya tidak ditemukan,” ujar Edy.

Para peneliti, kata Edy, memperkirakan tanah tersebut berasal dari letusan gunung tertinggi di Jepang, namun tanahnya tidak sama. Setelah 16 tahun berkeliling, ditemukanlah tanah tersebut di Pulau Samosir. “Inilah sejarah dunia. Makanya kalau kita tahu benar ini, orang dunia akan datang ke sini. Saudara-saudara, orang datang untuk melihat danau karena danau yang membuat sejarah,” kata Gubsu. (mea/prn)

SOLU BOLON Peserta lomba Solu Bolon ikut memeriahkan FDT 2019. Lomba tradisional ini diharapkan mampu menarik minat wisatawan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pesta Danau Toba (PDT) pertama kali digelar di Parapat-Simalungun tahun 1980 lalu. Terbaliknya KM Peldatari yang mengangkut ratusan pengunjung PDT di Tomok-Samosir tahun 1997, menyebabkan PDT tidak digelar selama 15 tahun (1998-2012).

Pesta yang sejatinya merupakan event budaya, pariwisata dan olahraga itu kembali digelar tahun 2013, dan berubah nama menjadi Festival Danau Toba (FDT). Sejak berubah nama, tiap tahun FDT digelar di lokasi berbeda. Tidak lagi melulu di Parapat Simalungun. Pertama tahun 2013 di Tuktuk Samosir, 2014 di Balige, 2015 di Berastagi-Karo, 2016 di Muara-Tapanuli Utara, 2017 di Humbahas, 2018 di Sidikalang-Dairi, dan 2019 kembali ke Parapat-Simalungun.

Lama event bervariasi, mjulai dari 3 hari 3 malam, hingga 7 hari 7 malam, tergantung anggaran. Tahun ini, FDT digelar hanya 4 hari mulai 9-12 Desember 2019. Dana yang dikucurkan pun kecil, konon hanya Rp1,4 miliar. Dana ini jelas sangat minim dibanding anggaran pada FDT beberapa tahun sebelumnya.

Minimnya anggaran FDT sudah berlangsung beberapa tahun. Tahun lalu, FDT di Dairi bahkan sangat sepi dan relatif tidak bergaung. Panitia mengaku dana yang tersedia sangat minim, sehingga tidak bisa membiayai banyak kegiatan. FDT yang paling ramai adalah FDT 2013 di Tuktuk, Samosir. Saat itu, dana dibiayai langsung dari pusat.

Meski tahun ini FDT kembali ke lokasi pertama, yakni di Parapat Simalungun, penyelenggaraan tetap sepi seperti di lokasi-lokasi sebelumnya. Sejumlah pihak menganggap FDT tahun ketujuh ini gagal karena rendahnya antusiasme pengunjung datang ke acara itu.

“Penyelenggaraan FDT ke depan memerlukan banyak evaluasi. Baik mengenai waktu pelaksanaan, kemasan acara dan keterlibatan stakeholder lainnya guna suksesi acara. FDT mestinya menjadi representasi orang Toba atau Sumut. Jadi rakyat lokal mesti terlibat mengelola festival. Kalau semua produk pusat, sedangkan daerah hanya kebagian lokasi acara, ya begitulah hasilnya,” kata Sekretaris Fraksi Partai Nasional Demokrat (F-NasDem) DPRD Sumut, Dimas Tri Adji, kepada Sumut Pos, Rabu (11/12).

Ia melihat, tingginya ego sektoral pada pemerintah tujuh kabupaten se kawasan Danau Toba, menjadi pemicu even FDT tak pernah sukses dihelat. “Ada sekat ego sektoral antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang saya lihat. Terutama pemkab se kawasan itu. Terkesan tidak mau mencari solusi bersama-sama,” katanya.

Ia juga menyinggung kinerja Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) mengembangkan KSPN Danau Toba, termasuk dalam menyukseskan pagelaran FDT. “Masak untuk tingkat direktur BPODT mesti dari pusat. Bahkan Dewan Pengawas itu diisi oleh orang-orang kementerian. Alhasil rasa memiliki dari orang-orang lokal jadi kecil. Untuk perbaikan ke depan, perlu melibatkan banyak orang-orang dari daerah setempat,” katanya.

Menurutnya, masuknya orang daerah menjadi jajaran direksi BPODT, akan memunculkan rasa saling memiliki untuk memajukan Danau Toba.

“Ada baiknya pelaksanaan FDT dikembalikan ke pemda atau pemprov, seperti ketika awal-awal even tersebut digagas. Sehingga projek-projeknya tidak bersifat top down, melainkan buttom up. Kayaknya pun, konsep FDT dan apa yang dibangun BPODT ini dirancang dari luar. Memang modern dan kekinian, cuma tak cukup menjamin pengerjaan pembangunan secara berkelanjutan,” katanya.

Kegiatan Kurang Menarik

Sementara itu, sejumlah netizen media sosial Facebook, Twitter, dan lainnya, menilai FDT 2019 kurang menarik bagi wisatawan. Kegiatannya relatif rutin dan kurang promosi. Adapun sejumlah acara FDT yakni Lomba Ucok-Butet, koor raksasa, tari kolosal saoan, tari kolosal multi etnik, pelepasan balon dan lampion, hiburan rakyat, lomba paduan suara, lomba solu bolon, pameran UKM, dan lainnya.

“Festival Danau Toba Gagal Total tidak berdampak kepada masyrakat Parapat-Ajibata dan sekitarnya. Percuma anggaran Rp1,4 miliar, lebih baik di alokasikan pelatihan pertanian atau Pokdarwis sekaligus pembelian peralatannya… Sendainya GAAPS (Gabungan Alumni Ajibata Parapat- Sekitarnya) yang pengang event ini sudah mantap kita buat yah bro Ecko Millenix Muse?” kata akun Facebook, Renz Pakpahan.

Ada juga yang menilai sepinya pengunjung FDT 2019, karena iklan promosinya hanya menampilkan foto Gubsu dan Wagubsu, dengan tulisan: ‘Festival Danau Toba 2019, di Parapat Kabupaten Simalungun.’

“Mengapa sepi pengunjung? Kelihat iklan promosi ini ibarat Gubsu kampanye lagi. Publik tidak mengetahui materi apa yang difestivalkan untuk ditonton,” kata akun Inang Malvinas Bagariang.

Sejumlah pengunjung menilai, FDT hanya dimeriahkan para pejabat dan pengisi acara. Sementara turis mancanegara dan turis domestik, tidak banyak. “Hanya sedikit ramai-ramai. Kebanyakan pejabat yang datang. Turis sama orang lokal sepi, ada yang tak tahu pas ditanya festival ini,” kata seorang pengunjung dari Kota Medan.

Sebelumnya, Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi, saat membuka FDT 2019 di Open Stage Parapat-Simalungun, mengakui bahwa masyarakat di Sumut pun banyak yang tidak tahu ada perhelatan FDT.”Danau Toba itu indah. Harus kita syukuri. Gunung Toba meletus ribuan tahun lalu sehingga membunuh dan mematikan makhluk Tuhan. Pasca-letusan, empat profesor dari Australia, Jepang, London dan Amerika menemukan tanah di Kutub Utara yang bertahun-tahun dicari asalnya tidak ditemukan,” ujar Edy.

Para peneliti, kata Edy, memperkirakan tanah tersebut berasal dari letusan gunung tertinggi di Jepang, namun tanahnya tidak sama. Setelah 16 tahun berkeliling, ditemukanlah tanah tersebut di Pulau Samosir. “Inilah sejarah dunia. Makanya kalau kita tahu benar ini, orang dunia akan datang ke sini. Saudara-saudara, orang datang untuk melihat danau karena danau yang membuat sejarah,” kata Gubsu. (mea/prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/