Menpar Arief Yahya menempatkan homestay desa wisata itu sebagai top three atau 3 program utamanya. Selain Go Digital dan Air Connectivity. Homestay itu adalah sharing economy yang diharapkan bisa meningkatkan taraf hidup dan ekonomi masyarakat, karena di pariwisata itu benefit langsung dirasakan oleh masyarakat.
Homestay itu, menurut Menteri Arief Yahya, harus dikembangkan lebih banyak dan cepat di tanah air. Pertama, jumlah kamar hotel untuk target 20 juta wisman 2019, pasti tidak cukup. Sedangkan membangun hotel baru, juga tidak bisa cepat, dan tidak bisa masif. “Homestay adalah solusinya!” kata Arief Yahya yang menyebut sharing economy atau dalam bahasa Presiden Jokowi disebut ekonomi gotong royong.
Kedua, homestay memperkuat karakter ke-Indonesiaan dengan arsitektur nusantara. Memgembalikan ciri khas budaya lokal, dari heritage building, yang bisa memperkuat atraksi wisata di daerah. “Di Jawa, misalnya menggunakan konsep joglo pendopo. Di Sumbar dengan begonjong. Di Sumateri Bagian Utara dengan rumah panggung Melayu, dan lainnya,” kata Menteri Arief.
Menpar Arief Yahya bahkan meminta, ada karakter ke-Indonesiaan dari bahan bangunannya. Gunakan bambu, pohon nyiur, rotan, atau produk asli Indonesia lain yang tidak akan kesulitan mencari bahan bakunya. Lebih eco-green, lebih mudah dan murah maintenance-nya. “Tetapi tetap artistik dan menjadi atraksi yang kuat karena culture-nya,” kata dia.
Ketiga, digitalisasi homestay desa wisata. Kemenpar memfasilitasi semua homestay dan pondok wisata untuk go digital. Free mendapatkan website developer yang sudah commerce. Free booking system dan payment engine. Free asistensi sampai bisa mengelola sendiri web untuk promosi.
“Saya masih siapkan aplikasi untuk buat laporan keuangab, laba rugi, neraca dan cashflow. Tiga itu sudah cukup untuk menaikkan level cara berpikir sebagai industri,” kata Arief Yahya. (rel)