Merasakan Atmosfer Sepakbola Brasil di Museu do Futebol, Sao Paulo
Sepak bola adalah bagian dari identitas Brasil. Museum sepak bola Museu do Futebol di Sao Paulo merekam perjalanan panjang negeri juara Piala Dunia lima kali itu dalam beragam media. Berikut laporan
wartawan JPNN MUKAS KULUKI yang baru pulang dari Negeri Samba tersebut.
MINGGU siang itu (21/10) kompleks Estádio Municipal Paulo Machado de Carvalho atau yang lebih dikenal dengan Stadion Pacaembu terlihat lengang. Hanya beberapa orang lalu lalang di depan stadion yang menjadi markas klub anggota Serie A Brasil, Corinthians, itu. Kondisi tersebut kontras dengan suasana hiruk pikuk sehari sebelumnya (20/10) saat Corinthians berlaga melawan Bahia dalam lanjutan kompetisi Liga Brasil yang berkesudahan 1-1.
Corinthians adalah satu di antara empat klub dari Sao Paulo yang berlaga di Serie A. Tiga lainnya adalah Palmeiras, Sao Paulo FC, dan Portuguesa. Sebagai kota terbesar di Brasil dengan lebih dari 11 juta penduduk, bisa jadi satu atau dua klub terasa tak cukup. Tiap-tiap klub juga punya stadion kandang yang tersebar di berbagai penjuru kota.
Kapasitas Stadion Pacaembu mencapai 38 ribu penonton. Karena stadion itu dirasa kurang besar, saat ini Corinthians membangun stadion baru di daerah Itaquera. Namanya The Arena de Sao Paulo atau Arena Corinthians.
Stadion yang juga disiapkan sebaga venue Piala Dunia 2014 itu mampu menampung lebih dari 68 ribu penonton. “Daya tampung stadion yang lama sudah tak cukup,” tutur Bruno, guide rombongan media dari Indonesia yang datang ke Sao Paulo bersama General Motors (GM).
Di kompleks Stadion Pacaembu yang dibangun pada 1940 itulah berdiri museum sepak bola, Museu do Futebol. Dibangun pada 29 September 2008 dengan biaya Real 32,5 juta (sekitar Rp 152 miliar), Museu do Futebol memang didedikasikan untuk menceritakan sejarah sepak bola negeri tuan rumah Piala Dunia 2014 tersebut.
Secara keseluruhan, museum yang terletak di bagian depan stadion itu menempati lahan seluas 6.900 meter persegi dan terdiri atas dua lantai. Tiket masuknya cukup murah, yakni Real 6 (sekitar Rp 28 ribu). Pensiunan, pelajar/mahasiswa, dan anak-anak cukup bayar setengahnya. Museum buka setiap hari, mulai pukul 09.00 hingga 17.00 waktu setempat.
Total ada 16 ruang yang menjelaskan secara detail seluk-beluk sepak bola di negeri yang juga dipercaya menghelat Olimpiade 2016 itu. Mulai pemain, wasit, fans, hingga memorabilia masuknya sepak bola dari Inggris ke Negeri Samba.
Sayang, pengunjung dilarang mengambil foto selama berada di dalam museum. “Semua yang ada di sini menceritakan sejarah sepak bola Brasil,” sahut Bruno, yang mengaku sebagai fans berat Corinthians.
Masuk ke ruang pertama, pengunjung disambut hall besar berukuran 10 meter x 10 meter bernama Penalty Area. Di tengah ruang dipajang maket ukuran 1 meter x 1 meter yang menggambarkan denah lengkap kompleks Stadion Pacaembu.
Bagi wisatawan asing, disediakan alat semacam radio yang menceritakan setiap ruang dalam bahasa Inggris. Tinggal pencet nomor sesuai dengan lokasi ruang, perempuan bersuara merdu bakal menjelaskan semuanya secara gamblang.
Ruang satu didedikasikan untuk seluruh penggemar sepak bola, tak hanya di Brasil. Di sana terpampang beragam koleksi suvenir bola seantero dunia. Mulai gantungan kunci, bendera, spanduk, poster, serta aneka macam pernik bola. Semuanya tertata rapi di dinding dan etalase.
Selanjutnya, pengunjung bisa beranjak ke ruang dua di lantai dua. Begitu masuk, pengunjung langsung disambut Pele dalam sebuah monitor besar seukuran dirinya. Mengenakan setelan jas lengkap, legenda hidup Brasil yang mengantarkan tim Samba menjuarai Piala Dunia 1958, 1962, dan 1970 itu mengucapkan selamat datang kepada pengunjung dalam bahasa Portugis, Inggris, dan Spanyol.
Ruang berikutnya adalah Foot on The Ball yang memajang foto-foto sejumlah anak bermain sepak bola dengan gembira. Gambar-gambar itu mengilustrasikan betapa mereka bisa mengubah dunia lewat kaki.
Bergeser ke ruang empat, lima, dan enam, ditampilkan sosok-sosok yang punya kiprah besar dalam sepak bola Brasil. Mulai Pele, Zico, Romario, Bebeto, hingga pemain di era kiwari seperti Ronaldo dan Ronaldinho.
Sejumlah komentator TV dan radio yang punya nama besar juga ikut mejeng. Ada pula beberapa layar besar yang menampilkan ekspresi suporter dari berbagai penjuru Brasil.
Masuk ke ruang tujuh, pengunjung diajak melihat sejarah sepak bola negeri berpenduduk 185 juta jiwa itu, yang ternyata punya sisi gelap rasialisme. Adalah Charles Miller, keturunan Skotlandia dan Brasil, yang mengenalkan olahraga itu pada 1894.
Miller menimba ilmu di Inggris dan membawa pulang hobi tersebut ke tanah airnya. Awalnya, sepak bola hanya boleh dimainkan para bangsawan kulit putih dan warga keturunan Eropa. Warga pribumi yang asli Indian dan kulit hitam dilarang bermain sepak bola.
Tapi, mulai 1920-1930-an lambat laun semua warga Brasil sudah boleh bermain sepak bola. Justru dengan sepak bola, semua ras bisa bersatu dan melupakan perbedaan. Semua itu tergambar jelas dalam koleksi 400-an foto hitam putih dalam pigura aneka ukuran dan warna. “Ternyata, sepak bola di Brasil ada diskriminasi juga, ya,” celetuk salah seorang rekan media dari Indonesia.
Betapa pentingnya sepak bola bagi Brasil terlukis dengan gamblang di ruang delapan. Di sana sepak bola sudah menjadi identitas bangsa lewat percampuran dengan beragam aktivitas sehari-hari. Mulai seni, sosial, budaya, ekonomi, hingga arsitektur. Sepak bola telah memicu kebahagiaan dan kreativitas luar biasa yang menjadikan negara terbesar di Amerika Selatan itu sebagai bangsa maju.
Lokasi yang cukup mengambil porsi besar adalah ruang sembilan, sepuluh, dan sebelas. Ruang itu mengabadikan Brasil selama di pentas sepak bola dunia. Berbagai ekspresi gembira, sedih, dan tragis dari suporter, pemain, serta ofisial dipampang dalam monitor layar lebar. Cuplikan-cuplikan pertandingan dengan efek suara dramatis menciptakan atmosfer seakan-akan berada di stadion ketika pertandingan berlangsung.
Salah satu adegan yang menguras air mata adalah saat Brasil dikalahkan Uruguay 2-1 dalam final Piala Dunia 1950 di Maracaná Stadium, Brasil. Ekspresi sedih juga ditunjukkan suporter, pemain, dan ofisial ketika Brasil ditumbangkan Prancis 3-0 dalam final Piala Dunia 1998 yang berlangsung di Prancis.
“Kami semua akan terus mengenang pertandingan itu,” tutur Laurent Berthet, director of communications Southeast Asia GM (Thailand) yang juga warga Prancis.
Di ruang 12 dan 13 pengunjung diajak melihat seni instalasi sejumlah sepatu para bintang yang digunakan dalam beragam pertandingan. Ada pula tempat diskusi untuk membahas taktik sepak bola bersama kolega dan keluarga. Memasuki ruang 14, pengunjung dapat melihat Stadion Pacaembu dari sudut belakang atas. Selain kondisi dalam stadion, terlihat pula pemandangan gedung-gedung pencakar langit Sao Paulo di kejauhan.
Di ruang terakhir, yakni ruang 15 dan 16, tersaji panduan secara visual bagaimana menjadi pemain bola. Misalnya, bagaimana menggiring bola, menerapkan pola bertahan, serta merebut bola dari kaki lawan. Pengunjung juga diberi kesempatan mencoba menendang bola dari titik penalti ke gawang. Sayang, karena antrenya terlalu panjang, tidak ada anggota rombongan dari Indonesia yang menjajal menendang.
Sampai di pintu keluar, rombongan dipersilakan mampir di toko yang menjajakan segala macam pernik bola. Ada sepatu, jersey timnas Brasil dan klub di Sao Paulo, serta perlengkapan bola lain. Sama sekali tak ada pedagang kaki lima atau asongan yang berkeliaran menjajakan dagangan.
Secara umum, Museu do Futebol adalah museum yang sangat modern lantaran banyaknya teknologi multimedia yang digunakan di dalamnya. Saat ini Museu do Futebol sudah menjadi tujuan wisata wajib bagi wisatawan jika berkunjung ke Sao Paulo.
Akses transportasi menuju ke sana pun sangat mudah dan cukup murah. Tersedia bus, kereta, hingga taksi. Bagi pengunjung yang ingin masuk gratis, bisa datang tiap Kamis. (*/c11/ttg/jpnn)