Ada juga foto laki-laki telanjang di depan Karang Ayer di Uluru, Australia; lalu di depan Menara Eiffel, Paris; di Tembok Cina; bahkan di Salar de Uyuni, padang garam terluas di dunia yang terletak di Bolivia.
“Telanjang seperti itu adalah aksi persahabatan, serta keluar dari zona nyaman,” kata salah seorang laki-laki yang telanjang di Grand Canyon. Lokasinya juga “menambah penting momen”, tambahnya. “Lagipula tak ada siapa-siapa di sana ketika itu. Jadi saya rasa tak akan ada yang tersinggung.”
“Lagipula kami sudah bepergian keliling Asia bersama, dan saya rasa tak ada dari kami yang tak menghargai budaya setempat. Pose di Grand Canyon itu kan di Amerika, yang lebih liberal.”
Jika orang-orang ber-selfie telanjang itu akhirnya dihukum, itu salah mereka sendiri, kata Simon Calder, editor senior seksi Wisata di harian Independent. Ia sendiri pernah mendaki gunung Kinabalu. “Ketika Anda berada di negara lain, ingat bahwa mereka punya hukum sendiri dan kita harus patuh,” katanya. “Anda bisa saja tidak setuju dengan kepercayaan yang Anda anggap kuno, tapi itu tak relevan.”
“Puncak gunung Kinabalu itu bukan sekadar tempat kosong. Banyak orang Malaysia mendakinya untuk melewati masa akil balig mereka. Ada ratusan orang di sana, ketika mereka berfoto selfie.”
Cader sendiri berpendapat bahwa ber-selfie telanjang di tempat-tempat eksotis memang “sedang meningkat popularitasnya” saat ini.
Apakah ini menjadi semacam ritual sendiri bagi orang-orang Barat yang baru lulus sekolah dan belum mau bekerja?
“Tampaknya ada tantangan bagi orang-orang untuk bepergian ke tempat-tempat yang makin ekstrem,” kata Sandi Mann, pengajar psikologi senior di Universitas Central Lancashire. “Berdiri telanjang di depan dinding kamar dampaknya tidak sama dengan telanjang di samping monumen terkenal.”
Menurut Mann, orang-orang yang merasa perlu dikagumi dengan memajang selfie telanjang mereka di media sosial itu “menyedihkan”.
Itu berarti orang-orang Barat sedang memaksakan diri mereka kepada bangsa-bangsa lain dan “mencoba memperlihatkan kepada banyak orang di Facebook, Twitter dan lain-lain bahwa mereka baru saja mengalami ‘pengalaman liar’, ketimbang mengalami hidup dalam budaya lain – yang sebenarnya menjadi alasan utama mengapa mereka bepergian,” katanya. (justin parkinson/BBC)
Ada juga foto laki-laki telanjang di depan Karang Ayer di Uluru, Australia; lalu di depan Menara Eiffel, Paris; di Tembok Cina; bahkan di Salar de Uyuni, padang garam terluas di dunia yang terletak di Bolivia.
“Telanjang seperti itu adalah aksi persahabatan, serta keluar dari zona nyaman,” kata salah seorang laki-laki yang telanjang di Grand Canyon. Lokasinya juga “menambah penting momen”, tambahnya. “Lagipula tak ada siapa-siapa di sana ketika itu. Jadi saya rasa tak akan ada yang tersinggung.”
“Lagipula kami sudah bepergian keliling Asia bersama, dan saya rasa tak ada dari kami yang tak menghargai budaya setempat. Pose di Grand Canyon itu kan di Amerika, yang lebih liberal.”
Jika orang-orang ber-selfie telanjang itu akhirnya dihukum, itu salah mereka sendiri, kata Simon Calder, editor senior seksi Wisata di harian Independent. Ia sendiri pernah mendaki gunung Kinabalu. “Ketika Anda berada di negara lain, ingat bahwa mereka punya hukum sendiri dan kita harus patuh,” katanya. “Anda bisa saja tidak setuju dengan kepercayaan yang Anda anggap kuno, tapi itu tak relevan.”
“Puncak gunung Kinabalu itu bukan sekadar tempat kosong. Banyak orang Malaysia mendakinya untuk melewati masa akil balig mereka. Ada ratusan orang di sana, ketika mereka berfoto selfie.”
Cader sendiri berpendapat bahwa ber-selfie telanjang di tempat-tempat eksotis memang “sedang meningkat popularitasnya” saat ini.
Apakah ini menjadi semacam ritual sendiri bagi orang-orang Barat yang baru lulus sekolah dan belum mau bekerja?
“Tampaknya ada tantangan bagi orang-orang untuk bepergian ke tempat-tempat yang makin ekstrem,” kata Sandi Mann, pengajar psikologi senior di Universitas Central Lancashire. “Berdiri telanjang di depan dinding kamar dampaknya tidak sama dengan telanjang di samping monumen terkenal.”
Menurut Mann, orang-orang yang merasa perlu dikagumi dengan memajang selfie telanjang mereka di media sosial itu “menyedihkan”.
Itu berarti orang-orang Barat sedang memaksakan diri mereka kepada bangsa-bangsa lain dan “mencoba memperlihatkan kepada banyak orang di Facebook, Twitter dan lain-lain bahwa mereka baru saja mengalami ‘pengalaman liar’, ketimbang mengalami hidup dalam budaya lain – yang sebenarnya menjadi alasan utama mengapa mereka bepergian,” katanya. (justin parkinson/BBC)