BERAWAL dari garasi dan area servis yang rusak kena rayap, Sita Sitaresmi, 40, harus mengambil langkah untuk merenovasinya. Perbaikan itu tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit, bagaimana menutupnya?
’’Saya mulai browsing dan menemukan platform hosting online yang cocok dengan kondisi rumah. Banyak orang yang bilang rumah kami beautiful, tidak mewah tapi indah, serta ada jiwanya di situ… we want to share the beauty of this house,’’ ujar Sita yang mulai menyewakan kamar di rumahnya sejak Juli 2014.
Platform hosting online yang dimaksud Sita tersebut memang tengah nge-tren di antara traveler yang ingin merasakan sensasi berbeda dibandingkan dengan menginap di hotel. Yang cukup familier di Indonesia adalah Airbnb. Selain itu, masih ada pilihan situs lain. Yakni, 9flats, HomeAway, Wimdu, maupun Roomaroma.
Sistemnya yang dibangun lebih win-win solution ketimbang sekadar menumpang di rumah orang. Sebab, tuan rumah dan si pelancong tidak menghadapi hal-hal di luar ekspektasi. Paling tidak, kemungkinannya kecil. Tuan rumah bisa menentukan tamu yang boleh dan tidak. Si penyewa pun bisa memilih yang sesuai dengan keinginan serta budget.
Hal tersebut berbeda dengan kos harian atau hotel low rate. Sita, pemilik Nilaya House, menuturkan bahwa hosting house bukan cheap accommodation dengan kualitas murahan. ’’It is a real bargain. Maksudnya, dengan harga yang sama dengan hotel low rate, tamu mendapat pengalaman yang jauh lebih personal, akrab, dan memorable,’’ jelas host asal Jakarta itu.
Saski Primasari, pemilik hosting house di Surabaya, mengungkapkan hal serupa. Yakni, mereka menyewakan kamar dengan style yang benar-benar berbeda. Kamarnya lebih homey. Mereka juga akan merasa nyaman dan memiliki keluarga baru. ’’Ada tamu dari Malaysia dan dia ternyata lanjut kerja di Surabaya. Dia ambil long stay 9 bulan karena takut homesick kalau ngekos. Dia suka di rumah saya ada anak-anak,’’ ungkap Saski.
Tidak jarang Saski dan Sita, keduanya terdaftar di Airbnb, membantu tamunya untuk merencanakan perjalanan wisata serta memberikan info yang bersifat sangat lokal. Sita juga menambahkan, kebanyakan peminat hosting house adalah wisatawan asing. ’’Mereka memang mencari interaksi dengan host, kekeluargaan, dan bertetangga, serta cultural understanding,’’ ungkap Sita.
Bagi konsultan hukum dan investor saham itu, menjadi hosting termasuk juga seorang diplomat. Karena mereka, kesan pertama bagaimana Indonesia dilihat. Sita pernah mendapatkan pasangan Amerika yang sangat terkejut.
’’Bagi sebagian besar orang Amerika, hidup di Indonesia bersama muslim itu pasti berbahaya. Ketika tinggal dengan kami seminggu, betapa mereka tercengang dengan keramahan kita sebagai muslim, sangat beda dengan apa yang mereka dengar di Barat,’’ paparnya.
Contoh keakraban lainnya, Sita suka yoga bareng tamunya yang hobi yoga atau pergi ke spa bersama tamu perempuan. ’’Karena konsepnya hosting, kami tuan rumah. Mereka memperlakukan kami seperti teman, bukan pelayan,’’ jelasnya.
Pertemanan yang terjalin dengan para tamu tidak berakhir saat sewa kamar selesai. ’’Sampai sekarang, banyak yang suka kontak-kontakan. Bahkan, dulu ada orang Prancis yang akhirnya menetap di Surabaya sering ngajak ngopi bareng,’’ cerita Saski.
Tamu-tamu Sita pun sering mengirimi kartu pos dan benda-benda khas asal negaranya. ’’Zaman sekarang pakai kartu pos? Bukankah itu sesuatu yang menyentuh sekali,’’ katanya.
Selain menambah teman dan pengalaman, penghasilan ekstra yang didapat begitu signifikan. ’’Awalnya, aku tahu konsep ini dari temanku yang tinggal di Belanda. Dia sewakan kamarnya kira-kira bisa 14 hari sebulan dengan cost 80 Euro per malam. Ini kan exstracost yang tidak terduga sebelumnya,’’ ungkap Saski.
Bagaimana keamanannya, bukankah yang ditampung adalah orang-orang asing? Dengan platform online, pemilik rumah ternyata bisa lebih mudah menyeleksi tamunya. ’’We can always say no. Jadi, kita bisa melacak media sosialnya dulu, dari situ pasti kelihatan. Kita pun berkomunikasi sebelum dia datang,’’ jelas Saski, interior stylist, itu.
Sejauh ini tidak ada tamu yang berulah. Semua orang baik-baik. Hal serupa diungkapkan Sita. Dia lebih baik menerima reservasi via online. Dia kini tidak menerima reservasi langsung karena pernah mendapat pengalaman buruk. Ada perempuan Rusia yang izin tinggalnya sudah kedaluwarsa enam bulan.
’’Itu pelanggaran hukum serius. Saya tidak mau terlibat. Jadi, saya kirim dia balik ke Kedutaan Rusia. Dia nginap dengan bayinya pula. Rumah kami tidak cocok untuk bayi. Sejak saat itu, kami tambah peraturan terkait,’’ jelasnya.
Sensasi Berbeda
Menginap di rumah orang yang benar-benar asing bagi sebagian orang memang terasa janggal. Bagaimana jika canggung, bagaimana jika banyak aturannya, bagaimana jika malas beramah tamah, dan sederet pertimbangan lain pasti timbul.
Namun, jika Anda traveler yang ingin merasakan sensasi berbeda, daripada sekadar berfoto di lokasi-lokasi wisata, konsep menginap di hosting house jadi alternatif yang tepat.
Traveler antimapan Vira Zoelfikar sering mencicipinya, baik melalui reservasi langsung maupun melalui platform hosting online.
’’Senang kalau ada tuan rumah. Orang lokal yang bisa ditanyai tentang apa pun yang saya butuhkan di sana seperti tempat-tempat menarik selain yang sudah sering diulas di internet, tempat makan murmer (murah meriah), dan kebiasaan masyarakat setempat,’’ ungkap travel blogger yang eksis di Indohoy.com itu.
Melalui platform hosting online, Vira punya dua pengalaman, yakni saat berwisata di Ubud, Bali, dan di Batu Karas, Jawa Barat. Di Bali, host Vira sangat baik dengan meminjamkan motor secara cuma-cuma karena motor di persewaan sudah habis.
’’Pas menginap di Batu Karas, host saya mau jalan-jalan dengan tamu yang lain, lalu menawari saya dan suami untuk ikut. Kami jadi tahu pantai-pantai yang nggak umum di sana,’’ kenang penulis lepas 35 tahun tersebut.
Astri Abyanti, 34, memilih tinggal di rumah pribadi seseorang karena ingin merasakan kehidupan khas sehari-harinya. Saat tur ke Eropa, Astri nekat tidak memesan hotel, tapi memilih pesan di platform hosting online. ’’Selain kelebihan itu, asyiknya lagi harganya jadi miring. Secara di Eropa kan mahal. Dengan harga yang sama dengan bujet hotel, kita bisa sewa seluruh apartemen. Jadi, areanya gede,’’ ungkap Astri.
Astri singgah di empat negara waktu itu. Di tiga negara dia mendapat host yang tidak seatap, hanya satu yang seatap. ’’Untuk mencegah canggung, enaknya sih yang beda rumah. Itu pun kita selalu di-serve dengan baik, kok,’’ ungkapnya.
Saat tiba tengah malam dan hujan badai, otomatis mereka tidak bisa keluar untuk mencari makan. Ketika itu, host mereka sudah menyediakan aneka roti.
Dengan konsep tersebut, seorang traveler dituntut mandiri. Jika di hotel ada layanan angkat koper atau pesan makanan diantar ke kamar, tidak ada hal semacam itu di hosting house. Konsepnya memang tidak seperti itu.
’’Jadi, kalau berada di negara-negara yang penduduknya bisa berbahasa Inggris dan informasi diperoleh dengan mudah, nggak jadi masalah. Tapi, kalau kita blind banget sama negaranya seperti di Eropa Timur, mending jangan,’’ sarannya. (puz/c15/c17/dos)