28.9 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Menyapa Alam Badui

Suku Badui di Provinsi Banten dikenal sebagai suku yang bersahaja dan sangat menjaga keseimbangan alam. Seperti apa ?

YUNITA Susanty akrab yang di panggil Antie ini merupakan seorang yang senang melakukan perjalanan dengan cara backpacker. Salah satunya pengalaman yang tak terlupakannya pada saat perjalanan mengunjungi Suku Badui atau Badawi, Banten pada 2010 kemarin. Dengan melakukan wisata selama tiga hari. Tercatat sekrira 12 kota Besar yang di datangi anggota komunitas Backpaker Medan ini.

BADUI LUAR: Yunita Susanty  (kanan sudut)  bersama temannya foto bersama  suku Badui Luar//ist
BADUI LUAR: Yunita Susanty (kanan sudut) bersama temannya foto bersama dengan suku Badui Luar//ist

Antie ketika itu masih bekerja di Jakarta. Bersama ke 13 teman lainnya melakukan perjalanan menemui Suku Badui tepat menyambut perayaan Natal. Pastinya saat itu mereka sudah libur. Untuk mengeluarkan uang ke tempat ini dari Jakarta tidak lah banyak yang dibayangkan, cukup mengeluarkan Rp115 ribu sampai Rp125 ribuan. Memang tempat ini tidaklah seperti destinasi wisata yang mewah dan berkelas seperti di Bali , Lombok maupun Jakarta.

Saat itu, mereka melakukan perjalanan dengan kereta api ekonomi bertarif Rp4 ribu dari Tanah Abang pukul 07.00 WIB. Mereka tiba di Stasiun Rangkasbitung, Lebak Banten sekira pukul 10.00 WIB. Dari stasiun mereka naik transportasi berupa mobil mikro bus yang di sana disebut elf (Isuzu Elf). Angkutan ini langsung menghantarkan mereka ke tempat atau perkampungan Suku Badui Luar dengan biaya Rp300 ribuan dengan waktu tempuh 2 jam.

Perkampungan suku Badui
Perkampungan suku Badui

Tak puas hanya bercengkerama dengan anggota Suku Badui Luar, rombongan wisatawan lokal ini ‘merambah’ ke perkampungan Suku Badui Dalam. Untuk memasuki ke perkampungan Suku Badui Dalam, mereka diimbau membawa cendramata yang disenanggi Suku Badui seperti gambir, sirih dan ikan asin. “Sampai di sini kita langsung tracking menuju ketempat tersebut membutuhkan waktu tiga jam lamanya karena tidak ada lagi alat transportasi,” ucapnya wanita 28 tahun ini.

Selama tiga jam lamanya mereka berjalan yang di pandu dengan guide sampai lah mereka ke tempat yang mereka inginkan. Rasa lelah pun terbayar dengan sambutan hangat dari Suku Badui Dalam. Tempat itu benar-benar menyuguhkan suasana budaya dan adat istiadat yang masih kental melekat. Rumah-rumah penduduk masih beralaskan kayu ditopang penyangga kayu yang diambil dari hutan terdekat.

Tak ada alat penerangan apalagi alat teknologi seperti handphone, komputer, kamera, laptop atau gandet lainnya. Bahkan, untuk mandi agar supaya wangi juga tidak dibenarkan memakai sabung atau wangian lainnya yang berbahan kimia buatan. Peraturan ini berlaku bagi siapa saja yang ada di lingkungan perkampungan Badui Dalam.

“Memang di tempat ini tidak dibenarkan untuk memakai barang-barang yang seperti itu, karena ini pantangan bagi suku mereka. Jika dilanggar mereka langsung dihukum kepala suku,” ucapnya.

Walaupun terkesan jauh dari kehidupan modern, di kampung itu tersedia tempat penginapan. “Kita di sana ada tempat nginap yang disediakan masyarakat Badui Dalam, tinggal di rumah mereka,”ucapnya. Biaya menginap tidak dipatok, cukup memberikan seikhlas hati. “Saat itu kami memberi uang Rp200 ribu untuk dua kamar,” ucapnya.

Ada banyak yang di dapat pengalaman di tempat ini. Keakraban muncul saat makan bersama keluarga Badui, kebiasaan yang hampir hilang di kota-kota besar. Selain itu lingkungan yang masih asri alami. Pukul 10 malam, perkampungan sudah senyap, tak seorang pun keluar rumah.

“Anak-anak mereka tidak sekolah. Tapi yang herannya mereka sangat pintar dan cepat nangkap kalau di kasih sesuatu ilmu pengetahunan,” ucapnya.

Pagi pun tiba, suara-suara ayam saling bersahutan. Karena keakraban itu sudah memupuk di dalam diri setiap masing-masing keluarga, mereka langsung bergegas ke sungai untuk mandi bersama. Tak ketinggalan wisatawan yang ingin merasakan kebersamaan di antara dingind dan segarnya air sungai. Pastinya tempat wanita dan pria sudah dipisahkan. Selesai mandi mereka langsung melakukan pekerjaan. Kebanyakan dari mereka menjadi petani durian, jagung, sayuran dan tanaman hortikultura, menjual cendra mata dan lainnya.
Waktu itu dimanfaatkan Antie dan rekannya berkeliling kampung. Kehidupan alami Suku Badui kian terasa ketika Antie dan kawan-kawan menelusuri jembatan yang terbuat dari akar pepohonan dirajut bambu di atas danau kecil. “Selain mendapatkan kebersamaan, kita juga bisa mempelajari budaya mereka,” ucapnya.

Berat untuk meninggalkan tempat ini, tapi Antie dan teman-temanya melajutkan untuk pulang ke Jakarta. (ban)

Suku Badui di Provinsi Banten dikenal sebagai suku yang bersahaja dan sangat menjaga keseimbangan alam. Seperti apa ?

YUNITA Susanty akrab yang di panggil Antie ini merupakan seorang yang senang melakukan perjalanan dengan cara backpacker. Salah satunya pengalaman yang tak terlupakannya pada saat perjalanan mengunjungi Suku Badui atau Badawi, Banten pada 2010 kemarin. Dengan melakukan wisata selama tiga hari. Tercatat sekrira 12 kota Besar yang di datangi anggota komunitas Backpaker Medan ini.

BADUI LUAR: Yunita Susanty  (kanan sudut)  bersama temannya foto bersama  suku Badui Luar//ist
BADUI LUAR: Yunita Susanty (kanan sudut) bersama temannya foto bersama dengan suku Badui Luar//ist

Antie ketika itu masih bekerja di Jakarta. Bersama ke 13 teman lainnya melakukan perjalanan menemui Suku Badui tepat menyambut perayaan Natal. Pastinya saat itu mereka sudah libur. Untuk mengeluarkan uang ke tempat ini dari Jakarta tidak lah banyak yang dibayangkan, cukup mengeluarkan Rp115 ribu sampai Rp125 ribuan. Memang tempat ini tidaklah seperti destinasi wisata yang mewah dan berkelas seperti di Bali , Lombok maupun Jakarta.

Saat itu, mereka melakukan perjalanan dengan kereta api ekonomi bertarif Rp4 ribu dari Tanah Abang pukul 07.00 WIB. Mereka tiba di Stasiun Rangkasbitung, Lebak Banten sekira pukul 10.00 WIB. Dari stasiun mereka naik transportasi berupa mobil mikro bus yang di sana disebut elf (Isuzu Elf). Angkutan ini langsung menghantarkan mereka ke tempat atau perkampungan Suku Badui Luar dengan biaya Rp300 ribuan dengan waktu tempuh 2 jam.

Perkampungan suku Badui
Perkampungan suku Badui

Tak puas hanya bercengkerama dengan anggota Suku Badui Luar, rombongan wisatawan lokal ini ‘merambah’ ke perkampungan Suku Badui Dalam. Untuk memasuki ke perkampungan Suku Badui Dalam, mereka diimbau membawa cendramata yang disenanggi Suku Badui seperti gambir, sirih dan ikan asin. “Sampai di sini kita langsung tracking menuju ketempat tersebut membutuhkan waktu tiga jam lamanya karena tidak ada lagi alat transportasi,” ucapnya wanita 28 tahun ini.

Selama tiga jam lamanya mereka berjalan yang di pandu dengan guide sampai lah mereka ke tempat yang mereka inginkan. Rasa lelah pun terbayar dengan sambutan hangat dari Suku Badui Dalam. Tempat itu benar-benar menyuguhkan suasana budaya dan adat istiadat yang masih kental melekat. Rumah-rumah penduduk masih beralaskan kayu ditopang penyangga kayu yang diambil dari hutan terdekat.

Tak ada alat penerangan apalagi alat teknologi seperti handphone, komputer, kamera, laptop atau gandet lainnya. Bahkan, untuk mandi agar supaya wangi juga tidak dibenarkan memakai sabung atau wangian lainnya yang berbahan kimia buatan. Peraturan ini berlaku bagi siapa saja yang ada di lingkungan perkampungan Badui Dalam.

“Memang di tempat ini tidak dibenarkan untuk memakai barang-barang yang seperti itu, karena ini pantangan bagi suku mereka. Jika dilanggar mereka langsung dihukum kepala suku,” ucapnya.

Walaupun terkesan jauh dari kehidupan modern, di kampung itu tersedia tempat penginapan. “Kita di sana ada tempat nginap yang disediakan masyarakat Badui Dalam, tinggal di rumah mereka,”ucapnya. Biaya menginap tidak dipatok, cukup memberikan seikhlas hati. “Saat itu kami memberi uang Rp200 ribu untuk dua kamar,” ucapnya.

Ada banyak yang di dapat pengalaman di tempat ini. Keakraban muncul saat makan bersama keluarga Badui, kebiasaan yang hampir hilang di kota-kota besar. Selain itu lingkungan yang masih asri alami. Pukul 10 malam, perkampungan sudah senyap, tak seorang pun keluar rumah.

“Anak-anak mereka tidak sekolah. Tapi yang herannya mereka sangat pintar dan cepat nangkap kalau di kasih sesuatu ilmu pengetahunan,” ucapnya.

Pagi pun tiba, suara-suara ayam saling bersahutan. Karena keakraban itu sudah memupuk di dalam diri setiap masing-masing keluarga, mereka langsung bergegas ke sungai untuk mandi bersama. Tak ketinggalan wisatawan yang ingin merasakan kebersamaan di antara dingind dan segarnya air sungai. Pastinya tempat wanita dan pria sudah dipisahkan. Selesai mandi mereka langsung melakukan pekerjaan. Kebanyakan dari mereka menjadi petani durian, jagung, sayuran dan tanaman hortikultura, menjual cendra mata dan lainnya.
Waktu itu dimanfaatkan Antie dan rekannya berkeliling kampung. Kehidupan alami Suku Badui kian terasa ketika Antie dan kawan-kawan menelusuri jembatan yang terbuat dari akar pepohonan dirajut bambu di atas danau kecil. “Selain mendapatkan kebersamaan, kita juga bisa mempelajari budaya mereka,” ucapnya.

Berat untuk meninggalkan tempat ini, tapi Antie dan teman-temanya melajutkan untuk pulang ke Jakarta. (ban)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/