Agak lama Taleb Rifai tertegun. Kerut dahinya semakin berlipat-lipat. Kata-kata Arief Yahya itu rupanya sudah terjadi di Eropa. Arsitek lulusan University of Cairo (1973), lalu master di Illinois Institute of Technology Chicago, dan gelar PhD dari Pennsylvania University itu rupanya sedang “loading” dengan data dan angka yang mengafirmasi statemen Arief Yahya.
Industri perhotelan mengeluhkan hadirnya online travel agent, yang mempengaruhi stabilitas harga. Dia menyebut nama aplikasi yang membuat penyedia jasa akomodasi konvensional atau hotelier merasa terganggu. Mereka menyebutnya “unregistered accomodation”.
Karena murah, mudah, online, mereka sangat cepat berbiak di Eropa. Di Barcelona Spanyol, naik dari 18% menjadi 75%. Di Paris juga sudah 62%. Giliran Taleb yanh belajar dari konsep besar Arief Yahya dengan solusi digital atau persoalan digital effect itu.
Ini point kedua, yang dijelaskan Arief Yahya ke Taleb Rifai. Yakni soal homestay desa wisata, yang sedang dibangun Kemenpar bersama Kemen PUPR, Kemendes san BUMN
“Kami menggunakan istilah homestay desa wisata, yang kelak satu paket. Ada 74 ribu desa di Indonesia, yang akan diarahkan menjadi atraksi budaya tersendiri di destinasi wisata! Mereka akan di digitalisasi, dibina hospitality-nya, dibuatkan platform selling nya, dan Indonesia akan punya destinasi budaya terbesar di dunia,” kata Arief.
Maka dari itu, Taleb Rifai setuju jika Indonesia dijadikan “Pilot Project”! sekaligus menjadi model penanganan yang benar terhadap Digital Platform Services, agar tidak terhadi konflik seperti yang terjadi di grab dan gojek di transportasi.
Ada rumus baru yang disampaikan Arief Yahya, terkait dengan digital lifestyle yang merebak seperti “makhluk angkasa luar” itu. “Yakni filosofi service excellent. Kalau tidak diimbangi dengan itu, juga tidak akan sustainable,” kata dia.
Menpar RI dan Sekjen UNWTO setuju jika penggunaan teknologi Digital sudah tak terelakkan lagi. Pariwisata sebagai bagian dari Service Industry pun juga wajib mempunyai filosofi “Cheaper Easier Faster”. Digital teknologi dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Point ketiga, soal Visa Fasilitation, yang menaikkan jumlah wisman tahun 2016, sebesar 20%. Menpar Arief melaporkan dari 169 negara visa free itu akan dikurangi 49 negara, yakni mereka yang jumlah wismannya di bawah 100 orang. “Mereka akan diubah statusnya nenjadi Vosa on Arrival,” tuturnya.
Di point ini, Sekjen UNWTO Taleb Rifai menyarankan pola Electronic Visa. “Yang menjadi problem bukan biaya visa USD 20 sampai USD 30. Tetapi orang harus datang ke Embassy, harus menunggu lama, harus mengisi aplikasi, wawancara, dan lama tidak ada kepastian. Dan ini bisa diselesaikan dengan cara e-visa,” kata Taleb.
Satu tema lagi, yang belum sempat di up date ke UNWTO, yakni air connectivity. Satu dari tiga prioritas kerja Kemenpar. Kini Menpar Arief sedang gencar roadshow ke Airlines, Airports dan Authority (Airnav dan Kemenhub). “Intinya, kami undang semua airlines terbang direct flight ke Wonderful Indonesia,” ungkapnya