25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Calon Kuat

Cerpen: T Agus Khaidir dan Khairul Ikhwan Damanik

Setelah entah berapa kali dinyatakan tak layak, berita yang kutulis akhirnya naik cetak juga. Dua kolom di bagian kiri atas, dilengkapi foto. Hmmm. Agaknya, mau tak mau aku memang harus berkompromi dengan Marwan Hidayat, editor desk politik kami.

Untuk berita-berita yang bersifat informatif dan tak memiliki pretensi kepentingan apapun selain potensi memuaskan sidang pembaca, kami wartawan memang memiliki hak bertanya apabila berita yang kami tulis itu tak dimuat. Tapi akan halnya berita kecap macam begini, tentu pulalah jadi hak editor untuk mengobrak- abrik, menahan, bahkan mengelimasi.

Seperti dilakukan Marwan terhadap berita-beritaku menyangkut Zainuddin, politisi muda yang beberapa bulan jadi ketua DPD partai berkuasa.

Kemarin tepat 10 tahun kulakoni profesi wartawan. Setelah melewati masa magang yang mendebarkan, selama kurang lebih tiga tahun aku berkutat di desk olahraga. Khususnya sepakbola. Mengasyikkan, karena cukup berbekal ilmu kira-kira, aku bebas menuliskan prediksi dan analisis tanpa harus mencemaskan delik.

Kemudian kucecap pula nikmat desk hiburan, sebelum entah karena pertimbangan apa, redaktur pelaksana memindahkan aku ke desk hukum.

Disinilah pertama kali aku bersinggungan dengan Zainuddin. Sebagai lawyer pendatang baru, ia terkenal karena garang dan sangat licin. Kalimat- kalimat jebakannya, sering membikin para terdakwa, saksi, jaksa, bahkan hakim, terbata hilang kata-kata.

Tapi sering pula ia nekat. Main tuding seenak perut, meyakini analisis sendiri walau nyata-nyata tak punya amunisi bukti kuat. Sikap terakhir ini beberapa kali hampir membuatnya celaka.

Ia pernah berpekan terkapar di rumah sakit setelah dadanya diterjang peluru penembak gelap.

Begitulah, meski tak selalu berhasil memenangkan perkara, publik senang mengikuti berita kasus-kasusnya, melulu karena merasa terhibur.

Betapa hukum ternyata bisa berjalan seperti serial bikinan Rowan Atkinson: penuh humor mengejutkan! Kejutan ini pulalah yang menyergapku, kira-kira tiga tahun lalu, ketika pagi-pagi buta ia meneleponku dan menyatakan niatnya mencalonkan diri menjadi anggota DPR. Saat itu aku memang sudah digeser lagi ke desk politik.

“Tak salah dengar aku, Bang?” tanyaku waktu itu, setelah tuntas derai tawaku. “Kuakui abang pengacara hebat.

Tapi jujur, bang, soal politik, abang tahu apa.” Ia ikut tertawa. Tapi pada kalimat berikutnya, suaranya berubah serius.

“Tak main-main aku, Rul. Kenapa rupanya? Kau pikir aku tak pantas jadi anggota dewan? “Pantas. Pantaslah. Siapa bilang tidak. Jadi berhentilah abang jadi pengacara, ya?” “Untuk sementara saja, Rul. Kalau nyatanya nanti politik tak cocok untukku, ya aku balik lagi. Gampanglah itu. Perkara taik burung. Tapi sekarang begini sajalah. Kau mau bantu aku atau tidak?” Tentu saja aku bersedia membantunya.

Dalam kapasitasku sebagai wartawan, sebisa mungkin kuberitakan seluruh kegiatan sosialisasi yang ia lakukan. Hasilnya seperti kami harap bersama. Dalam pemilu legislatif, Zainuddin meraup banyak suara.

Tadinya aku berpikir sepakterjang politiknya tak lagi riuh-rendah. Toh punggungnya sudah nyaman bersandar di kursi empuk gedung dewan yang berhawa sejuk itu. Aku keliru.

Mengadopsi kelihaiannya di ruang pengadilan, Zainuddin melakukan berbagai manuver canggih yang mengantarkannya ke kursi orang nomor satu di tubuh partai penguasa. Secara aklamasi, ia juga terpilih sebagai ketua dewan.

Lagi-lagi aku berasumsi ia akan mereda dan –apa boleh buat– lagi-lagi harus kecele tempe. Ambisinya justru kian menjadi-jadi. Kasus korupsi yang menjerat orang nomor satu di propinsi ini dipandangnya sebagai celah untuk merangsek lebih jauh. Terus terang, langkahnya kali ini membikin aku bergidik.

“Ah, begitu saja kau pening. Sudah, nanti dananya kutambahi.

Kau bagilah sama bos kau itu.” Iyalah.

Cara lama, kuno, yang akan ternyata masih saja tetap jitu. Hanya bohong besar jika dikatakan politik bisa mulus berjalan tanpa uang. Buktinya beritaku ini.

Dukungan untuk Zainuddin Menguat.

Medan (Wahana Fantasi) – Dukungan terhadap Zainuddin sebagai calon gubernur terus menguat. Sabtu kemarin, Paguyuban Latteung menyampaikan surat dukungan atas pencalonan tersebut dan berjanji mengerahkan 1.500 anggotanya untuk memilih Zainuddin dalam Pemilukada mendatang.

“Pak Zainuddin ini kami lihat sebagai sosok yang paling pantas untuk menjadi gubernur berikutnya. Pak Zainuddin selama ini dikenal sebagai sosok yang berani, tanpa kompromi.

Kami percaya di bawah kepemimpinannya, provinsi kita ini akan semakin maju,” kata Ketua Paguyuban Latteung, Julpikar Chalis, saat ditemui di kantor Paguyuban, Jl Sawo Matang, kemarin.

Zainuddin sendiri menyatakan sangat berterima kasih atas dukungan yang diberikan. Ia berjanji, akan memperhatikan segenap aspirasi segenap anggota Paguyuban Latteung apabila terpilih sebagai gubernur.(rul)

****

DEBAR di dadaku masih terpacu kencang. Busyet! Si Khairul selangkah mendahuluiku. Hampir saja kuraih ponsel, bermaksud mengirimkan sms, jika saja koordinator liputan tak menyemprotku. Rupanya sejak tadi ia memperhatikan aku serius membaca koran Wahana Fantasi. Padahal akulah yang sedang jadi sasaran tembaknya.

Sebuah berita penting telah terlewatkan: Komisi Pemilihan Umum akan dituntut seorang calon Panitia Pengawas Kecamatan yang merasa diperlakukan tidak adil lantaran gagal dalam ujian.

“Bobol kita. Semua koran dapat.

Apa saja kerja kau di luar sana?!” Aku pasrah. Memang salahku. Pada koordinator liputan aku berjanji tak mengulang keteledoran. Tapi dalam kepalaku yang ada sebenarnya cuma pikiran bagaimana melakukan counter terhadap berita Si Khairul.

Aku baru saja akan mengirimkan beberapa usulan melalui sms ketika ponselku bergetar. Di layar tertera sebaris nama. Aih! Dia lebih dulu menelepon.

Debar di dadaku kian kencang.

“Ya, Bang Parlin…,” sahutku berbisik.

“Sudah kau baca berita di Wahana Fantasi?” “Sudah, Bang. Sudah.” “Aku tak mau tahu, Gus! Kau cari anggota Paguyuban Latteung yang tidak mendukung si lontong itu. Aku mau beritanya muncul besok di koran kau besok.” “Siap, Bang. Siap.” Tidak sulitlah mencari yang antipati.

Selama ada pohon yang tinggi sendiri, setidaknya angin bisa bertiup dari empat penjuru angin. Kudapatkan pernyataan salah seorang di antaranya.

Kemudian kuolah menjadi berita singkat. Saat kusodorkan pada Bang Samsul Purnama, editor desk politik merangkap editor plus wartawan desk kebudayaan itu menyengitkan kening.

“Apa untungnya untuk koran kita kalau memuat berita seperti ini, Gus?” “Sedang kujajaki, Bang. Sedang kujajaki.” Samsul Purnama mengangguk, lantas mengibaskan tangan. Isyarat jelas agar aku keluar dari ruangannya. Esoknya, berita itu dimuat. Dua kolom di kanan atas, dalam kotak hairline tipis yang diraster 20 persen. Meski kecil tetap menyolok mata. Lumayan.

Dukungan Terhadap Zainuddin Pernyataan Sepihak Medan

(Alam Nyata) – Sejumlah anggota Paguyuban Latteung menyayangkan pernyataan segelintir oknum pengurus yang mendukung calon gubernur Zainuddin yang mengatasnamakan paguyuban.

“Sudah jelas dia (Zainuddin) selama ini tidak pernah peduli terhadap kita.

Kenapa pula kami harus dukung dia? Dukungan itu tak pernah dimusyawarahkan.

Itu adalah dukungan liar, dan kami menduga ada unsur money politic dalam masalah ini,” sebut Hengki Amin, Sekretaris Jenderal Paguyuban Latteung, di kantornya, Jl Kuning Langsat, kemarin.

Dikemukakannya lebih lanjut, Julpikar Chalis bukan ketua sah.

“Yang terpilih dalam Musda dua bulan lalu adalah Hendrik Candra. Zulpikar tak terima dan membuat Musda tandingan. Ia mengangkat diri sendiri sebagai ketua, juga membuka kantor sendiri. Karenanya Zulpikar Charis, tak dapat bicara mengatasnamakan Paguyuban Latteung, apalagi sampai menyatakan dukungan. Tindakannya kebablasan,” ujar Hengki.

Zainuddin sendiri, yang coba dikonfirmasi wartawan melalui sambungan telepon, tidak berhasil dihubungi.

Ponselnya terus bernada sibuk.(gus)

****

PRO dan kontra dalam berita itu biasa.

Jamak pula sedikit-sedikit saling melontar sindir, bahkan melempar hina. Tapi apa yang dilakukan Si Agus kupikir kelewatan. Membantainya tak kira-kira. Sering apa yang ditulisnya melenceng jauh dari fakta. Pernah kuusulkan pada Bang Awang, kenapa tak disomasi saja koran Alam Nyata itu.

Awang ini tangan kanan Zainuddin.

Dialah penghubungku sekarang.

Sudah sangat jarang aku ketemu Zainnudin secara langsung. Paling-paling berkomunikasi lewat ponsel. Aku maklum-maklum saja. Ia tentu perlu lebih rajin bergerilya, mendatangi tokoh-tokoh partai politik untuk mendapatkan perahu.

Hari itu, aku lupa, sudah untuk kali keberapa usulku ditolaknya. “Biarkanlah.

Ibaratnya, anjing menggonggong kafilah berlalu,” katanya.

“Kalau gonggongan itu makin keras, apa tak perlu kita lempar batu?” Dia senyum-senyum saja. Disodorkannya cd, berisi naskah berita untuk kuolah, serta amplop tentu saja –titipan bosku untuk bosmu, katanya.

Aku mengangkat bahu. Esoknya, beritaku muncul di kaki halaman kota.

Fotonya kali ini jauh lebih bagus dari yang kemarin-kemarin karena kuminta Sayed Siregar, fotografer kantor, mengambilnya. Tak apalah jatah untukku harus kubagi dua dengan dia, yang utama Zainuddin puas.

Penarik Becak Doakan Zainuddin Medan

(Wahana Fantasi) – Puluhan penarik becak menyatakan keheranannya pada sosok Zainnudin yang bersedia duduk di warung kopi bersama mereka.

“Sosok merakyat seperti ini merupakan calon ideal sebagai gubernur.

Kami tentu saja bangga. Belum pernah ada petinggi mau minum di sini, apalagi di sebelah ada bak sampah yang kadang-kadang baunya menyengat bikin mau muntah itu. Kami minum di sini, melulu karena murah.

Tapi Pak Zainuddin minum di sini, pastinya bukan karena alasan serupa,” kata Suriadi (42), di warung kopi Tengku Iskandar, Jl Hitam Pekat, kemarin.

Penarik becak lain, Romulo (26), malah tak sungkan menyatakan kekaguman dan berharap Zainuddin terpilih pada Pemilukada mendatang.

“Walaupun masih agak lama, ya. Tapi khususnya saya berdoa supaya Bapak Zainuddin terpilih jadi gubernur,” sebutnya.

Zainuddin dalam kesempatan itu berjanji memberi perhatian lebih besar jika kelak benar-benar terpilih, khususnya menyangkut kebijakan penertiban yang akhir-akhir ini meresahkan penarik becak dan sempat membuat mereka berunjukrasa ke kantor DPR.

“Kebijakan yang menyentuh wong cilik seharusnya lebih manusiawi,” ujarnya.

Di akhir kunjungan, calon gubernur Zainuddin memberikan sekadar buah tangan berupa kaus oblong dan handuk kecil untuk menyeka keringat.(rul)

****

AKU tak punya sikap politik fanatik.

Kupastikan Khairul juga demikian.

Buktinya, dua pemilu terakhir, kami tetap golput –pilihan yang kami pelihara sejak masih mahasiswa (kami satu universitas tapi beda fakultas).

Meski hari-hari kami sekarang tak pernah tidak diwarnai isu politik, sungguh mati itu cuma lelucon keterpaksaan atas nama kewajiban yang harus ditunaikan demi secarik kertas yang akan kami tandatangani di awal bulan.

Nah! Jika belakangan kami bisa bersiteru sebegini hebat, aku percaya sebabnya semata-mata adalah “kepentingan lain”. Lantaran perkawanan, aku merasa perlu membela Zainuddin. Khairul? Entahlah. Perang berita kami, sudah berlangsung lebih dua bulan dan sejauh ini aku percaya, ada sponsor di balik sikapnya yang menjilat itu.

Pemilukada memang masih lama.

Tapi bagi partai politik dan para politisi, waktu tersisa satu tahun justru sangatlah singkat. Bakal-bakal calon potensial satu persatu dilumpuhkan lewat beragam upaya pembusukan dan konspirasi. Ada calon yang harus gugur sebelum memasuki medan tempur karena terlanjur malu skandal perselingkuhannya di masa lalu diungkap.

Ada yang diseret KPK ke balik bui setelah kasus korupsinya ramai diributi lewat rentetan demonstrasi.

Ada juga yang terpinggirkan lantaran kesahihan ijazahnya diragukan.

Pilihan yang makin ciut menempatkan Zainuddin di lingkaran calon kuat. Ia bersaing dengan empat kandidat lain: mantan preman, ustadz, akademisi, dan incumbent yang lumayan dibenci warga karena banyak menelurkan kebijakan tak populis selama menjabat.

Lantas siapa gerangan sponsor itu? Kecurigaanku mengarah pada incumbent dan mantan preman. Merekalah yang paling mungkin memainkan strategi-strategi politik kotor. Pikiran akademisi cenderung lurus tabung.

Strategi politiknya gampang ditebak lantaran semuanya bisa ditemukan di lembaran diktat. Ustadz? Oimakjang! Kiamatkan sajalah dunia kalau pemuka agama sudah menghalalkan segala cara hanya untuk memburu kursi pejabat negara.

Tapi nantilah, nanti pasti terungkap.

Sekarang bukan waktu yang tepat.

Walau tak masuk jajaran tim sukses, makin dekat ke hari pencoblosan kesibukanku bertambah. Bang Parlin mulai menyertakan aku dalam rapatrapat.

Kadang mereka meminta pendapatku. Sering pula hanya jadi pendengar setia. Pastinya, tugas utamaku tak berubah. Menuliskan berita kecap menyangkut sepak terjang Zainuddin.

Bang Parlin kembali mengundangku.

Tempat pertemuan disepakati.

Di Starbuck, selepas Maghrib. “Tentang strategi-strategi baru. Kita diskusilah.

Ada Bang Zainuddin juga nanti. Jangan telat, ya,” katanya.

Aku datang tepat waktu. Zainuddin sudah di sana, ternyata, duduk di sebelah Bang Parlin. Bersama mereka duduk sejumlah orang yang kukenal sebagai ring satu tim sukses Zainuddin.

Hanya satu orang yang tak kukenal.

Pada beberapa pertemuan yang pernah aku hadiri, tak pernah kulihat dia. Menurut Bang Parlin, dia ring satu juga. Namanya Joko Awang.

Bukan lelaki itu sebenarnya yang mengejutkanku. Dadaku berdenyut keras melihat keberadaan seorang lelaki lain yang duduk di sampingnya.

Khairul! Kenapa dia bisa ada di sini? Melihat roman mukanya, aku percaya dia tak kalah terkejut.

“Ayolah, santai saja. Sederhana alasannya.

Pencitraan, kawan-kawan.

Pencitraan. Aku perlu melakukannya karena lawan-lawanku memiliki citra dan pengalaman yang jauh lebih baik.

Ini biasa dalam politik,” kata Zainuddin.

Rupa-rupanya dia menangkap gelagat gugup dari bahasa tubuh kami. Senyum mengembang di bibirnya.

“Sekarang aku punya tawaran baru.

Strateginya sama, namun lebih variatif hingga kesannya jadi lebih alamiah, lebih jujur. Membantai dan mengangkat, dilakukan oleh kedua media, dengan porsi berimbang. Bagaimana? Perlu kalian tahu, dengan posisiku sekarang beberapa koran besar siap menjadi pendukung. Tapi lantaran aku sudah berhutang budi, program ini kutawarkan dulu pada kalian.” Zainuddin menatapku. Lalu menatap Khairul. Berganti-ganti. Aku tak tahu harus menjawab apa. Khairul juga membisu batu.

Sementara di luar plaza ini kehidupan terus mengalir. Dua mobil bersenggolan.

Perempuan muda berpenampilan mirip Mulan Jameela mencium lelaki yang mungkin kekasihnya.

Koordinator demonstran menerima amplop bayaran unjukrasa tadi siang.

Polantas menyetop pengendara sepeda motor. Seorang nenek berteriak-teriak usai dirampok. Pedagang sate padang merokok. Spesialis maling sandal di masjid kepergok lalu digebuki sampai nyaris mampus. Chicharito mencocor bola yang gagal diantisipasi Petr Cech. Gol!!! Para penunggu warung kopi berteriak sahut menyahut.

Chelsea 3 – MU 3. Taksi Blue Bird menurunkan penumpang. Cherry Bell menari-nari lupa menyanyi.

Pengemis buntung menadahkan tangan.

Ada intel menyaru tukang parkir.

Headline news membawa perkembangan kabar korupsi Wisma Atlet. Anas senyum-senyum. Ruhut senyum-senyum. Kemana Angie? Tiga butir telur masuk penggorengan.

Angin bertiup. Hujan rintik-rintik.

Jarum jam bergeser dari detik ke detik.

“Bagaimana?” Aku menatap Khairul. Khairul menatapku.

Sampai entah betapa lama, tak satu patah katapun keluar dari mulut kami.

Medan, Januari 2010-Januari 2011

Cerpen: T Agus Khaidir dan Khairul Ikhwan Damanik

Setelah entah berapa kali dinyatakan tak layak, berita yang kutulis akhirnya naik cetak juga. Dua kolom di bagian kiri atas, dilengkapi foto. Hmmm. Agaknya, mau tak mau aku memang harus berkompromi dengan Marwan Hidayat, editor desk politik kami.

Untuk berita-berita yang bersifat informatif dan tak memiliki pretensi kepentingan apapun selain potensi memuaskan sidang pembaca, kami wartawan memang memiliki hak bertanya apabila berita yang kami tulis itu tak dimuat. Tapi akan halnya berita kecap macam begini, tentu pulalah jadi hak editor untuk mengobrak- abrik, menahan, bahkan mengelimasi.

Seperti dilakukan Marwan terhadap berita-beritaku menyangkut Zainuddin, politisi muda yang beberapa bulan jadi ketua DPD partai berkuasa.

Kemarin tepat 10 tahun kulakoni profesi wartawan. Setelah melewati masa magang yang mendebarkan, selama kurang lebih tiga tahun aku berkutat di desk olahraga. Khususnya sepakbola. Mengasyikkan, karena cukup berbekal ilmu kira-kira, aku bebas menuliskan prediksi dan analisis tanpa harus mencemaskan delik.

Kemudian kucecap pula nikmat desk hiburan, sebelum entah karena pertimbangan apa, redaktur pelaksana memindahkan aku ke desk hukum.

Disinilah pertama kali aku bersinggungan dengan Zainuddin. Sebagai lawyer pendatang baru, ia terkenal karena garang dan sangat licin. Kalimat- kalimat jebakannya, sering membikin para terdakwa, saksi, jaksa, bahkan hakim, terbata hilang kata-kata.

Tapi sering pula ia nekat. Main tuding seenak perut, meyakini analisis sendiri walau nyata-nyata tak punya amunisi bukti kuat. Sikap terakhir ini beberapa kali hampir membuatnya celaka.

Ia pernah berpekan terkapar di rumah sakit setelah dadanya diterjang peluru penembak gelap.

Begitulah, meski tak selalu berhasil memenangkan perkara, publik senang mengikuti berita kasus-kasusnya, melulu karena merasa terhibur.

Betapa hukum ternyata bisa berjalan seperti serial bikinan Rowan Atkinson: penuh humor mengejutkan! Kejutan ini pulalah yang menyergapku, kira-kira tiga tahun lalu, ketika pagi-pagi buta ia meneleponku dan menyatakan niatnya mencalonkan diri menjadi anggota DPR. Saat itu aku memang sudah digeser lagi ke desk politik.

“Tak salah dengar aku, Bang?” tanyaku waktu itu, setelah tuntas derai tawaku. “Kuakui abang pengacara hebat.

Tapi jujur, bang, soal politik, abang tahu apa.” Ia ikut tertawa. Tapi pada kalimat berikutnya, suaranya berubah serius.

“Tak main-main aku, Rul. Kenapa rupanya? Kau pikir aku tak pantas jadi anggota dewan? “Pantas. Pantaslah. Siapa bilang tidak. Jadi berhentilah abang jadi pengacara, ya?” “Untuk sementara saja, Rul. Kalau nyatanya nanti politik tak cocok untukku, ya aku balik lagi. Gampanglah itu. Perkara taik burung. Tapi sekarang begini sajalah. Kau mau bantu aku atau tidak?” Tentu saja aku bersedia membantunya.

Dalam kapasitasku sebagai wartawan, sebisa mungkin kuberitakan seluruh kegiatan sosialisasi yang ia lakukan. Hasilnya seperti kami harap bersama. Dalam pemilu legislatif, Zainuddin meraup banyak suara.

Tadinya aku berpikir sepakterjang politiknya tak lagi riuh-rendah. Toh punggungnya sudah nyaman bersandar di kursi empuk gedung dewan yang berhawa sejuk itu. Aku keliru.

Mengadopsi kelihaiannya di ruang pengadilan, Zainuddin melakukan berbagai manuver canggih yang mengantarkannya ke kursi orang nomor satu di tubuh partai penguasa. Secara aklamasi, ia juga terpilih sebagai ketua dewan.

Lagi-lagi aku berasumsi ia akan mereda dan –apa boleh buat– lagi-lagi harus kecele tempe. Ambisinya justru kian menjadi-jadi. Kasus korupsi yang menjerat orang nomor satu di propinsi ini dipandangnya sebagai celah untuk merangsek lebih jauh. Terus terang, langkahnya kali ini membikin aku bergidik.

“Ah, begitu saja kau pening. Sudah, nanti dananya kutambahi.

Kau bagilah sama bos kau itu.” Iyalah.

Cara lama, kuno, yang akan ternyata masih saja tetap jitu. Hanya bohong besar jika dikatakan politik bisa mulus berjalan tanpa uang. Buktinya beritaku ini.

Dukungan untuk Zainuddin Menguat.

Medan (Wahana Fantasi) – Dukungan terhadap Zainuddin sebagai calon gubernur terus menguat. Sabtu kemarin, Paguyuban Latteung menyampaikan surat dukungan atas pencalonan tersebut dan berjanji mengerahkan 1.500 anggotanya untuk memilih Zainuddin dalam Pemilukada mendatang.

“Pak Zainuddin ini kami lihat sebagai sosok yang paling pantas untuk menjadi gubernur berikutnya. Pak Zainuddin selama ini dikenal sebagai sosok yang berani, tanpa kompromi.

Kami percaya di bawah kepemimpinannya, provinsi kita ini akan semakin maju,” kata Ketua Paguyuban Latteung, Julpikar Chalis, saat ditemui di kantor Paguyuban, Jl Sawo Matang, kemarin.

Zainuddin sendiri menyatakan sangat berterima kasih atas dukungan yang diberikan. Ia berjanji, akan memperhatikan segenap aspirasi segenap anggota Paguyuban Latteung apabila terpilih sebagai gubernur.(rul)

****

DEBAR di dadaku masih terpacu kencang. Busyet! Si Khairul selangkah mendahuluiku. Hampir saja kuraih ponsel, bermaksud mengirimkan sms, jika saja koordinator liputan tak menyemprotku. Rupanya sejak tadi ia memperhatikan aku serius membaca koran Wahana Fantasi. Padahal akulah yang sedang jadi sasaran tembaknya.

Sebuah berita penting telah terlewatkan: Komisi Pemilihan Umum akan dituntut seorang calon Panitia Pengawas Kecamatan yang merasa diperlakukan tidak adil lantaran gagal dalam ujian.

“Bobol kita. Semua koran dapat.

Apa saja kerja kau di luar sana?!” Aku pasrah. Memang salahku. Pada koordinator liputan aku berjanji tak mengulang keteledoran. Tapi dalam kepalaku yang ada sebenarnya cuma pikiran bagaimana melakukan counter terhadap berita Si Khairul.

Aku baru saja akan mengirimkan beberapa usulan melalui sms ketika ponselku bergetar. Di layar tertera sebaris nama. Aih! Dia lebih dulu menelepon.

Debar di dadaku kian kencang.

“Ya, Bang Parlin…,” sahutku berbisik.

“Sudah kau baca berita di Wahana Fantasi?” “Sudah, Bang. Sudah.” “Aku tak mau tahu, Gus! Kau cari anggota Paguyuban Latteung yang tidak mendukung si lontong itu. Aku mau beritanya muncul besok di koran kau besok.” “Siap, Bang. Siap.” Tidak sulitlah mencari yang antipati.

Selama ada pohon yang tinggi sendiri, setidaknya angin bisa bertiup dari empat penjuru angin. Kudapatkan pernyataan salah seorang di antaranya.

Kemudian kuolah menjadi berita singkat. Saat kusodorkan pada Bang Samsul Purnama, editor desk politik merangkap editor plus wartawan desk kebudayaan itu menyengitkan kening.

“Apa untungnya untuk koran kita kalau memuat berita seperti ini, Gus?” “Sedang kujajaki, Bang. Sedang kujajaki.” Samsul Purnama mengangguk, lantas mengibaskan tangan. Isyarat jelas agar aku keluar dari ruangannya. Esoknya, berita itu dimuat. Dua kolom di kanan atas, dalam kotak hairline tipis yang diraster 20 persen. Meski kecil tetap menyolok mata. Lumayan.

Dukungan Terhadap Zainuddin Pernyataan Sepihak Medan

(Alam Nyata) – Sejumlah anggota Paguyuban Latteung menyayangkan pernyataan segelintir oknum pengurus yang mendukung calon gubernur Zainuddin yang mengatasnamakan paguyuban.

“Sudah jelas dia (Zainuddin) selama ini tidak pernah peduli terhadap kita.

Kenapa pula kami harus dukung dia? Dukungan itu tak pernah dimusyawarahkan.

Itu adalah dukungan liar, dan kami menduga ada unsur money politic dalam masalah ini,” sebut Hengki Amin, Sekretaris Jenderal Paguyuban Latteung, di kantornya, Jl Kuning Langsat, kemarin.

Dikemukakannya lebih lanjut, Julpikar Chalis bukan ketua sah.

“Yang terpilih dalam Musda dua bulan lalu adalah Hendrik Candra. Zulpikar tak terima dan membuat Musda tandingan. Ia mengangkat diri sendiri sebagai ketua, juga membuka kantor sendiri. Karenanya Zulpikar Charis, tak dapat bicara mengatasnamakan Paguyuban Latteung, apalagi sampai menyatakan dukungan. Tindakannya kebablasan,” ujar Hengki.

Zainuddin sendiri, yang coba dikonfirmasi wartawan melalui sambungan telepon, tidak berhasil dihubungi.

Ponselnya terus bernada sibuk.(gus)

****

PRO dan kontra dalam berita itu biasa.

Jamak pula sedikit-sedikit saling melontar sindir, bahkan melempar hina. Tapi apa yang dilakukan Si Agus kupikir kelewatan. Membantainya tak kira-kira. Sering apa yang ditulisnya melenceng jauh dari fakta. Pernah kuusulkan pada Bang Awang, kenapa tak disomasi saja koran Alam Nyata itu.

Awang ini tangan kanan Zainuddin.

Dialah penghubungku sekarang.

Sudah sangat jarang aku ketemu Zainnudin secara langsung. Paling-paling berkomunikasi lewat ponsel. Aku maklum-maklum saja. Ia tentu perlu lebih rajin bergerilya, mendatangi tokoh-tokoh partai politik untuk mendapatkan perahu.

Hari itu, aku lupa, sudah untuk kali keberapa usulku ditolaknya. “Biarkanlah.

Ibaratnya, anjing menggonggong kafilah berlalu,” katanya.

“Kalau gonggongan itu makin keras, apa tak perlu kita lempar batu?” Dia senyum-senyum saja. Disodorkannya cd, berisi naskah berita untuk kuolah, serta amplop tentu saja –titipan bosku untuk bosmu, katanya.

Aku mengangkat bahu. Esoknya, beritaku muncul di kaki halaman kota.

Fotonya kali ini jauh lebih bagus dari yang kemarin-kemarin karena kuminta Sayed Siregar, fotografer kantor, mengambilnya. Tak apalah jatah untukku harus kubagi dua dengan dia, yang utama Zainuddin puas.

Penarik Becak Doakan Zainuddin Medan

(Wahana Fantasi) – Puluhan penarik becak menyatakan keheranannya pada sosok Zainnudin yang bersedia duduk di warung kopi bersama mereka.

“Sosok merakyat seperti ini merupakan calon ideal sebagai gubernur.

Kami tentu saja bangga. Belum pernah ada petinggi mau minum di sini, apalagi di sebelah ada bak sampah yang kadang-kadang baunya menyengat bikin mau muntah itu. Kami minum di sini, melulu karena murah.

Tapi Pak Zainuddin minum di sini, pastinya bukan karena alasan serupa,” kata Suriadi (42), di warung kopi Tengku Iskandar, Jl Hitam Pekat, kemarin.

Penarik becak lain, Romulo (26), malah tak sungkan menyatakan kekaguman dan berharap Zainuddin terpilih pada Pemilukada mendatang.

“Walaupun masih agak lama, ya. Tapi khususnya saya berdoa supaya Bapak Zainuddin terpilih jadi gubernur,” sebutnya.

Zainuddin dalam kesempatan itu berjanji memberi perhatian lebih besar jika kelak benar-benar terpilih, khususnya menyangkut kebijakan penertiban yang akhir-akhir ini meresahkan penarik becak dan sempat membuat mereka berunjukrasa ke kantor DPR.

“Kebijakan yang menyentuh wong cilik seharusnya lebih manusiawi,” ujarnya.

Di akhir kunjungan, calon gubernur Zainuddin memberikan sekadar buah tangan berupa kaus oblong dan handuk kecil untuk menyeka keringat.(rul)

****

AKU tak punya sikap politik fanatik.

Kupastikan Khairul juga demikian.

Buktinya, dua pemilu terakhir, kami tetap golput –pilihan yang kami pelihara sejak masih mahasiswa (kami satu universitas tapi beda fakultas).

Meski hari-hari kami sekarang tak pernah tidak diwarnai isu politik, sungguh mati itu cuma lelucon keterpaksaan atas nama kewajiban yang harus ditunaikan demi secarik kertas yang akan kami tandatangani di awal bulan.

Nah! Jika belakangan kami bisa bersiteru sebegini hebat, aku percaya sebabnya semata-mata adalah “kepentingan lain”. Lantaran perkawanan, aku merasa perlu membela Zainuddin. Khairul? Entahlah. Perang berita kami, sudah berlangsung lebih dua bulan dan sejauh ini aku percaya, ada sponsor di balik sikapnya yang menjilat itu.

Pemilukada memang masih lama.

Tapi bagi partai politik dan para politisi, waktu tersisa satu tahun justru sangatlah singkat. Bakal-bakal calon potensial satu persatu dilumpuhkan lewat beragam upaya pembusukan dan konspirasi. Ada calon yang harus gugur sebelum memasuki medan tempur karena terlanjur malu skandal perselingkuhannya di masa lalu diungkap.

Ada yang diseret KPK ke balik bui setelah kasus korupsinya ramai diributi lewat rentetan demonstrasi.

Ada juga yang terpinggirkan lantaran kesahihan ijazahnya diragukan.

Pilihan yang makin ciut menempatkan Zainuddin di lingkaran calon kuat. Ia bersaing dengan empat kandidat lain: mantan preman, ustadz, akademisi, dan incumbent yang lumayan dibenci warga karena banyak menelurkan kebijakan tak populis selama menjabat.

Lantas siapa gerangan sponsor itu? Kecurigaanku mengarah pada incumbent dan mantan preman. Merekalah yang paling mungkin memainkan strategi-strategi politik kotor. Pikiran akademisi cenderung lurus tabung.

Strategi politiknya gampang ditebak lantaran semuanya bisa ditemukan di lembaran diktat. Ustadz? Oimakjang! Kiamatkan sajalah dunia kalau pemuka agama sudah menghalalkan segala cara hanya untuk memburu kursi pejabat negara.

Tapi nantilah, nanti pasti terungkap.

Sekarang bukan waktu yang tepat.

Walau tak masuk jajaran tim sukses, makin dekat ke hari pencoblosan kesibukanku bertambah. Bang Parlin mulai menyertakan aku dalam rapatrapat.

Kadang mereka meminta pendapatku. Sering pula hanya jadi pendengar setia. Pastinya, tugas utamaku tak berubah. Menuliskan berita kecap menyangkut sepak terjang Zainuddin.

Bang Parlin kembali mengundangku.

Tempat pertemuan disepakati.

Di Starbuck, selepas Maghrib. “Tentang strategi-strategi baru. Kita diskusilah.

Ada Bang Zainuddin juga nanti. Jangan telat, ya,” katanya.

Aku datang tepat waktu. Zainuddin sudah di sana, ternyata, duduk di sebelah Bang Parlin. Bersama mereka duduk sejumlah orang yang kukenal sebagai ring satu tim sukses Zainuddin.

Hanya satu orang yang tak kukenal.

Pada beberapa pertemuan yang pernah aku hadiri, tak pernah kulihat dia. Menurut Bang Parlin, dia ring satu juga. Namanya Joko Awang.

Bukan lelaki itu sebenarnya yang mengejutkanku. Dadaku berdenyut keras melihat keberadaan seorang lelaki lain yang duduk di sampingnya.

Khairul! Kenapa dia bisa ada di sini? Melihat roman mukanya, aku percaya dia tak kalah terkejut.

“Ayolah, santai saja. Sederhana alasannya.

Pencitraan, kawan-kawan.

Pencitraan. Aku perlu melakukannya karena lawan-lawanku memiliki citra dan pengalaman yang jauh lebih baik.

Ini biasa dalam politik,” kata Zainuddin.

Rupa-rupanya dia menangkap gelagat gugup dari bahasa tubuh kami. Senyum mengembang di bibirnya.

“Sekarang aku punya tawaran baru.

Strateginya sama, namun lebih variatif hingga kesannya jadi lebih alamiah, lebih jujur. Membantai dan mengangkat, dilakukan oleh kedua media, dengan porsi berimbang. Bagaimana? Perlu kalian tahu, dengan posisiku sekarang beberapa koran besar siap menjadi pendukung. Tapi lantaran aku sudah berhutang budi, program ini kutawarkan dulu pada kalian.” Zainuddin menatapku. Lalu menatap Khairul. Berganti-ganti. Aku tak tahu harus menjawab apa. Khairul juga membisu batu.

Sementara di luar plaza ini kehidupan terus mengalir. Dua mobil bersenggolan.

Perempuan muda berpenampilan mirip Mulan Jameela mencium lelaki yang mungkin kekasihnya.

Koordinator demonstran menerima amplop bayaran unjukrasa tadi siang.

Polantas menyetop pengendara sepeda motor. Seorang nenek berteriak-teriak usai dirampok. Pedagang sate padang merokok. Spesialis maling sandal di masjid kepergok lalu digebuki sampai nyaris mampus. Chicharito mencocor bola yang gagal diantisipasi Petr Cech. Gol!!! Para penunggu warung kopi berteriak sahut menyahut.

Chelsea 3 – MU 3. Taksi Blue Bird menurunkan penumpang. Cherry Bell menari-nari lupa menyanyi.

Pengemis buntung menadahkan tangan.

Ada intel menyaru tukang parkir.

Headline news membawa perkembangan kabar korupsi Wisma Atlet. Anas senyum-senyum. Ruhut senyum-senyum. Kemana Angie? Tiga butir telur masuk penggorengan.

Angin bertiup. Hujan rintik-rintik.

Jarum jam bergeser dari detik ke detik.

“Bagaimana?” Aku menatap Khairul. Khairul menatapku.

Sampai entah betapa lama, tak satu patah katapun keluar dari mulut kami.

Medan, Januari 2010-Januari 2011

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/