Surat tilang bisa menghibur. Antrean imigrasi panjang juga tidak harus menyebalkan.
Saya termasuk beruntung, punya pengalaman ditilang di beberapa negara.
Saya termasuk beruntung, karena beberapa kali ditilang itu meninggalkan kesan dan cerita yang mungkin layak dibagi.
Pada tahun pertama saya nyetir mobil di Amerika, saya pernah dihentikan polisi karena melebihi batas kecepatan. Masih pakai SIM Internasional, dengan tulisan “Indonesia”, sang polisi tanpa banyak basa-basi menyatakan salah saya apa, kecepatan saya berapa, dan menulis surat tilang.
Karena baru kali itu kena tilang di Amerika, dan masih umur 17 tahun, saya dengan polos bertanya: “Habis ini saya harus bagaimana?”
Sambil menatap saya, sang polisi yang naik motor gede itu bicara: “Hukumanmu empat tahun ikut militer di Indonesia”
Saya terdiam. Saya sempat bingung. Sang polisi lantas tertawa. “Santai, nanti kamu tinggal bayar denda lewat pos.”
Tegas? Iya. Tapi tidak lupa bercanda.
Tentu saja, itu bukan satu-satunya surat tilang yang pernah saya dapatkan.
Sekitar akhir 2006, saya bersama beberapa rekan Jawa Pos Group sedang ke Amerika. Kami waktu itu mengunjungi beberapa negara bagian. Salah satunya ke Indiana. Selain melihat kantor dan percetakan koran di sana, kami juga mengunjungi konsultan sekaligus ayah angkat saya waktu SMA, John R Mohn (yang pindah dari Kansas ke Indiana).
Keluar dari bandara, kami naik shuttle bus ke kawasan sewa mobil. Dari tempat sewa mobil, saya langsung mengemudikannya naik ke highway. Belum sampai lima menit, bunyi sirene terdengar dari belakang. Ada polisi naik motor meminta kami berhenti.
Lagi-lagi, saya melewati batas kecepatan. Dan waktu itu baru sadar bahwa di Indiana aturannya jauh lebih ketat daripada negara bagian lain.
Seperti biasa, dengan cepat dia menjelaskan kesalahan, lalu menulis surat tilang. Lalu, menjelaskan tinggal membayar via pos menggunakan amplop yang dia serahkan bersama surat tilang (karena saya tidak tinggal di Indiana).
Kemudian, dia bertanya. Kami hendak ke mana? Waktu itu, GPS belum tersedia luas, dan saya memang membawa peta.
Ketika saya jelaskan hendak ke mana, dia lantas memberi tahu jalan tercepat ke sana. Dia bahkan memandu mobil kami di highway itu sampai exit (jalan keluar) yang seharusnya.
Rasa sebal kena tilang “dan kena denda USD 150” agak tertutupi oleh rasa senang.
Tegas? Iya. Tapi tidak lupa membantu dan melayani.
***
Antrean imigrasi termasuk yang paling “menantang” secara mental. Lelah perjalanan jauh, lalu harus antre panjang imigrasi. Lebih sebal lagi kalau petugas imigrasinya bermuka cemberut dan bertugas seperti orang yang membenci siapa pun yang akan masuk ke negaranya. Termasuk terhadap warga negara sendiri.
Capek ketemu cemberut, jelas bukan kombinasi yang baik.
Padahal, menurut saya, jalur imigrasi ini merupakan gapura penyambut terpenting suatu negara. Kalau ramah dan nyaman, akan menggambarkan tuan rumah yang ramah dan baik.
Ironis kalau sebuah negara yang mengklaim sebagai bangsa yang ramah ternyata menyambut tamu dari negara lain dengan wajah cemberut. Dan yang cemberut itu orang pertama yang menyambut!
Pernah teman saya mengomel: “Sudah mejanya tinggi, orangnya susah dilihat, cemberut dan tidak ramah pula”.
Soal urusan imigrasi ini, memang agak fifty-fifty mencari negara yang menyambut tamunya dengan keramahan hotel bintang lima.
Tapi rasanya, tidak terlalu ramah tidak apa-apa, asal prosesnya cepat, antreannya rapi, dan petugasnya tidak cemberut.
Amerika termasuk yang banyak berubah belakangan ini. Setelah Serangan 11 September 2011, sempat sangat-sangat ketat. Walau setiap tahun ke Amerika, saya termasuk yang harus menjalani pemeriksaan secondary (lapis kedua) setiap kali masuk Negeri Paman Sam.Prosedurnya lebih panjang, lebih lama, lebih melelahkan. Mau keluar Amerika pun harus lapor lagi di kantor terpisah.
Tentu saja, beberapa tahun lalu, prosedur itu tidak lagi seketat dulu. Namun, saat masa transisi, petugas yang memproses saya di bandara Seattle-Tacoma sempat salah prosedur. Ketika salah klik di layar monitor, saya batal bebas pemeriksaan secondary. Harus melaporkan diri lagi nanti sebelum pulang ke Indonesia via San Francisco.
Namun, petugas itu termasuk gentleman. Dia mengakui kesalahannya, dan setelah menyatakan maaf menyampaikan “kabar buruk” tersebut.
“Nanti kalau Anda mau balik lewat San Francisco, silakan bilang ke petugas di sana kalau petugas a****e (istilah bodoh, Red) di Seattle telah membuat kesalahan. Anda seharusnya tidak apa-apa. Sekali lagi mohon maaf,” ucapnya.
Sebal? Iya. Capek? Iya. Tapi agak terhibur juga dengan komentar itu. Tidak perlu marah-marah. Jarang-jarang kan mendengar seorang petugas mengakui kesalahannya dan menyebut diri sendiri “bodoh”” Tidak melempar kesalahan, apalagi menutup-nutupinya.
Walau pelayanan makin cepat makin baik, saya rasa sedikit chit chat penting juga di proses imigrasi ini.
Ketika liburan keluarga dan mendarat di Portugal tahun lalu, saya maju ke petugas bersama anak pertama saya yang bernama Ayrton. Walau namanya dari pembalap Brasil, bahasa yang dipakai di Brasil kan bahasa Portugis.
Melihat paspor anak saya, sang petugas lalu melihat saya dan tersenyum. “Saya ingat betul sedang berbuat apa ketika kejadian itu berlangsung (tabrakan yang menewaskan Ayrton Senna, Red),” celetuknya lantas tersenyum.
Tidak ada komentar lanjutan, saya juga tidak berkomentar banyak. Tapi sudah memberi kesan “hangat”.
Tegas + canda + melayani + gentleman + sedikit chit chat = Wibawa. (*)