Puluhan anak kecil berlari-lari di halaman Masjid Raya Al-Maksum. Bukan bermain, melainkan ikut mengantre sup bubur. Masing-masing membawa wadah. Ada mangkuk sayur, rantang, kotak nasi, hingga tempat minum.
Puput Julianti Damanik, Medan
SELAIN anak-anak yang barangkali disuruh antre oleh orangtuanya ini, beberapa jamaah Masjid Raya juga sudah ada yang ikut menanti. Bahkan di luar gerbang masjid juga sudah terlihat sekitar tiga orang ibu-ibu meletakkan sebuah rantang di pagar untuk diisi. Bubur sup khas Masjid Raya memang sudah lama ditunggu-tunggu.
“Saya jauh dari Tanjung Sari, tapi masa kecil saya tinggal di daerah dekat sini (Masjid Raya). Dari dulu, kalau puasa pertama saya selalu ambil bubur di sini untuk dibawa pulang dan dimakan di rumah. Saya sengaja datang kemari karena sudah rindu mencicipinya. Biasanya saya ambil di awal puasa, pertengahan, dan akhir-akhir nanti. Tak setiap hari juga,” ujar seorang jamaah Masjid Raya bernama Visa, yang ikut antrean.
Visa mengatakan, bubur sup ala Masjid Raya memiliki rasa yang khas dan membuat ia selalu ingin menikmatinya. “Rasanya enak, apalagi ada anyang dan sayur-sayur segarnya,” katanya.
Sementara itu, sekitar pukul 13.30 WIB saat Sumut Pos mendekat ke dapur pembuatan bubur yang berada di sisi kiri Masjid Al-Maksum, Darlis, Zulkifli, Hamdan dan kedua pengurus Masjid yang bertugas menjadi tukang masak bubur, tampak terlihat sibuk.
Dua tungku bundar berwarna hitam dengan ukuran sekitar 10 kilogram (kg) dan 20 kg tampak terpanggang oleh kayu bakar. Ada 10 kilogram daging potong sedang direbus di dua tungku dengan campuran berbagai rempah. Satu jam kemudian, barulah giliran beras yang dicampurkan ke dalam tungku.
“Untuk pembuatan bubur ini, kami menggunakan sebanyak 30 kg beras, 10 kg daging sapi, 10 kg wortel dan kentang. Baru ditambah bahan-bahan pendukung lainnya seperti garam, gula, buah pala, daun sop, bawang goreng, merica, dan lainnya,” ujar Zulkifli, pria yang sejak tahun 1993 telah menjadi tukang masak bubur sup di Masjid Raya Medan ini.