26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Lebaran di Penampungan Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung: Kali Ini Tanpa Suara Takbiran

DESy tarigan/sumutpos PENGUNGSI KORBAN SINABUNG: Pengungsi erupsi Gunung Sinabung yang berada di penampungan, beberapa waktu lalu
DESy tarigan/sumutpos
PENGUNGSI KORBAN SINABUNG: Pengungsi erupsi Gunung Sinabung yang berada di penampungan, beberapa waktu lalu

KARO, SUMUTPOS.CO-Berkumpul bersama kerabat dan sanak keluarga saat perayaan Hari Raya Idul Fitri merupakan satu kebahagiaan tersendiri bagi umat Muslim di Tanah Air. Namun, tidak bagi korban erupsi Gunung Api Sinabung di Kabupaten Karo. Seperti dirasakan oleh Rasmita br Bangun (40), salah satu pengungsi erupsi Gunung Api Sinabung.

Ibu tiga anak, asal Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, ini terpaksa merayakan Lebaran di posko pengungsian. Dia bersama suami Ahmadi Sitepu (42), dan bibinya Mita br Bangun (60), mengungsi di Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat.

“Biasanya saat Lebaran kami mudik ke Aceh, karena keluarga besar tinggal di sana. Dengan kondisi mengungsi begini bagaimana mau mudik, memikirkannya saja langsung membuat hati ini pilu,” ucapnya, kemarin.

Diungkapkannya, pada tahun 2015 ini, dia bersama warga desa lainnya sudah tiga kali berlebaran di lokasi penampungan, yaitu ketika letusan pertama pada pertengahan 2010, kemudian pada 2013, dan tahun 2015.

“Walau begitu tetap bersyukur karena masih dapat merayakan meski dengan kondisi seadanya, di dalam hati dirasa ada yang tak lengkap bila tak bertemu dan bersilaturahmi dengan keluarga,” ujar Rasmita.

Erupsi Gunung Api Sinabung yang hingga kini tak kunjung mereda, membuat Lebaran para pengungsi menjadi kurang sempurna. Apalagi, salah satu anaknya Wahyudi Sitepu (16) yang bersekolah di Aceh, juga tak bisa berkumpul bersamanya.

“Lebaran kali ini rasanya sangat tidak lengkap. Takbiran juga tidak terdengar sampai ke sini, karena memang masjid jaraknya jauh dek,” cetusnya.

Meski begitu, lanjut Mita, panggilan akrab Rasmita br Bangun, dirinya tetap yakin Tuhan punya rencana yang lebih indah kepada keluarganya di balik bencana yang telah sukses menyengsarakan masyarakat di lingkar Sinabung.

“Kalau suami saya saat ini berada di kampung (Desa Kutarayat) untuk menjaga lahan pertanian dan rumah kami. Karena kalau semua mengungsi, kan sayang lahan pertanian yang masih ada tanamannya tidak diurus,” terangnya.

Dirinya pun berharap agar bencana erupsi Sinabung dapat segera berakhir. Sebab warga sudah cukup letih berulang kali harus bolak–balik mengungsi. Kemunduran perekonomian pun sangat dirasakan. Hal yang sama juga dirasakan Pelin Depari (38), warga Dusun Lau Kawar, Kecamatan Naman Teran, yang mengungsi di posko pengungsian Losd Desa Korpri, Kecamatan Berastagi.

Pria yang sebelum mengungsi bekerja sebagai sopir angkutan umum pedesaan ini mengaku tidak terlalu merasakan nikmat Hari Raya Lebaran kali ini.

Bersama istrinya Sustina br Gurukinayan (36), dan ketiga anaknya, mereka mengungsi. “Lima tahun belakangan ini selalu merayakan Lebaran di pengungsian. Sedih sudah pasti,” tuturnya. (bbs/azw)

DESy tarigan/sumutpos PENGUNGSI KORBAN SINABUNG: Pengungsi erupsi Gunung Sinabung yang berada di penampungan, beberapa waktu lalu
DESy tarigan/sumutpos
PENGUNGSI KORBAN SINABUNG: Pengungsi erupsi Gunung Sinabung yang berada di penampungan, beberapa waktu lalu

KARO, SUMUTPOS.CO-Berkumpul bersama kerabat dan sanak keluarga saat perayaan Hari Raya Idul Fitri merupakan satu kebahagiaan tersendiri bagi umat Muslim di Tanah Air. Namun, tidak bagi korban erupsi Gunung Api Sinabung di Kabupaten Karo. Seperti dirasakan oleh Rasmita br Bangun (40), salah satu pengungsi erupsi Gunung Api Sinabung.

Ibu tiga anak, asal Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, ini terpaksa merayakan Lebaran di posko pengungsian. Dia bersama suami Ahmadi Sitepu (42), dan bibinya Mita br Bangun (60), mengungsi di Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat.

“Biasanya saat Lebaran kami mudik ke Aceh, karena keluarga besar tinggal di sana. Dengan kondisi mengungsi begini bagaimana mau mudik, memikirkannya saja langsung membuat hati ini pilu,” ucapnya, kemarin.

Diungkapkannya, pada tahun 2015 ini, dia bersama warga desa lainnya sudah tiga kali berlebaran di lokasi penampungan, yaitu ketika letusan pertama pada pertengahan 2010, kemudian pada 2013, dan tahun 2015.

“Walau begitu tetap bersyukur karena masih dapat merayakan meski dengan kondisi seadanya, di dalam hati dirasa ada yang tak lengkap bila tak bertemu dan bersilaturahmi dengan keluarga,” ujar Rasmita.

Erupsi Gunung Api Sinabung yang hingga kini tak kunjung mereda, membuat Lebaran para pengungsi menjadi kurang sempurna. Apalagi, salah satu anaknya Wahyudi Sitepu (16) yang bersekolah di Aceh, juga tak bisa berkumpul bersamanya.

“Lebaran kali ini rasanya sangat tidak lengkap. Takbiran juga tidak terdengar sampai ke sini, karena memang masjid jaraknya jauh dek,” cetusnya.

Meski begitu, lanjut Mita, panggilan akrab Rasmita br Bangun, dirinya tetap yakin Tuhan punya rencana yang lebih indah kepada keluarganya di balik bencana yang telah sukses menyengsarakan masyarakat di lingkar Sinabung.

“Kalau suami saya saat ini berada di kampung (Desa Kutarayat) untuk menjaga lahan pertanian dan rumah kami. Karena kalau semua mengungsi, kan sayang lahan pertanian yang masih ada tanamannya tidak diurus,” terangnya.

Dirinya pun berharap agar bencana erupsi Sinabung dapat segera berakhir. Sebab warga sudah cukup letih berulang kali harus bolak–balik mengungsi. Kemunduran perekonomian pun sangat dirasakan. Hal yang sama juga dirasakan Pelin Depari (38), warga Dusun Lau Kawar, Kecamatan Naman Teran, yang mengungsi di posko pengungsian Losd Desa Korpri, Kecamatan Berastagi.

Pria yang sebelum mengungsi bekerja sebagai sopir angkutan umum pedesaan ini mengaku tidak terlalu merasakan nikmat Hari Raya Lebaran kali ini.

Bersama istrinya Sustina br Gurukinayan (36), dan ketiga anaknya, mereka mengungsi. “Lima tahun belakangan ini selalu merayakan Lebaran di pengungsian. Sedih sudah pasti,” tuturnya. (bbs/azw)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/