29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Modern Agar Tidak Anti Apa Pun

New Hope-Dahlan Iskan
New Hope-Dahlan Iskan

Ketika berada di Singapura bulan lalu, terbaca oleh saya jawaban Perdana Menteri Lee Hsien Loong atas pertanyaan media setempat mengenai Indonesia yang lagi melemah ekonominya. Jawaban itu kurang lebih begini: “Di sana lagi meningkat aspirasi nasionalisme. Kalau hal itu bisa diarahkan ke hal-hal yang positif akan menjadi kekuatan yang besar.”

Ucapan itu kelihatannya merupakan sebuah kritik yang amat halus. Atau sebuah saran tersamar yang kita sendirilah yang harus bisa menafsirkan apa maksudnya. Dalam hal politik, masyarakat Singapura tidak lagi terlalu mengkhawatirkan Indonesia. Pergolakan politik tahun 1998 dianggap tidak akan pernah terjadi lagi. Yang lagi jadi buah bibir di sana justru Malaysia. Mereka sangat mengkhawatirkan perpolitikan Malaysia. Mereka khawatir Malaysia masih akan menghadapi tahap seperti apa yang dialami Indonesia di tahun 1998.

Orang Singapura bersyukur ada Sultan Johor di Malaysia. Negara bagian yang paling dekat dengan Singapura itu memberikan jaminan keamanan bagi penduduk Malaysia dari ras apa pun. Sultan Johor kelihatannya memang lagi tidak mesra dengan Perdana Menteri Malaysia yang lagi disorot sekarang: Muhammad Najib. Wakil Perdana Menteri yang dia pecat bulan lalu itu adalah putra Johor.

Singapura, demikian juga juga Hongkong dan negara-negara barat, memang mencatat gejala naiknya nasionalisme di Indonesia. Bahkan ada yang menyebutnya bukan sekedar nasionalisme, melainkan sudah mengarah ke nasionalisme sempit. Kecenderungan nasionalisme sempit itu adalah merasa tidak memerlukan negara lain, anti negara lain, anti impor, anti bantuan, anti hutang dan anti apa saja yang datang dari luar negeri.

Mereka mencatat gejala itu bisa dilihat dengan jelas berkembang di Indonesia. Misalnya, setiap kali pemerintah mengumumkan rencana impor daging atau impor beras atau impor apa saja, sentiment di public selalu negatip. Demikian juga dengan hutang luar negeri. Bahkan di saat bencana asap sudah demikian hebatnya pun masih ada saja pejabat tinggi yang mengatakan begini: kita tidak memerlukan bantuan negara lain. Mungkin dia tidak bermaksud begitu, tapi dia tahu kalau dia bisa mengatakan hal seperti itu dia akan mendapat sambutan hangat dari masyarakat.

Saya juga masih sering mendengar banyak orang di Indonesia mengatakan bahwa kita harus bangga pada India. Maksudnya, agar kita mengikutinya. Di sana, katanya, menganut paham swadesi. Yang kalau di kita diistilahkan dengan berdikari.

Rupanya orang-orang itu sangat ketinggalan informasi. Harap diketahui: India sudah lamaaaaaa meninggalkan prinsip swadesi. Sudah lebih dari 20 tahun. Yakni sejak India hampir saja bangkrut di tahun 1980-an.

New Hope-Dahlan Iskan
New Hope-Dahlan Iskan

Ketika berada di Singapura bulan lalu, terbaca oleh saya jawaban Perdana Menteri Lee Hsien Loong atas pertanyaan media setempat mengenai Indonesia yang lagi melemah ekonominya. Jawaban itu kurang lebih begini: “Di sana lagi meningkat aspirasi nasionalisme. Kalau hal itu bisa diarahkan ke hal-hal yang positif akan menjadi kekuatan yang besar.”

Ucapan itu kelihatannya merupakan sebuah kritik yang amat halus. Atau sebuah saran tersamar yang kita sendirilah yang harus bisa menafsirkan apa maksudnya. Dalam hal politik, masyarakat Singapura tidak lagi terlalu mengkhawatirkan Indonesia. Pergolakan politik tahun 1998 dianggap tidak akan pernah terjadi lagi. Yang lagi jadi buah bibir di sana justru Malaysia. Mereka sangat mengkhawatirkan perpolitikan Malaysia. Mereka khawatir Malaysia masih akan menghadapi tahap seperti apa yang dialami Indonesia di tahun 1998.

Orang Singapura bersyukur ada Sultan Johor di Malaysia. Negara bagian yang paling dekat dengan Singapura itu memberikan jaminan keamanan bagi penduduk Malaysia dari ras apa pun. Sultan Johor kelihatannya memang lagi tidak mesra dengan Perdana Menteri Malaysia yang lagi disorot sekarang: Muhammad Najib. Wakil Perdana Menteri yang dia pecat bulan lalu itu adalah putra Johor.

Singapura, demikian juga juga Hongkong dan negara-negara barat, memang mencatat gejala naiknya nasionalisme di Indonesia. Bahkan ada yang menyebutnya bukan sekedar nasionalisme, melainkan sudah mengarah ke nasionalisme sempit. Kecenderungan nasionalisme sempit itu adalah merasa tidak memerlukan negara lain, anti negara lain, anti impor, anti bantuan, anti hutang dan anti apa saja yang datang dari luar negeri.

Mereka mencatat gejala itu bisa dilihat dengan jelas berkembang di Indonesia. Misalnya, setiap kali pemerintah mengumumkan rencana impor daging atau impor beras atau impor apa saja, sentiment di public selalu negatip. Demikian juga dengan hutang luar negeri. Bahkan di saat bencana asap sudah demikian hebatnya pun masih ada saja pejabat tinggi yang mengatakan begini: kita tidak memerlukan bantuan negara lain. Mungkin dia tidak bermaksud begitu, tapi dia tahu kalau dia bisa mengatakan hal seperti itu dia akan mendapat sambutan hangat dari masyarakat.

Saya juga masih sering mendengar banyak orang di Indonesia mengatakan bahwa kita harus bangga pada India. Maksudnya, agar kita mengikutinya. Di sana, katanya, menganut paham swadesi. Yang kalau di kita diistilahkan dengan berdikari.

Rupanya orang-orang itu sangat ketinggalan informasi. Harap diketahui: India sudah lamaaaaaa meninggalkan prinsip swadesi. Sudah lebih dari 20 tahun. Yakni sejak India hampir saja bangkrut di tahun 1980-an.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/