Dulu saya selalu berpikir, liburan itu buang waktu. Flu juga bukan sakit. Kini mulai agak berubah.
***
Serius. Dulu itu benar-benar tidak ada kata libur. Baru lulus dan pulang, yang namanya kerja itu seperti tidak kenal waktu. Pernah, ketika diberi tantangan ikut menggarap koran olahraga dadakan pada 2000, berat badan saya turun 5 kilogram hanya dalam tiga pekan.
Setelah itu, benar-benar tidak ada libur. Bahkan, ketika ada acara khusus, ada anggota tim saya yang menghitung kalau saya tidak tidur selama 64 jam berturut-turut.
Flu pun tidak dihitung sebagai sakit. Walau hidung buntu, selama bisa jalan dan bisa ngetik, ya tidak libur.
Alhamdulillah, secara genetik saya mungkin memang jarang sakit. Paling-paling radang tenggorokan tiga bulan sekali, wkwkwk…
Dulu, liburan saya adalah meliput Formula 1 di luar negeri.
Bagi banyak orang media, itu masih dihitung kerja. Karena masih harus menulis setiap hari dan berada di sirkuit mulai pagi sampai malam. Malah, waktu itu ada rekan wartawan dari media mingguan yang menyindir, ”Makanya, jangan kerja di harian, nggak bisa jalan-jalan…”
Wkwkwkwkwk…
Saya sering tersenyum sendiri mengingat ucapan itu. Sekarang orang yang bilang itu sudah tidak lagi kerja di media dan medianya sudah mulai kesulitan secara bisnis. Mungkin karena terlalu banyak jalan-jalan daripada kerja…
Semoga saya tidak dianggap sok rajin. Karena memang saya tidak merasa rajin. Saya juga tidak merasa sebagai pekerja keras. Mungkin benar kata Steve Jobs, salah satu idola saya, ”The only way to do great work is to love what you do.”
Mungkin saya memang suka dunia media dan memang lahir dari keluarga media. Juga suka dunia kreatif serta berada di dunia yang kreatif. Jadi, saya memang tidak pernah merasa seperti bekerja.
Seperti kebanyakan orang, saya justru merasa paling sulit ketika harus mendelegasikan pekerjaan. Apalagi mendelegasikan ke seseorang yang belum tentu mampu bekerja habis-habisan.
Dan saya dipaksa belajar mendelegasikan saat masih relatif muda, di usia awal 30-an tahun, saat sebenarnya masih sangat bisa mengerjakan semuanya.
Malah sempat dipaksa keluar dulu oleh orang tua, dilarang mengerjakan koran atau menulis selama sekitar enam bulan!
Rasanya mungkin seperti orang yang baru lepas dari ketergantungan terhadap sesuatu. Pengin nulis, tapi tidak bisa. Tidak ada outlet-nya. Tangan gemetaran pengin mengetik. Lalu, selalu geregetan saat lihat garapan yang tidak sesuai harapan.
Tapi, mungkin baik juga dipaksa begitu. Belajar supaya bisa mengatasi post-power syndrome, sesuatu yang mungkin bakal saya hadapi kelak, ketika memang sudah tidak lagi kompetitif.
Ayah saya selalu mengingatkan: Banyak orang hidupnya tidak happy ending karena tidak mampu untuk ”let go” alias merelakan…
Secara keseluruhan, fase karir ya hanya tiga itu, bukan? Bekerja serius di bidang yang benar-benar disukai atau sesuai kemampuan, naik ke jenjang di mana kita harus belajar mendelegasikan pekerjaan, lalu sadar kapan kita harus menyediakan jalan dan kesempatan kepada yang lain.
Syukur-syukur kalau bisa merasakan (dan menikmati) ketiganya. Sebab, orang belum tentu bisa merasakan salah satunya saja.