26 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

UU Pilkada Disahkan, APBD Tak Lagi Danai Kampanye

FOTO: HENDRA EKA/JAWA POS Pimpinan Sidang Paripurna, Taufik Kurniawan (dua dari kiri) menerima revisi RUU Pilkada dari Ketua Komisi II DPR RI, Rambe Kamarulzaman (kanan) di Gedung Nusantara II, komplek parlemen, Senayan, Jakarta. DPR akhirnya menyetujui revisi RUU Pilkada menjadi UU.  UU Pilkada yang baru ini akan menjadi acuan penyelenggaraan pesta demokrasi  di 2017, Kamis  2 Juni 2016.
FOTO: HENDRA EKA/JAWA POS
Pimpinan Sidang Paripurna, Taufik Kurniawan (dua dari kiri) menerima revisi RUU Pilkada dari Ketua Komisi II DPR RI, Rambe Kamarulzaman (kanan) di Gedung Nusantara II, komplek parlemen, Senayan, Jakarta. DPR akhirnya menyetujui revisi RUU Pilkada menjadi UU. UU Pilkada yang baru ini akan menjadi acuan penyelenggaraan pesta demokrasi di 2017, Kamis 2 Juni 2016.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Perubahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) resmi disahkan Kamis (2/6). Lewat pembahasan maraton selama setidaknya 47 hari, sejumlah poin revisi termuat dalam perubahan kedua UU No. 1 Tahun 2015 tersebut. Salah satunya soal sejumlah metode kampanye yang tidak lagi didanai APBD.

Berdasar hasil revisi, pendanaan metode kampanye berupa penyebaran bahan kampanye kepada umum dan pemasangan alat peraga kini dialihkan pendanaan dan pelaksanaanya pada pasangan calon atau partai politik. Termasuk, yang juga dapat didanai adalah pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka.

”Komisi II dan pemerintah sepakat bahwa kampanye adalah wujud pendidikan politik bagi masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggungjawab, karena itu dibuka ruang peran serta pasangan calon dan parpol,” tutur Ketua Komisi II Rambe Kamarulzaman, usai sidang paripurna pengesahan revisi UU Pilkada, di Kompleks, Parlemen, Jakarta, kemarin.

Pada Pilkada serentak 2015 lalu yang mengacu pada UU Pilkada lama, pengadaan alat peraga dan bahan kampanye menjadi bagian yang ditanggung APBD. Dasar penerapan aturan tersebut adalah tentang equal treatment terhadap setiap calon. Bahwa, tidak ada pasangan calon kaya sehingga bisa jor-joran atau yang tidak kaya.

Namun, ketentuan yang tujuannya semula positif itu punya implikasi kurang baik. Pesta demokrasi di tingkat daerah pada 2015 lalu relatif sepi. Bahkan hampir tiada greget. Kampanye yang tidak bisa total juga bisa lebih menguntungkan incumbent yang punya kekuatan politik lebih mapan. ”Ini yang coba dijawab dengan revisi terakhir,” imbuh Rambe.

Beriringan dengan ketentuan tersebut, UU Pilkada yang baru juga memuat perubahan besaran sumbangan dana kampanye. Ada peningkatan batas sumbangan perseorangan. Yaitu dari maksimal Rp 50 juta menjadi 75 juta. Begitupun dengan badan hukum yang juga meningkat dari Rp 500 juta ke Rp 750 juta.

Proses pengesahan hasil revisi UU Pilkada tersebut relatif berlangsung mulus. Meski, sempat muncul interupsi yang disampaikan sejumlah perwakilan fraksi. Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan yang memimpin sidang tidak butuh proses berbelit untuk mengetukkan palu tanda disahkannya hasil revisi.

Salah satu interupsi diajukan anggota Fraksi PKS Almuzammil Yusuf. Meski demikian, interupsi tersebut sebatas penegasan atas catatan yang disampaikan fraksinya saat pengambilan keputusan tingkat pertama di rapat pleno Komisi II, Selasa (31/5), lalu.

Ketika itu, PKS tetap di posisi menolak aturan kewajiban mundur anggota DPR yang menjadi calon. Bersama Fraksi Partai Gerindra, mereka berpandangan bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup mengajukan cuti.

”Pandangan kami ini sesuai dengan dua mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Jimly Asshiddiqie dan Prof Mahfud MD. Kita tidak ragukan lah kepakaran dan integritas dua tokoh ini,” kata Muzammil, dalam interupsinya.

Selain soal kewajiban mundur bagi anggota dewan, pembahasan revisi UU Pilkada juga sempat menyentuh poin-poin lainnya seputar mekanisme pengajuan pasangan calon, baik dari partai politik maupun perseorangan. Meski, tidak semuanya mengalami perubahan.

Syarat bagi calon independen, misalnya. Walaupun sempat didorong kencang oleh sejumlah fraksi untuk dinaikkan, pada akhirnya syarat tetap tidak berubah. Mayoritas fraksi akhirnya mengikuti pandangan pemerintah terkait hal tersebut.

Begitupun dengan persentase syarat pengajuan calon oleh partai politik. Meski awalnya, hampir semuanya mendorong untuk diturunkan menjadi hanya minimal 15 persen suara di pemilu sebelumnya atau 20 persen dari jumlah kursi di DPRD. Namun terakhir hanya tersisa 4 fraksi yang mempertahankan pandangan tersebut.

FOTO: HENDRA EKA/JAWA POS Pimpinan Sidang Paripurna, Taufik Kurniawan (dua dari kiri) menerima revisi RUU Pilkada dari Ketua Komisi II DPR RI, Rambe Kamarulzaman (kanan) di Gedung Nusantara II, komplek parlemen, Senayan, Jakarta. DPR akhirnya menyetujui revisi RUU Pilkada menjadi UU.  UU Pilkada yang baru ini akan menjadi acuan penyelenggaraan pesta demokrasi  di 2017, Kamis  2 Juni 2016.
FOTO: HENDRA EKA/JAWA POS
Pimpinan Sidang Paripurna, Taufik Kurniawan (dua dari kiri) menerima revisi RUU Pilkada dari Ketua Komisi II DPR RI, Rambe Kamarulzaman (kanan) di Gedung Nusantara II, komplek parlemen, Senayan, Jakarta. DPR akhirnya menyetujui revisi RUU Pilkada menjadi UU. UU Pilkada yang baru ini akan menjadi acuan penyelenggaraan pesta demokrasi di 2017, Kamis 2 Juni 2016.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Perubahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) resmi disahkan Kamis (2/6). Lewat pembahasan maraton selama setidaknya 47 hari, sejumlah poin revisi termuat dalam perubahan kedua UU No. 1 Tahun 2015 tersebut. Salah satunya soal sejumlah metode kampanye yang tidak lagi didanai APBD.

Berdasar hasil revisi, pendanaan metode kampanye berupa penyebaran bahan kampanye kepada umum dan pemasangan alat peraga kini dialihkan pendanaan dan pelaksanaanya pada pasangan calon atau partai politik. Termasuk, yang juga dapat didanai adalah pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka.

”Komisi II dan pemerintah sepakat bahwa kampanye adalah wujud pendidikan politik bagi masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggungjawab, karena itu dibuka ruang peran serta pasangan calon dan parpol,” tutur Ketua Komisi II Rambe Kamarulzaman, usai sidang paripurna pengesahan revisi UU Pilkada, di Kompleks, Parlemen, Jakarta, kemarin.

Pada Pilkada serentak 2015 lalu yang mengacu pada UU Pilkada lama, pengadaan alat peraga dan bahan kampanye menjadi bagian yang ditanggung APBD. Dasar penerapan aturan tersebut adalah tentang equal treatment terhadap setiap calon. Bahwa, tidak ada pasangan calon kaya sehingga bisa jor-joran atau yang tidak kaya.

Namun, ketentuan yang tujuannya semula positif itu punya implikasi kurang baik. Pesta demokrasi di tingkat daerah pada 2015 lalu relatif sepi. Bahkan hampir tiada greget. Kampanye yang tidak bisa total juga bisa lebih menguntungkan incumbent yang punya kekuatan politik lebih mapan. ”Ini yang coba dijawab dengan revisi terakhir,” imbuh Rambe.

Beriringan dengan ketentuan tersebut, UU Pilkada yang baru juga memuat perubahan besaran sumbangan dana kampanye. Ada peningkatan batas sumbangan perseorangan. Yaitu dari maksimal Rp 50 juta menjadi 75 juta. Begitupun dengan badan hukum yang juga meningkat dari Rp 500 juta ke Rp 750 juta.

Proses pengesahan hasil revisi UU Pilkada tersebut relatif berlangsung mulus. Meski, sempat muncul interupsi yang disampaikan sejumlah perwakilan fraksi. Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan yang memimpin sidang tidak butuh proses berbelit untuk mengetukkan palu tanda disahkannya hasil revisi.

Salah satu interupsi diajukan anggota Fraksi PKS Almuzammil Yusuf. Meski demikian, interupsi tersebut sebatas penegasan atas catatan yang disampaikan fraksinya saat pengambilan keputusan tingkat pertama di rapat pleno Komisi II, Selasa (31/5), lalu.

Ketika itu, PKS tetap di posisi menolak aturan kewajiban mundur anggota DPR yang menjadi calon. Bersama Fraksi Partai Gerindra, mereka berpandangan bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup mengajukan cuti.

”Pandangan kami ini sesuai dengan dua mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Jimly Asshiddiqie dan Prof Mahfud MD. Kita tidak ragukan lah kepakaran dan integritas dua tokoh ini,” kata Muzammil, dalam interupsinya.

Selain soal kewajiban mundur bagi anggota dewan, pembahasan revisi UU Pilkada juga sempat menyentuh poin-poin lainnya seputar mekanisme pengajuan pasangan calon, baik dari partai politik maupun perseorangan. Meski, tidak semuanya mengalami perubahan.

Syarat bagi calon independen, misalnya. Walaupun sempat didorong kencang oleh sejumlah fraksi untuk dinaikkan, pada akhirnya syarat tetap tidak berubah. Mayoritas fraksi akhirnya mengikuti pandangan pemerintah terkait hal tersebut.

Begitupun dengan persentase syarat pengajuan calon oleh partai politik. Meski awalnya, hampir semuanya mendorong untuk diturunkan menjadi hanya minimal 15 persen suara di pemilu sebelumnya atau 20 persen dari jumlah kursi di DPRD. Namun terakhir hanya tersisa 4 fraksi yang mempertahankan pandangan tersebut.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/