JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Agama (Kemenag) berusaha mencari alasan, supaya semua masalah haji nonkuota tidak bertumpuk di pundaknya. Terbaru mereka menyebutkan banyaknya jamaah haji nonkuota, juga terkait dengan sistem penerbitan visa oleh pemerintah Arab Saudi.
Inspektur Jenderal Kemenag Mochammad Jasin menjelaskan ada tiga faktor pendukung terus banyaknya kasus jamaah haji nonkuota. Yaitu antrian haji yang panjang, kebutuhan tenaga musiman oleh perusahaan di Saudi selama musim haji, dan motif mencari keuntungan dari banyak pihak.
Terkait dengan kebutuhan tenaga musiman, semakin menjadi ketika pemerintah Indonesia menerapkan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi. Padahal setiap mendekati musim haji, perusahaaan katering, hotel, sampai travel membutuhkan tenaga kerja yang banyak. “Akhirnya perusahaan itu mengusulkan visa ummal (kerja sementara, red) ke otoritas pemerintah Saudi,” jelasnya, Selasa (13/9).
Dia menyebutkan, penerbitan visa ummal itu yang kemudian rentan menjadi pintu masuk terjadinya jamaah haji nonkuota. Ada orang yang berniat kerja sementara di Arab Saudi, sambil mencoba-coba untuk mengerjakan ibadah haji. Resiko yang dihadapi adalah ditangkap polisi Saudi karena tidak mengantongi dokumen sebagai jamaah haji.
Faktor berikutnya adalah murni meraup keuntungan. Upaya ini melibatkan banyak pihak mulai dari travel haji resmi maupun illegal di tanah air sampai oknum individu atau perusahaan travel di Arab Saudi. Dalam prakteknya, mereka membagi tugas. Tim di Indonesia mengupayakan mencari calon jamaah. Sementara tim yang di Saudi mengupayakan terbitnya visa ziarah.
“Perlu diketahui visa ziarah ini masa berlakunya tiga bulan,” terangnya. Visa ziarah banyak keluar sekitar bulan Ramadan. Jadi visa ini masih aktif sampai musim haji atau bulan Dzulhijjah. Jasin mengatakan ketika ada WNI yang sudah memiliki visa ziarah untuk masuk Saudi, pemerintah tidak bisa mencegahnya untuk keluar.
Meskipun begitu Jasin mengatakan Kemenag tidak bersifat pasif atau angkat tangan terkait praktik haji nonkuota illegal itu. Dia menjelaskan dalam kasus haji Filipina, Kemenag menurunkan tim ke lapangan untuk pemeriksaan. Hasilnya nanti akan dilaporkan ke polisi.
Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menjelaskan dalam kegiatan pencegahan Kemenag tidak bisa melakukan upaya paksa. Baik itu kepada individu maupun perusahaan travel. Upaya paksa itu seperti tindakan hukum, memenjarakan, menangkap, menggeledah, atau menyita dokumen-dokumen. “Kemenag itu bukan penegak hukum,” tegasnya. Sementara polisi sebagai penegak hukum, baru bisa memproses travel ketika ada bukti tindak pidananya.