MEDAN, SUMUTPOS.CO -Inflasi di 2017 diawali dengan inflasi yang relatif terkendali. Hal ini seiring dengan harga pangan yang terjaga.
Deputi Direktur Kepala Divisi Advisory Ekonomi dan Keuangan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Budi Trisnanto mengemukakan, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Sumatera Utara di Januari 2017 tercatat 0,45 persen (month to month). Angka ini lebih rendah dibandingkan rata-rata historis inflasi bulan Januari dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang mencapai 0,93 persen (mtm), dan di bawah inflasi nasional yang mencapai 0,97 persen.
“Setelah beberapa bulan terakhir mengalami inflasi yang cukup tinggi, pasokan bahan pangan membaik. Kondisi tersebut menyebabkan harga beberapa komoditas di kelompok volatile food tercatat mengalami deflasi. Di antaranya, cabai merah, bawang merah, cabai hijau dan kacang-kacangan,” ujar Budi, kemarin.
Diutarakannya, kelompok volatile food pada Januari 2017 tercatat mengalami deflasi sebesar -0,57 persen (mtm), jauh lebih rendah dari rata-rata historisnya selama 10 tahun terakhir yang mengalami inflasi sebesar 2,54 persen (mtm).
Deflasi kelompok ini, sambungnya, terutama didorong oleh komoditas utama seperti cabai merah (-0,74 persen), bawang merah (0,06 persen), cabai hijau (-0,04 persen) dan cabai rawit (-0,01 persen). Hal itu seiring dengan kembali normalnya pasokan di beberapa sentra produksi setelah beberapa bulan lalu terkendala.
“Selain normalnya pasokan, rendahnya inflasi volatile food juga didukung oleh harga beras yang stabil. Di mana, berdasarkan pemantauan Pusat Harga Infomasi Pangan Strategis Nasional (PIHPS Nasional), harga komoditas beras di Sumatera Utara pada bulan Januari tidak mengalami kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya. Secara tahunan, inflasi volatile food mencapai 10.05 persen, masih relatif tinggi, meski telah menurun dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 15.15 persen,” jabarnya.
Menurut Budi, sumber inflasi di bulan Januari berasal dari kelompok administered prices. Secara spasial, inflasi masih relatif tinggi di kota Padangsidimpuan (1,08 persen). Sementara inflasi di Kota Pematangsiantar (0,72%), Sibolga (0,58%), dan Medan (0,38%) berada di bawah inflasi nasional (0,97%).
Disebutkannya, kelompok administered prices mencatat inflasi sebesar 1,41% (mtm). Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata historisnya selama 10 tahun terakhir yang mengalami deflasi sebesar -0,17%.
“Inflasi tersebut terutama didorong oleh kenaikan tarif perpanjangan STNK sebesar 107% sejak 6 Januari 2017, yang menyumbang sebesar 0,21%,” cetusnya.
Selain itu, lanjut budi, beberapa komoditas penyumbang inflasi kelompok administered prices lainnya adalah kenaikan tarif listrik daya 900VA untuk pelanggan non subsidi (tahap 1) sebesar 0,17 persen.
Kemudian, kenaikan tarif angkutan udara sebesar 0,11 persen dan kenaikan bahan bakar minyak non subsidi sebesar 0,07 persen. Meski meningkat, secara tahunan, inflasi administered prices masih relatif rendah yang tercatat sebesar 2.41 persen.
Kendati demikian, tambah Budi, inflasi diperkirakan dapat tetap terkendali dan berada pada sasaran tahun ini yaitu 4%±1 persen (year to year). Di triwulan I 2017, inflasi diperkirakan relatif rendah dan sejalan dengan periode panen padi serta cabai merah.
Akan tetapi, beberapa risiko administered prices ke depan yang perlu diperhatikan antara lain kenaikan tarif listrik 900VA tahap II beserta dampak lanjutannya.
Untuk itu, koordinasi kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia di pusat maupun di daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Sumatera Utara akan terus dilakukan sesuai roadmap jangka pendek dan menengah TPID. Fokusnya, pada upaya menjamin pasokan dan distribusi, khususnya berbagai bahan kebutuhan pokok, dan menjaga ekspektasi inflasi. (ris/ram)