MEDAN, SUMUTPOS.CO – Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menaikkan imbalan bagi warga yang bisa mengungkap dan melaporkan tindak pidana korupsi dari 0,02 persen menjadi 10 persen, menuai pro dan kontra di masyarakat.
Dekan Fakultas Hukum USU Prof Budiman menilai, rencana KPK itu amat baik kalau memang terealisasi. Rencana itu juga bisa dibilang, KPK menghargai jasa masyarakat. Dia mengatakan, tak hanya sekadar memberi imbalan, KPK juga harus menjaga kerahasiaan yang memberi informasi atau laporan. Sebab, hal ini menyangkut keselamatan atau keamanan si pelapor.
“Kita mengapresiasi langkah yang akan dilakukan KPK nantinya itu, dan ini juga merupakan salah satu caranya menekan tindak pidana korupsi. Harapannya, segera dapat terealisasi,” kata Prof Budiman.
Pengamat hukum lainnya, M Sai Rangkuti menuturkan, kebijakan yang diambil KPK jelas bagus dan strategis. Sebab, kebijakan itu mengajak kepada masyarakat untuk segera memberikan informasi atau melaporkan apabila ada indikasi kasus korupsi.
Disinggung soal pelaporan kasus dijadikan mesin ATM, Sai menyebutkan hal itu tidak mungkin terjadi. Karena, sangat tidak mungkin juga penegak hukum jadi ‘ATM’ masyarakat.
Wakil Direktur LBH Medan Ismail Hasan Koto juga mengapresiasi KPK. Menurutnya, dengan tingginya imbalan yang diberikan KPK, lanjut Ismail, hal ini mendorong masyarakat untuk berpartisipasi didalam menurunkan angka tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. “Seperti yang kita ketahui bersama, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (exta–ordinary crime), maka penanganannya juga harus dilakukan dengan cara yang luar biasa,” ungkapnya.
LBH Medan sendiri, lanjut Ismail, mengapresiasi keinginan KPK dengan menaikkan fee 10 persen yang awalnya hanya 0,02 persen kepada warga yang melapor adanya dugaan tindak pidana korupsi. “Hal ini bisa menjadikan hadiah terburuk dan juga ancaman bagi pelaku koruptor yang merugikan keuangan negara terus-menerus. Karena dengan adanya keterlibatan warga sipil, maka akan semakin banyak yang mengawasi para pelaku koruptor tersebut,” terangnya.
“Selain memberikan fee 10 persen kepada warga yang melaporkan para Koruptor, kami mengharapkan KPK juga meningkatkan kemananan. Setidaknya identitas pelapor dirahasiakan sehingga memberikan jaminan perlindungan hukum kepada para pelapor jangan sampai yang melaporkan tindak pidana korupsi tersebut diteror karena dalam hal ini yang dilawan adalah para penguasa dan juga para pembesar di negeri ini,” bebernya.
Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut, Rurita Ningrum juga mendukung rencana KPK tersebut. Bahkan menurut dia, bila perlu imbalan tersebut dinaikkan menjadi 30 persen.
“Saya rasa ini wacana yang bagus. Masyarakat yang awalnya berpikir dua atau bahkan tiga kali untuk melaporkan, tentu akan tertarik untuk melaporkan kasus korupsi ke KPK. Kenapa? Mungkin selama ini masyarakat merasa, bila melaporkan korupsi tak ada untung bagi dirinya pribadi, alih-alih terancam jiwanya,” kata Rurita.
Menurutnya dengan sistem reward seperti itu juga berguna untuk menghilangkan praktik penyuapan dari yang bisa saja terjadi dari terlapor ke pelapor itu sendiri. “Pastinya masyarakat lebih memilih untuk melaporkan ke KPK. Karena dia (pelapor,red) dapat reward dan lagi ada kepuasan karena telah menyelamatkan banyak orang dari praktik korupsi. Jadi wacana ini jangan hanya sebatas wacana, tapi harus diberlakukan,” sebutnya.
Dia mengisahkan, sebuah perkebunan sawit yang kerap dicuri buahnya oleh masyarakat sekitar. Namun, begitu pemilik perkebunan memberikan reward bagi masyarakat yang mengetahui dan melaporkan pencurian, praktik perkebunan itu aman dari pencurian. “Begitu juga bila KPK menjalankan wacana ini, upaya pemberantasan korupsi akan semakin kencang,” ungkapnya.
Lebih lanjut Rurita mendorong agar KPK segera melaksanakan wacana tersebut. “Saya yakin banyak masyarakat yang mendukung. Saya sendiri mendukungnya,” pungkasnya.