SUMUTPOS.CO – Meski dikenal sebagai negara komunis, Tiongkok tetap memberikan perhatian terhadap tempat ibadah. Pengurus masjid digaji. Manajemen diatur rapi. Begitu juga bangunan yang lengkap layaknya kantor instansi resmi.
Masjid di Tiongkok biasanya berupa kompleks. Bukan bangunan tunggal. Di kompleks Masjid Jingjue, Kota Nanjing, ada tujuh bangunan. Satu bangunan bertingkat untuk kantor manajemen, satu bangunan untuk kantor ahong (imam masjid), satu bangunan hall, satu bangunan tempat wudu dan toilet, satu bangunan seperti gazebo, dan satu bangunan inti berupa masjid. Satu lagi, museum tempat memamerkan sejumlah memorabilia terkait Cheng Ho.
Seni arsitektur Tiongkok memang seperti itu. Masjid tidak hanya berupa lahan yang ditempati satu bangunan tunggal. Tapi, ada sebuah ruang kosong di antara sejumlah bangunan yang ada dalam kompleks. Biasanya dijadikan taman.
Penataannya sangat rapi, khas Tiongkok. Ada pohon-pohon yang membuat teduh. Meski dari luar cuaca sedang panas, begitu masuk kompleks, suasana asri tersaji. Itu seni arsitektur yang berkembang sejak zaman kekaisaran dulu.
Masjid Jingjue pernah terbakar saat Cheng Ho melakukan ekspedisi keenam. Begitu pulang, dia memelopori untuk melakukan renovasi pada 1430. Dia memang menganggap masjid itu istimewa. Bukan saja karena dia muslim. Tapi, masjid tersebut merupakan masjid pertama di ibu kota kekaisaran Dinasti Ming itu.
Istimewanya lagi, masjid tersebut dibangun Zhu Yuanzhang, kaisar pertama Dinasti Ming, sebagai hadiah untuk para jenderal dan prajuritnya yang beragama Islam. Memang banyak prajurit Dinasti Ming yang muslim.
Sejak dibangun pada 1368, sudah tiga kali dilakukan renovasi besar-besaran. Renovasi dilakukan bila rusak parah, misalnya karena terbakar. ”Saat Jepang menyerbu, masjid ini juga sempat terbakar dan banyak bagiannya yang hangus. Tapi kembali direnovasi,” kata Zheng Zhi Hai, keturunan ke-19 keluarga Cheng Ho.
Menurut Zheng, tiap renovasi, pengurus selalu berusaha membuatnya mendekati seperti bentuk asli. ”Mulai bahan hingga bentuknya. Baru jika tidak ada lagi bahannya, dicarikan pengganti yang paling mirip,” tambahnya. Jadi, meski tiga kali direnovasi, penampakan masjid itu tidak berbeda jauh dari bentuk asli ketika baru dibangun dulu.
Karena pemerintah ikut membantu pembiayaan, jam operasional masjid juga ditentukan secara rapi seperti jam kantor. Buka ketika akan salat Subuh, kemudian tutup setelah salat Isya. Khusus untuk bulan Ramadan, waktunya diperpanjang hingga salat Tarawih.
Betul-betul rapi seperti instansi pemerintah. Itu bisa dimaklumi. Sebab, selain digaji pemerintah, pengurus masjid, termasuk ahong (imam), adalah pegawai pemerintah (PNS).
Karena itu, bila ada yang ingin iktikaf, terpaksa tidak bisa dilakukan di masjid. Menurut Feng Bao Qian, pemimpin ahong Masjid Jingjue, karena sudah menjadi peraturan pemerintah, pihaknya ikut saja. ”Aturannya seperti itu. Sebagai warga negara yang baik, tentu kami harus patuh,” tuturnya.
Feng memahami keutamaan iktikaf di masjid. Tapi, situasi membuat umat Islam di Nanjing juga harus memahami. ”Yang penting, ibadah wajib bisa dilaksanakan. Daripada tidak sama sekali,” sambungnya.
Yang juga membuat suasana masjid menjadi ramai biasanya saat salat Id. Baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Juga pengajian bulanan yang diselenggarakan remaja masjid.
Pada Ramadan seperti ini, suasana masjid juga lebih ramai daripada biasanya. Meskipun tidak bisa dibandingkan dengan suasana di Indonesia. Jamaah bisa mencapai sekitar seratus orang.
Untuk ibadah rutin, paling ramai saat salat Jumat. Jamaahnya bisa mencapai 200 orang. Sebab, bukan hanya muslim Nanjing yang ikut Jumatan. Mereka warga luar yang kebetulan sedang berada di Nanjing juga ikut serta.
Selain ibadah rutin, takmir sering menyelenggarakan kegiatan pembinaan keagamaan untuk anak-anak. Mirip pesantren kilat di Indonesia. Tapi, peserta tidak menginap. Biasanya dilakukan saat liburan musim panas. ”Kegiatannya ya pengenalan dasar-dasar agama Islam,” kata Feng.