29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Hitam dan Keriting Berbahasa Mandarin

Ini soal membangun kepercayaan. Yang tidak mudah. Dan waktunya tidak bisa singkat. Kalau tahun ini kami bisa mengirim lagi calon mahasiswa sebanyak 360 orang ke Tiongkok, itu bagian dari kerja keras yang panjang tersebut. Juga sejumlah pengorbanan.

Awalnya hanyalah ide kebudayaan. Bagaimana masyarakat Tionghoa kian memahami budaya pribumi dan pribumi kian memahami budaya Tionghoa. Lalu berkembang ke bahasa. Bahasalah alat penting untuk memahami budaya. Karena yang Tionghoa umumnya sudah biasa berbahasa lokal, maka bagaimana yang pribumi bisa lebih mengenal bahasa Mandarin. Dibukalah kursus bahasa Mandarin. Dengan guru tanpa dibayar.

Suatu hari saya bersama Pemred Jawa Pos saat itu, Dhimam Abror, dan guru-guru Mandarin seperti Lily Yoshica bincang-bincang santai. Maka, lahirlah Indonesia Tionghoa Culture Centre (ITCC). Lily yang jadi ketuanya. Tanpa bayaran.

Sejak itu, perjuangan mencarikan beasiswa dimulai. Agar kian banyak anak muda Indonesia yang kuliah di Tiongkok. Ternyata, ada dua kesulitan: Yang mau memberi beasiswa tidak ada dan mencari yang mau menerima beasiswa juga tidak berhasil.

Tapi, Lily pantang mundur. Alumnus Universitas Widya Mandala Surabaya itu memang pendiam, tapi otaknya jalan terus. Lily lahir di Madiun. Tamat SD Santa Maria, SMP Santo Yusuf, SMA Bonaventura Madiun. Orangnya sabar dan tekun. Tidak gampang menyerah. Lima tahun kemudian, setelah saya transplantasi hati di Tianjin, mulai ada hasilnya. Tahun itu ada sembilan universitas di Tiongkok yang mau menyediakan beasiswa terbatas. Bebas biaya kuliah, tapi tempat tinggal dan makan bayar sendiri.

Mula-mula hanya 50 calon mahasiswa yang memanfaatkan. Tahun berikutnya meningkat sedikit. Kian lama kian populer. Ada yang kaget. Untuk kuliah sampai lulus di kedokteran, hanya akan habis Rp 280 juta. Itu biaya selama lima tahun. Makannya di kantin universitas dan tidurnya di asrama kampus.

Tahun-tahun berikutnya, peminatnya naik drastis. Naik jadi 120 orang. Naik jadi 160. Tahun lalu 350 orang. Tahun ini 360 orang. Bidang studi yang dipilih pun kian beragam. Mulai kedokteran, bisnis, pertanian, sampai jurusan ilmu kereta api.

Ini soal membangun kepercayaan. Yang tidak mudah. Dan waktunya tidak bisa singkat. Kalau tahun ini kami bisa mengirim lagi calon mahasiswa sebanyak 360 orang ke Tiongkok, itu bagian dari kerja keras yang panjang tersebut. Juga sejumlah pengorbanan.

Awalnya hanyalah ide kebudayaan. Bagaimana masyarakat Tionghoa kian memahami budaya pribumi dan pribumi kian memahami budaya Tionghoa. Lalu berkembang ke bahasa. Bahasalah alat penting untuk memahami budaya. Karena yang Tionghoa umumnya sudah biasa berbahasa lokal, maka bagaimana yang pribumi bisa lebih mengenal bahasa Mandarin. Dibukalah kursus bahasa Mandarin. Dengan guru tanpa dibayar.

Suatu hari saya bersama Pemred Jawa Pos saat itu, Dhimam Abror, dan guru-guru Mandarin seperti Lily Yoshica bincang-bincang santai. Maka, lahirlah Indonesia Tionghoa Culture Centre (ITCC). Lily yang jadi ketuanya. Tanpa bayaran.

Sejak itu, perjuangan mencarikan beasiswa dimulai. Agar kian banyak anak muda Indonesia yang kuliah di Tiongkok. Ternyata, ada dua kesulitan: Yang mau memberi beasiswa tidak ada dan mencari yang mau menerima beasiswa juga tidak berhasil.

Tapi, Lily pantang mundur. Alumnus Universitas Widya Mandala Surabaya itu memang pendiam, tapi otaknya jalan terus. Lily lahir di Madiun. Tamat SD Santa Maria, SMP Santo Yusuf, SMA Bonaventura Madiun. Orangnya sabar dan tekun. Tidak gampang menyerah. Lima tahun kemudian, setelah saya transplantasi hati di Tianjin, mulai ada hasilnya. Tahun itu ada sembilan universitas di Tiongkok yang mau menyediakan beasiswa terbatas. Bebas biaya kuliah, tapi tempat tinggal dan makan bayar sendiri.

Mula-mula hanya 50 calon mahasiswa yang memanfaatkan. Tahun berikutnya meningkat sedikit. Kian lama kian populer. Ada yang kaget. Untuk kuliah sampai lulus di kedokteran, hanya akan habis Rp 280 juta. Itu biaya selama lima tahun. Makannya di kantin universitas dan tidurnya di asrama kampus.

Tahun-tahun berikutnya, peminatnya naik drastis. Naik jadi 120 orang. Naik jadi 160. Tahun lalu 350 orang. Tahun ini 360 orang. Bidang studi yang dipilih pun kian beragam. Mulai kedokteran, bisnis, pertanian, sampai jurusan ilmu kereta api.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/