TOKYO-Saat gempa dahsyat yang disusul tsunami melanda Jepang, parlemen Negeri Sakura itu sedang menggelar rapat kemarin (11/3). Di depan para wakil rakyat, Perdana Menteri Jepang Naoto Kan mengakui “dosanya” terkait skandal bantuan politik. Kan menyatakan pernah menerima bantuan asing.
Kendati demikian, dia menegaskan tidak akan mengundurkan diri dari jabatannya karena kasus tersebut. Kan berdalih dia tidak tahu jika aliran dana yang diterimanya dari luar negeri, karena sang donor menggunakan nama Jepang. “Orang tersebut (donatur) memakai nama Jepang dan dia sendiri adalah warga negara Jepang,” tukas politisi yang dijuluki Irritable Kan alias Kan pemarah itu.
Kan menyatakan, donor adalah seseorang yang dikenalkan oleh rekannya beberapa tahun silam. Belum diketahui secara jelas, apakah si donor memang benar-benar lahir di Negeri Matahari Terbit.
Dalam skandal yang sama, Menteri Luar Negeri Seiji Maehara telah lebih dulu mundur. Posisinya digantikan Takeaki Matsumoto dua hari kemudian (9/3).
Kan berjanji akan menginvestigasi kasus tersebut dan mengembalikan bantuan itu secara penuh jika terbukti benar. Sebelumnya Harian Sahai Shimbun melansir bahwa Kan menerima bantuan total USD 12.500 (sekitar Rp 108,7 juta) antara 2006 dan 2009 dari seorang warga Korea yang tinggal di Jepang.
Undang-undang pendanaan politik Jepang melarang anggota parlemen menerima bantuan asing. Mereka hanya diperbolehkan menerima donasi dari warga negara Jepang. Hal itu untuk menghindari intervensi negara lain terhadap politik domestik.
Skandal bantuan politik tersebut menjadi pukulan berat bagi pemerintahan Kan. Karena sejumlah survei politik telah menunjukkan bahwa popularitas pemerintah menurun drastis.
Skandal tersebut juga semakin menurunkan posisi tawarnya di parlemen. Saat ini oposisi telah menguasai senat. Partai pendukung pemerintah hanya menguasai kongres, sehingga banyak menghadapi masalah dalam membahas sejumlah UU, termasuk anggaran.
Terlibatnya Seiji Maehara dalam kasus tersebut juga menjadi pukulan tersendiri bagi Partai Demokratik. Pasalnya politisi gaek tersebut digadang-gadang menggantikan Naoto Kan sebagai perdana menteri.
Seperti dilansir AFP, Maehara dituduh menerima bantuan dari warga asing. Dia sendiri, Jumat (4/3) telah meminta maaf karena menerima uang sebesar USD 610 (Rp 5,3 juta) dari seorang wanita, keturunan Korea, yang diakuinya sebagai teman semasa kecil.
Jepang, yang menduduki Semenanjung Korea hingga berakhirnya Perang Dunia II, menjadi tempat tinggal sekitar satu juta etnis Korea. Sebagian dari mereka adalah anak-anak dari mantan pekerja paksa dan tidak mempunyai status kewarganegaraan Jepang.
Maehara menyatakan tidak menyadari bahwa pemberian itu adalah bantuan yang dianggap melanggar hukum hingga pekan lalu. Sebenarnya, dia tetap ingin duduk di posisinya sebagai Menlu. Namun, tekanan partai oposisi semakin kuat dan menyatakan pelanggaran hukum tersebut harus ditindak secara serius. (cak/ami/jpnn)