SUMUTPOS.CO – Menyikapi surat edaran Bawaslu ini, Komisi A DPRD Sumut berencana memanggil lembaga tersebut untuk mengetahui jelas, motif dari keluarnya surat itu. Wakil Ketua Komisi A DPRD Sumut Muhri Fauzi Hafiz menyayangkan adanya surat Bawaslu tersebut yang kemudian menimbulkan keresahan.
Sebab, poin yang dipersoalkan di antaranya yakni larangan bagi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara, partai politik, tim pemenangan dan relawan, untuk mengucapkan selamat Ramadan dan Idul Fitri, berinfak dan bersedekah di luar amil zakat, serta larangan berceramah di rumah ibadah.
Muhri juga menilai, ada kejanggalan dari surat yang beredar luas tersebut. Sebab isinya melarang pasangan calon (paslon), tim pemenangan dan relawan untuk membagi-bagikan infaq, sedekah, tunjangan hari raya, dan bingkisan Lebaran pada masyarakat. “Menurut saya hal itu tidak pas karena berbanding terbalik. Kita justru dianjurkan memperbanyak sedekah dan infak di bulan Ramadan karena pahalanya berlipat ganda,” sebutnya.
Persoalan ibadah bercampur dengan politik dan riya lanjut Muhri, menurutnya itu menjadi tanggung jawab masing-masing orang dan pribadinya. Karena itu, melihat keresahan yang timbul akibat surat yang dikeluarkan Bawaslu Sumut, Komisi A akan mengundang Bawaslu dalam RDP.
Dikatakannya, dengan memanggil Bawaslu, pihaknya ingin mendengar secara langsung apa motif dikeluarkannya surat edaran tersebut. “Saya melihat surat edaran yang menjadi persoalan itu menyangkut bulan Ramadan, kemudian menyamakan kegiatan infak dan sedekah seperti politik uang. Jadi seakan-akan Ramadan itu menjadi bulan yang tidak kita hargai sama sekali,” tegasnya.
Menurutnya, jika Bawaslu ingin tegas dan konsisten menegakkan aturan, seharusnya Bawaslu memberikan tindakan terhadap kampanye yang menyalahi aturan, seperti pembagian sembako atau hadiah bergambar paslon. Selain itu juga Bawaslu dapat mengantisipasi serangan fajar dan mencerdaskan masyarakat serta memberi penghargaan bagi masyarakat yang melaporkan adanya politik uang.
Sementara anggota Komisi A, Syamsul Qadri Marpaung menilai, aturan tersebut mengatur dan menekankan pada ibadah dan momentum umat Islam. Hal itu bisa menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok agama. Seharusnya tindakan tersebut bisa ditindak. “Aturan ini dibebankan pada satu kelompok dan tidak mencakup kelompok lain. Tidak lagi multitafsir. Komisi A bisa memanggil Bawaslu untuk mempertanyakan keputusan tersebut. Urgensinya apa? Apakah sudah begitu mengancam keamanan Pilkada? Kalau tidak diklarifikasi, orang bisa menduga itu pesanan,” jelasnya.
Ia menjelaskan, jika aturan tersebut mengatur konten akan bisa diterima. “Misalnya aturan tidak boleh ceramah, kalau isinya yang diatur boleh saja. Tapi kalau mengisi ceramah saja, masa tidak boleh,” katanya. (prn/bal/jpg)