29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Keliling Eropa-Tiongkok demi Melihat Lokasi dalam Komik

Komunitas Tintin Indonesia, Kumpulan Pencinta Komik Petualangan Tintin

Penggemar komik Petualangan Tintin bisa berkumpul di komunitas ini. Bisa berdiskusi soal komik, koleksi action figure, hingga mengumpulkan edisi dari berbagai bahasa. Ada juga yang berkeliling dunia demi mendatangi lokasi yang diceritakan dalam komik legendaris tersebut.

AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta

Kapten Haddock membongkar backpack mungil hitam. Raut mukanya tampak bingung. Cangklong merah yang sejak tadi menempel di mulut terpaksa diletakkan. “Seribu topan badai, di mana tadi jenggot palsu saya?” kata Haddock mengucapkan sumpah serapah khas sang kapten kapal.

“Jenggot” ketemu. Dia lantas mencoba memasangnya. Sayangnya, perekat yang menempel di jenggot sintetis itu sudah tidak lengket. Alhasil, cambang di sisi kanan dan kiri tidak menempel sempurna di pipi. “Ya sudah deh, nggak usah pakai jenggot palsu, pakai yang asli saja,” ujar lelaki 50 tahun itu lantas mengelus kumis dan jenggot tipisnya.

Haddock gadungan tersebut adalah Berthold Sinaulan, salah seorang anggota Komunitas Tintin Indonesia. Sabtu sore itu (12/11), dia bersama 300 anggota komunitas mengadakan acara nonton bareng film The Adventures of Tintin: Secret of the Unicorn di Blitz Megaplex, Grand Indonesia. Berthold kebagian tugas berdandan ala Kapten Haddockn
Dia mengenakan topi nakhoda, jas hitam, dan sweater turtle neck biru. Sweater itu semakin mirip Haddock dengan simbol jangkar kapal di bagian dada.

Dandanan Anthony Rizal lain lagi. Lelaki 47 tahun itu mengenakan sweater biru cerah plus celana cokelat. Bagian bawah celana digulung agar kaus kaki dan sepatunya terlihat jelas. Karena rambutnya sudah tipis, lelaki yang akrab dipanggil Rizal tersebut mengenakan jambul yang dipasang seperti bando. “Sudah mirip Tintin belum?” kata bapak dua anak itu sambil memeluk gambar anjing setia Tintin, Snowy.

Syaiful Bahri tak mau kalah. Dia lebih total. Meski wajahnya tidak mirip Tintin, dia nekat memakai kilt (pakaian tradisional khas Skotlandia) lengkap dengan baret berkuncir merah. Sepatu bot hitam dan kaus kaki agak tinggi membuat dirinya semakin mirip tokoh bikinan komikus legendaris Herge tersebut.

Para pencinta Tintin tersebut tergabung dalam komunitas sejak 2003 melalui milis. Mereka dipertemukan oleh kesukaan terhadap komik petualangan itu. Acara nonton bareng di Blitz Megaplex tersebut merupakan salah satu kegiatan “kopi darat”. Tak tanggung-tanggung, mereka mencarter satu studio berkapasitas tiga ratus tempat duduk.
Di dalam studio, para anggota tidak sekadar menonton. Sebelum film diputar tepat pukul 18.00, Koordinator Komunitas Tintin Indonesia Surjorimba membuka acara dengan menyampaikan sejarah komunitas. Mirip presentasi rapat, sejarah komunitas disampaikan dengan “slide” yang ditampilkan di layar bioskop.

Para anggota komunitas menganggap Tintin the movie sebagai berkah. Sebab, sudah lama mereka menanti film tersebut. “Ada pencinta Tintin yang menunggu sejak dua tahun lalu. Bahkan sejak sepuluh tahun lalu saat ada gosip Tintin mau dibikin movie. Sekarang semua sudah ada di depan kita,” kata lelaki yang karib dipanggil Suryo itu lantas disambut tepuk tangan para hadirin yang memenuhi semua tempat duduk.

Komunitas dengan anggota hampir seribu orang tersebut bermula dari milis pada 2003. Mereka berdiskusi dan saling bertukar pikiran tentang Tintin serta semua hal yang berhubungan dengan hal itu. Mereka juga bercerita soal koleksi segala pernak-pernik tokoh tersebut.

Moderator milis, Muhammad Misdianto, menuturkan, anggota milis kini sudah hampir seribu orang. Komunitas tersebut sengaja tidak memilih format organisasi. Mereka tidak ingin terlalu serius dengan aturan-aturan formal. Karena itu, pucuk pimpinan komunitas tidak disebut ketua, tapi koordinator. Jabatan selevel wakil ketua, sekretaris, dan lain-lainnya dipilih secara kekeluargaan. “Pokoknya kami suka dan ngumpul ngomong tentang Tintin,” tegasnya.
Bagi mereka, Tintin bukan sekadar tokoh komik. Ketika membaca komik Tintin, mereka juga belajar budaya serta kondisi geografis berbagai benua di dunia. Misalnya, Eropa, Afrika, Amerika, dan beberapa wilayah di Asia.

Dalam episode Penerbangan 714 ke Sydney, misalnya. Tintin sempat transit di Indonesia dalam perjalanan ke Sydney, Australia. Dia mendarat di bandar udara saat masih berada di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Di tengah penerbangan ke Sydney, pesawat yang ditumpangi Tintin dan Kapten Haddock jatuh di Pulau Komodo. Herge menggambarkan sosok binatang purba itu begitu detail. “Sayangnya, dulu tidak ada SMS untuk komodo,” ujar lelaki yang akrab dipanggil Dian itu.

Fanatisme terhadap Tintin diwujudkan dalam berbagai bentuk. Mengoleksi action figure dan semua edisi Tintin dalam bahasa Indonesia sudah biasa. Ada anggota yang mengoleksi khusus komik-komik Tintin dalam berbagai bahasa di dunia. Mulai bahasa asli Tintin, Prancis, hingga bahasa Belanda dan Jerman. Berthold merupakan salah seorang kolektor komik Tintin dalam bahasa Belanda.

Suami Afriani itu menuturkan, dirinya kali pertama mengenal Tintin saat masih berusia 5 tahun pada 1964. Setiap pulang perjalanan dinas ke luar negeri, sang ayah memberikan buah tangan komik Tintin dalam bahasa Belanda. “Karena saya belum bisa bahasa Belanda, ibu yang membacakan untuk saya,” tuturnya.

Dalam bahasa Belanda, tokoh berjambul itu dikenal dengan nama Kuifje. Nama anjing setia Tintin tidak disebut Snowy seperti dalam bahasa Indonesia dan Inggris, tapi Bobby. Begitu juga di Prancis. Anjing putih berbulu halus tersebut dipanggil Milou. “Karena itu, di Prancis, namanya Petualangan Tintin dan Milou,” jelasnya.

Gambaran detail petualangan Tintin membuat para anggota terdorong untuk mengunjungi setting tempat komik Tintin. Syaiful Bahri, salah satunya. Dia menuturkan, hampir semua “tempat kejadian perkara” alias TKP Tintin sudah dikunjungi. Di Benua Eropa, dirinya berkunjung ke Skotlandia (Tintin episode Pulau Hitam), Belgia (kediaman Tintin), dan mampir ke Prancis untuk berkulakan edisi Tintin dalam bahasa asli.

Syaiful juga menyempatkan diri ke Shanghai, Tiongkok, untuk melihat TKP Tintin dalam edisi Lotus Biru. “Tahun depan rencananya ke Tibet dan Rusia, seperti Tintin di Tibet dan Tintin di Tanah Sovyet,” katanya menyebut dua edisi komik Tintin itu.

Perjalanan menuju TKP Tintin benar-benar dinikmati Syaiful. Kebanyakan dia melakukannya dengan cara backpacking. Sebagian yang lain bertepatan dengan tugas kantor. “Walaupun dulu baca Tintin nebeng di tetangga, saya bisa merasakan semangat petualangan ada dalam diri saya,” tegas engineer sebuah perusahaan internasional di bidang telekomunikasi itu.

Selain ke berbagai TKP Tintin, kunjungan wajib tetap ke Belgia. Di sana, ada dua tempat yang harus dikunjungi para penggemar Tintin. Yakni, museum komik dan museum Herge. Di museum Herge, ada banyak pernak-pernik Tintin serta foto-foto Herge, sang pencipta komik.

Sebelum filmnya dibuat oleh produser kondang Steven Spielberg, Tintin awalnya adalah komik yang ditulis Herge, mantan wartawan yang menjadi komikus. Herge sejatinya bernama asli Georges Remi. Dia kemudian menciptakan nama pena Herge yang diambil dari inisial namanya kemudian dibalik. Yakni, RG yang dibaca Herge (er-ze) dalam bahasa Prancis.

Serial itu kali pertama muncul dalam bahasa Prancis sebagai lampiran bagi anak-anak dari koran Belgia, Le Vingtie‹ Siìˆe, 10 Januari 1929. Serial Petualangan Tintin sudah mencapai 24 episode. Semua diciptakan komikus kelahiran 1907 itu.

Dian menyatakan, Tintin disenangi karena tidak hanya menghibur, tapi juga menggambarkan lingkungan dan setting komik yang detail. Herge selalu melakukan riset sebelum membuat komik. Karena itu, pakaian, cara berbicara, maupun kebiasaan masyarakat setempat sangat akurat.

Tokoh utama serial tersebut adalah seorang wartawan Belgia muda dan pengembara. Dia ditemani seekor anjing jenis fox terrier yang bernama Snowy dalam bahasa Inggris atau Milou dalam bahasa Prancis.
Dian menuturkan, Tintin sempat menjadi isu politik. Dalam edisi Lotus Biru, Herge sangat berpihak kepada Tiongkok. Terutama terkait invasi Jepang ke Tiongkok pada 1930-an. “Tintin bisa dibaca serius, juga bisa dibaca having fun. Sampai sekarang, bahkan ratusan manga (komik Jepang, Red) pun tak ada yang bisa menandinginya,” tegasnya. (c5/nw/jpnn)

Komunitas Tintin Indonesia, Kumpulan Pencinta Komik Petualangan Tintin

Penggemar komik Petualangan Tintin bisa berkumpul di komunitas ini. Bisa berdiskusi soal komik, koleksi action figure, hingga mengumpulkan edisi dari berbagai bahasa. Ada juga yang berkeliling dunia demi mendatangi lokasi yang diceritakan dalam komik legendaris tersebut.

AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta

Kapten Haddock membongkar backpack mungil hitam. Raut mukanya tampak bingung. Cangklong merah yang sejak tadi menempel di mulut terpaksa diletakkan. “Seribu topan badai, di mana tadi jenggot palsu saya?” kata Haddock mengucapkan sumpah serapah khas sang kapten kapal.

“Jenggot” ketemu. Dia lantas mencoba memasangnya. Sayangnya, perekat yang menempel di jenggot sintetis itu sudah tidak lengket. Alhasil, cambang di sisi kanan dan kiri tidak menempel sempurna di pipi. “Ya sudah deh, nggak usah pakai jenggot palsu, pakai yang asli saja,” ujar lelaki 50 tahun itu lantas mengelus kumis dan jenggot tipisnya.

Haddock gadungan tersebut adalah Berthold Sinaulan, salah seorang anggota Komunitas Tintin Indonesia. Sabtu sore itu (12/11), dia bersama 300 anggota komunitas mengadakan acara nonton bareng film The Adventures of Tintin: Secret of the Unicorn di Blitz Megaplex, Grand Indonesia. Berthold kebagian tugas berdandan ala Kapten Haddockn
Dia mengenakan topi nakhoda, jas hitam, dan sweater turtle neck biru. Sweater itu semakin mirip Haddock dengan simbol jangkar kapal di bagian dada.

Dandanan Anthony Rizal lain lagi. Lelaki 47 tahun itu mengenakan sweater biru cerah plus celana cokelat. Bagian bawah celana digulung agar kaus kaki dan sepatunya terlihat jelas. Karena rambutnya sudah tipis, lelaki yang akrab dipanggil Rizal tersebut mengenakan jambul yang dipasang seperti bando. “Sudah mirip Tintin belum?” kata bapak dua anak itu sambil memeluk gambar anjing setia Tintin, Snowy.

Syaiful Bahri tak mau kalah. Dia lebih total. Meski wajahnya tidak mirip Tintin, dia nekat memakai kilt (pakaian tradisional khas Skotlandia) lengkap dengan baret berkuncir merah. Sepatu bot hitam dan kaus kaki agak tinggi membuat dirinya semakin mirip tokoh bikinan komikus legendaris Herge tersebut.

Para pencinta Tintin tersebut tergabung dalam komunitas sejak 2003 melalui milis. Mereka dipertemukan oleh kesukaan terhadap komik petualangan itu. Acara nonton bareng di Blitz Megaplex tersebut merupakan salah satu kegiatan “kopi darat”. Tak tanggung-tanggung, mereka mencarter satu studio berkapasitas tiga ratus tempat duduk.
Di dalam studio, para anggota tidak sekadar menonton. Sebelum film diputar tepat pukul 18.00, Koordinator Komunitas Tintin Indonesia Surjorimba membuka acara dengan menyampaikan sejarah komunitas. Mirip presentasi rapat, sejarah komunitas disampaikan dengan “slide” yang ditampilkan di layar bioskop.

Para anggota komunitas menganggap Tintin the movie sebagai berkah. Sebab, sudah lama mereka menanti film tersebut. “Ada pencinta Tintin yang menunggu sejak dua tahun lalu. Bahkan sejak sepuluh tahun lalu saat ada gosip Tintin mau dibikin movie. Sekarang semua sudah ada di depan kita,” kata lelaki yang karib dipanggil Suryo itu lantas disambut tepuk tangan para hadirin yang memenuhi semua tempat duduk.

Komunitas dengan anggota hampir seribu orang tersebut bermula dari milis pada 2003. Mereka berdiskusi dan saling bertukar pikiran tentang Tintin serta semua hal yang berhubungan dengan hal itu. Mereka juga bercerita soal koleksi segala pernak-pernik tokoh tersebut.

Moderator milis, Muhammad Misdianto, menuturkan, anggota milis kini sudah hampir seribu orang. Komunitas tersebut sengaja tidak memilih format organisasi. Mereka tidak ingin terlalu serius dengan aturan-aturan formal. Karena itu, pucuk pimpinan komunitas tidak disebut ketua, tapi koordinator. Jabatan selevel wakil ketua, sekretaris, dan lain-lainnya dipilih secara kekeluargaan. “Pokoknya kami suka dan ngumpul ngomong tentang Tintin,” tegasnya.
Bagi mereka, Tintin bukan sekadar tokoh komik. Ketika membaca komik Tintin, mereka juga belajar budaya serta kondisi geografis berbagai benua di dunia. Misalnya, Eropa, Afrika, Amerika, dan beberapa wilayah di Asia.

Dalam episode Penerbangan 714 ke Sydney, misalnya. Tintin sempat transit di Indonesia dalam perjalanan ke Sydney, Australia. Dia mendarat di bandar udara saat masih berada di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Di tengah penerbangan ke Sydney, pesawat yang ditumpangi Tintin dan Kapten Haddock jatuh di Pulau Komodo. Herge menggambarkan sosok binatang purba itu begitu detail. “Sayangnya, dulu tidak ada SMS untuk komodo,” ujar lelaki yang akrab dipanggil Dian itu.

Fanatisme terhadap Tintin diwujudkan dalam berbagai bentuk. Mengoleksi action figure dan semua edisi Tintin dalam bahasa Indonesia sudah biasa. Ada anggota yang mengoleksi khusus komik-komik Tintin dalam berbagai bahasa di dunia. Mulai bahasa asli Tintin, Prancis, hingga bahasa Belanda dan Jerman. Berthold merupakan salah seorang kolektor komik Tintin dalam bahasa Belanda.

Suami Afriani itu menuturkan, dirinya kali pertama mengenal Tintin saat masih berusia 5 tahun pada 1964. Setiap pulang perjalanan dinas ke luar negeri, sang ayah memberikan buah tangan komik Tintin dalam bahasa Belanda. “Karena saya belum bisa bahasa Belanda, ibu yang membacakan untuk saya,” tuturnya.

Dalam bahasa Belanda, tokoh berjambul itu dikenal dengan nama Kuifje. Nama anjing setia Tintin tidak disebut Snowy seperti dalam bahasa Indonesia dan Inggris, tapi Bobby. Begitu juga di Prancis. Anjing putih berbulu halus tersebut dipanggil Milou. “Karena itu, di Prancis, namanya Petualangan Tintin dan Milou,” jelasnya.

Gambaran detail petualangan Tintin membuat para anggota terdorong untuk mengunjungi setting tempat komik Tintin. Syaiful Bahri, salah satunya. Dia menuturkan, hampir semua “tempat kejadian perkara” alias TKP Tintin sudah dikunjungi. Di Benua Eropa, dirinya berkunjung ke Skotlandia (Tintin episode Pulau Hitam), Belgia (kediaman Tintin), dan mampir ke Prancis untuk berkulakan edisi Tintin dalam bahasa asli.

Syaiful juga menyempatkan diri ke Shanghai, Tiongkok, untuk melihat TKP Tintin dalam edisi Lotus Biru. “Tahun depan rencananya ke Tibet dan Rusia, seperti Tintin di Tibet dan Tintin di Tanah Sovyet,” katanya menyebut dua edisi komik Tintin itu.

Perjalanan menuju TKP Tintin benar-benar dinikmati Syaiful. Kebanyakan dia melakukannya dengan cara backpacking. Sebagian yang lain bertepatan dengan tugas kantor. “Walaupun dulu baca Tintin nebeng di tetangga, saya bisa merasakan semangat petualangan ada dalam diri saya,” tegas engineer sebuah perusahaan internasional di bidang telekomunikasi itu.

Selain ke berbagai TKP Tintin, kunjungan wajib tetap ke Belgia. Di sana, ada dua tempat yang harus dikunjungi para penggemar Tintin. Yakni, museum komik dan museum Herge. Di museum Herge, ada banyak pernak-pernik Tintin serta foto-foto Herge, sang pencipta komik.

Sebelum filmnya dibuat oleh produser kondang Steven Spielberg, Tintin awalnya adalah komik yang ditulis Herge, mantan wartawan yang menjadi komikus. Herge sejatinya bernama asli Georges Remi. Dia kemudian menciptakan nama pena Herge yang diambil dari inisial namanya kemudian dibalik. Yakni, RG yang dibaca Herge (er-ze) dalam bahasa Prancis.

Serial itu kali pertama muncul dalam bahasa Prancis sebagai lampiran bagi anak-anak dari koran Belgia, Le Vingtie‹ Siìˆe, 10 Januari 1929. Serial Petualangan Tintin sudah mencapai 24 episode. Semua diciptakan komikus kelahiran 1907 itu.

Dian menyatakan, Tintin disenangi karena tidak hanya menghibur, tapi juga menggambarkan lingkungan dan setting komik yang detail. Herge selalu melakukan riset sebelum membuat komik. Karena itu, pakaian, cara berbicara, maupun kebiasaan masyarakat setempat sangat akurat.

Tokoh utama serial tersebut adalah seorang wartawan Belgia muda dan pengembara. Dia ditemani seekor anjing jenis fox terrier yang bernama Snowy dalam bahasa Inggris atau Milou dalam bahasa Prancis.
Dian menuturkan, Tintin sempat menjadi isu politik. Dalam edisi Lotus Biru, Herge sangat berpihak kepada Tiongkok. Terutama terkait invasi Jepang ke Tiongkok pada 1930-an. “Tintin bisa dibaca serius, juga bisa dibaca having fun. Sampai sekarang, bahkan ratusan manga (komik Jepang, Red) pun tak ada yang bisa menandinginya,” tegasnya. (c5/nw/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/