25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Zatako sang Penyemat ‘Ayam Kinantan’ Berpulang…

HM Zainuddin Tamir Koto yang akrab dipanggil Zatako, wartawan senior yang juga penyair menghembuskan nafas terakhir di RS Adam Malik Sabtu dinihari sekitar pukul 00.30 WIB. Jenazah disemayamkan di kediamannya Jalan Letterpres Komplek Wartawan Medan, sebelum dikebumikan di pemakaman umum Jalan Jemadi kemarin sore. Zatako meninggal di usia 69 tahun.

Catatan Obituari: Syaifullah

ZATAKO dikenal sebagai wartawan olahraga yang hingga menjelang akhir hayatnya masih gesit meliput ke lapangan.

Di usiannya yang senja, Zatako masih bersemangat meliput langsung kegiatan olahraga. Terutama PSMS. Banyak cerita yang sudah dirangkainya bersama PSMS. Tak heran, sebab Zatako sudah meliput PSMS dan sepak bola nasional sejak tahun 1960-an silam. Semasa hidupnya Zatako sering bercerita kepada saya jika dia termasuk salah satu yang menyematkan nama Ayam Kinantan, sebagai julukan PSMS. Sebelumnya PSMS lebih sering disebut The Killer lantaran kerap mengalahkan tim lokal maupun tim asing di Stadion Teladan.

Namun kalau tak salah ingat, setelah jadi juara untuk kali terakhir era Perserikatan 1985 silam, PSMS punya julukan Ayam Kinantan. Masih fresh benar di ingata Zatako saat dia menceritakan asal mula nama Ayam Kinantan itu diberikan kepada PSMS. Saya nyaris lupa apa-apa saja poin yang disebutkannya. Tapi yang jelas, sesaat setelah menjuarai Kompetisi Perserikatan 1985 melawan Persib Bandung, yang dimenangkan PSMS lewat adu penalti 2-1 setelah skor di waktu normal 2-2 itu, julukan Ayam Kinantan mulai dipakai. Kalau tidak salah sekitar tahun 2009 Pak Zatako-begitu saya memanggilnya, bercerita tentang Ayam Kinantan itu. Ayam Kinantan itu merupakan ayam jago biasa yang kebetulan dimiliki seseorang di kawasan Jakarta yang bernama Kinantan. Entah siapa yang akhirnya berhasil meminta ayam itu untuk dijadikan hadiah kecil keberhasilan PSMS jadi jua- ra Perserikatan untuk kali ke lima saat itu. Ayam itu pun dibawa pulang ke Medan.

Sesampai di Medan, Ayam tersebut diarak keliling kampung bersamaan diaraknya skuad PSMS oleh Warga Medan. Seluruh isi kota saat itu bersatu merayakan kemenangan dramatis tersebut. Ironisnya, tak lama setelah merayakan keberhasilan itu dengan iring-iringan dan arakarakan skuad dan warga yang berbaur, ayam tadi akhirnya dibiarkan terkurung di Stadion Kebun Bunga. “Setelah itu ayam itu tak nampak lagi. Mungkin dicuri orang,” kata Pak Zatako saat bercerita dengan saya waktu itu. Begitulah, akhirnya nama Ayam Kinantan pun mulai digemakan. Lambat laun nama itu masih terdengar hingga saat ini. Di rumah duka, Ketua SIWO PWI Pusat, Raja Parlindungan Pane, terlihat hadir di rumah duka. Mantan PSMS seperti Nobon Kayamuddin juga tampak berduka atas musibah ini.

Menurut salah satu anak almarhum, Laksamana Mahardika, be berapa pekan belakangan kon disi fisik ayahnya memang melemah. “Bapak orangnya kuat. Sampai usianya segini dia masih tetap meliput dan pergi kesana kemari. Kelihatannya sehat-sehat saja tapi ternyata ada gangguan di ginjalnya. 14 Desember nanti usianya genap 70 tahun,” kata Mahardika. Menurut Mahardika, ayahnya memang cinta mati terhadap dunia sepak bola dan PSMS. Kalau ingin meliput PSMS, tak ada anggota keluarga yang bisa melarang. “Bapak memang sangat mencintai PSMS. Tidak ada yang bisa melarangnya jika ingin pergi meliput PSMS meski kondisi fisiknya sudah tak sekuat dulu. Bahkan menjelang wafatnya dia masih menanyakan kabar PSMS dan PS Gumarang,” kenang Dika. Ciri khas Pak Zatako memang tak akan pernah luntur dalam benak kami wartawan yang masih jauh soal pengalaman dibanding dirinya. Dengan menggunakan rompi khas dan kopiah, Pak Zatako tak akan malu meliput.

Bahkan di saat wartawan dilengkapi kamera digital, Pak Zatako masih akan bangga menggunakan kamera analog yang sering disebut tustel. Ya, hanya dengan tustel itu Pak Zatako tetap mendapat ruang paling depan ketika hendak memotret PSMS berlaga. Almarhum juga dikenal sebagai seorang yang humoris dan kerap melontarkan guyonan-guyonan khasnya dengan menyingkat sesuatu. Bahkan namanya sendiri sering disingkatnya dengan istilah Zagoan Tangan Kosong. Ya begitulah Pak Zatako. Saktiawan Sinaga, mantan pemain PSMS yang kini membela Mitra Kukar tak percaya dengan kabar meninggalnya almarhum. Sakti mengetahui kabar itu ketika melihat status Blackberry messenger saya.

“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Aku kenal kali la sama Bapak itu. Gak nyangka dia uda gak ada, padahal selama aku main di PSMS masih sehat kali. Semoga arwahnya diterima yang maha kuasa,” kata Sakti. Semasa hidupnya, almarhum sempat berkarir di sejumlah media massa seperti majalah Ganepo, Olimpyc, Harian Waspada, Sinar Medan (kini Medan Posred), dan Harian Pelita. Bahkan almarhum sempat menulis di Kompas. Yang unik, nama Zainuddin Tamir Koto juga familiar di kancah penyair nasional. Beberapa karyanya berupa puisi dan cerita pendek memang sempat dimuat di majalah sastra Horison, serta media di Malaysia dan Brunei Darussalam. Di antara karya-karyanya adalah Mesranya Kata (kumpulan sajak, tanpa tahun) Merdunya Suara (kumpulan sajak, 1976) Bayonet (kumpulan sajak, 1985) dan Air Zam Zam (kumpulan, 19- 85). Selamat jalan Pak Zatako. Semangatmu akan kami kenang sebagai semangat kami yang akan selalu baru. (*)

HM Zainuddin Tamir Koto yang akrab dipanggil Zatako, wartawan senior yang juga penyair menghembuskan nafas terakhir di RS Adam Malik Sabtu dinihari sekitar pukul 00.30 WIB. Jenazah disemayamkan di kediamannya Jalan Letterpres Komplek Wartawan Medan, sebelum dikebumikan di pemakaman umum Jalan Jemadi kemarin sore. Zatako meninggal di usia 69 tahun.

Catatan Obituari: Syaifullah

ZATAKO dikenal sebagai wartawan olahraga yang hingga menjelang akhir hayatnya masih gesit meliput ke lapangan.

Di usiannya yang senja, Zatako masih bersemangat meliput langsung kegiatan olahraga. Terutama PSMS. Banyak cerita yang sudah dirangkainya bersama PSMS. Tak heran, sebab Zatako sudah meliput PSMS dan sepak bola nasional sejak tahun 1960-an silam. Semasa hidupnya Zatako sering bercerita kepada saya jika dia termasuk salah satu yang menyematkan nama Ayam Kinantan, sebagai julukan PSMS. Sebelumnya PSMS lebih sering disebut The Killer lantaran kerap mengalahkan tim lokal maupun tim asing di Stadion Teladan.

Namun kalau tak salah ingat, setelah jadi juara untuk kali terakhir era Perserikatan 1985 silam, PSMS punya julukan Ayam Kinantan. Masih fresh benar di ingata Zatako saat dia menceritakan asal mula nama Ayam Kinantan itu diberikan kepada PSMS. Saya nyaris lupa apa-apa saja poin yang disebutkannya. Tapi yang jelas, sesaat setelah menjuarai Kompetisi Perserikatan 1985 melawan Persib Bandung, yang dimenangkan PSMS lewat adu penalti 2-1 setelah skor di waktu normal 2-2 itu, julukan Ayam Kinantan mulai dipakai. Kalau tidak salah sekitar tahun 2009 Pak Zatako-begitu saya memanggilnya, bercerita tentang Ayam Kinantan itu. Ayam Kinantan itu merupakan ayam jago biasa yang kebetulan dimiliki seseorang di kawasan Jakarta yang bernama Kinantan. Entah siapa yang akhirnya berhasil meminta ayam itu untuk dijadikan hadiah kecil keberhasilan PSMS jadi jua- ra Perserikatan untuk kali ke lima saat itu. Ayam itu pun dibawa pulang ke Medan.

Sesampai di Medan, Ayam tersebut diarak keliling kampung bersamaan diaraknya skuad PSMS oleh Warga Medan. Seluruh isi kota saat itu bersatu merayakan kemenangan dramatis tersebut. Ironisnya, tak lama setelah merayakan keberhasilan itu dengan iring-iringan dan arakarakan skuad dan warga yang berbaur, ayam tadi akhirnya dibiarkan terkurung di Stadion Kebun Bunga. “Setelah itu ayam itu tak nampak lagi. Mungkin dicuri orang,” kata Pak Zatako saat bercerita dengan saya waktu itu. Begitulah, akhirnya nama Ayam Kinantan pun mulai digemakan. Lambat laun nama itu masih terdengar hingga saat ini. Di rumah duka, Ketua SIWO PWI Pusat, Raja Parlindungan Pane, terlihat hadir di rumah duka. Mantan PSMS seperti Nobon Kayamuddin juga tampak berduka atas musibah ini.

Menurut salah satu anak almarhum, Laksamana Mahardika, be berapa pekan belakangan kon disi fisik ayahnya memang melemah. “Bapak orangnya kuat. Sampai usianya segini dia masih tetap meliput dan pergi kesana kemari. Kelihatannya sehat-sehat saja tapi ternyata ada gangguan di ginjalnya. 14 Desember nanti usianya genap 70 tahun,” kata Mahardika. Menurut Mahardika, ayahnya memang cinta mati terhadap dunia sepak bola dan PSMS. Kalau ingin meliput PSMS, tak ada anggota keluarga yang bisa melarang. “Bapak memang sangat mencintai PSMS. Tidak ada yang bisa melarangnya jika ingin pergi meliput PSMS meski kondisi fisiknya sudah tak sekuat dulu. Bahkan menjelang wafatnya dia masih menanyakan kabar PSMS dan PS Gumarang,” kenang Dika. Ciri khas Pak Zatako memang tak akan pernah luntur dalam benak kami wartawan yang masih jauh soal pengalaman dibanding dirinya. Dengan menggunakan rompi khas dan kopiah, Pak Zatako tak akan malu meliput.

Bahkan di saat wartawan dilengkapi kamera digital, Pak Zatako masih akan bangga menggunakan kamera analog yang sering disebut tustel. Ya, hanya dengan tustel itu Pak Zatako tetap mendapat ruang paling depan ketika hendak memotret PSMS berlaga. Almarhum juga dikenal sebagai seorang yang humoris dan kerap melontarkan guyonan-guyonan khasnya dengan menyingkat sesuatu. Bahkan namanya sendiri sering disingkatnya dengan istilah Zagoan Tangan Kosong. Ya begitulah Pak Zatako. Saktiawan Sinaga, mantan pemain PSMS yang kini membela Mitra Kukar tak percaya dengan kabar meninggalnya almarhum. Sakti mengetahui kabar itu ketika melihat status Blackberry messenger saya.

“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Aku kenal kali la sama Bapak itu. Gak nyangka dia uda gak ada, padahal selama aku main di PSMS masih sehat kali. Semoga arwahnya diterima yang maha kuasa,” kata Sakti. Semasa hidupnya, almarhum sempat berkarir di sejumlah media massa seperti majalah Ganepo, Olimpyc, Harian Waspada, Sinar Medan (kini Medan Posred), dan Harian Pelita. Bahkan almarhum sempat menulis di Kompas. Yang unik, nama Zainuddin Tamir Koto juga familiar di kancah penyair nasional. Beberapa karyanya berupa puisi dan cerita pendek memang sempat dimuat di majalah sastra Horison, serta media di Malaysia dan Brunei Darussalam. Di antara karya-karyanya adalah Mesranya Kata (kumpulan sajak, tanpa tahun) Merdunya Suara (kumpulan sajak, 1976) Bayonet (kumpulan sajak, 1985) dan Air Zam Zam (kumpulan, 19- 85). Selamat jalan Pak Zatako. Semangatmu akan kami kenang sebagai semangat kami yang akan selalu baru. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/