26 C
Medan
Friday, May 31, 2024

Sungkan Numpang Terus, Ingin Beli Rumah Sendiri

Para Ahli Waris Korban Pembantaian Rawagede setelah Belanda Meminta Maaf

Pemerintah Belanda akhirnya meminta maaf secara langsung kepada warga Rawagede, Karawang, Jabar. Di depan warga yang sedang memperingati 64 tahun pembantaian masal tersebut, kemarin Dubes Belanda untuk Indonesia Tjeerd De Zwaan juga menyerahkan kompensasi EUR 180 ribu (Rp216.396.000) kepada ahli waris korban. Bagaimana tanggapan mereka?

Engkus Kusnadi, Karawang

RATUSAN warga Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Karawang, kemarin berkumpul di halaman Monumen Rawagede. Bukan hanya orang dewasa, tampak pula anak-anak dan orang tua. Di antara mereka juga terdapat beberapa janda korban kekejaman tentara Belanda tersebut.

Ya, kemarin (9/12) mereka memperingati 64 tahun pembantaian masal oleh tentara Belanda terhadap 431 pria Rawagede. Di hadapan warga, Dubes Belanda untuk Indonesia Tjeerd De Zwaan secara terbuka menyampaikan sikap pemerintahnya.

“Saya atas nama pemerintah Belanda memohon maaf atas tragedi yang terjadi pada 9 Desember 1947 di Rawagede,” katanya. Permintaan maaf tersebut dilakukan guna mematuhi putusan Pengadilan Sipil Den Haag pada 21 September 2011. Pengadilan tersebut mewajibkan pemerintah Belanda meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada sembilan korban Rawagede, delapan janda, dan seorang korban luka tembak (mereka yang mengajukan gugatan).

De Zwaan mengaku hadir di Rawagede tidak hanya mewakili Kerajaan Belanda, tapi juga didukung parlemen Belanda serta masyarakat negeri tersebut. Menurut dia, 9 Desember 1947 merupakan hari paling menyedihkan bagi warga Rawagede. “Suatu hari yang sangat menyedihkan bagi Anda semua dan sebuah contoh yang mencolok tentang bagaimana hubungan Indonesia dan Belanda pada waktu itu berjalan di arah yang keliru,” ungkapnya. Lantas, bagaimana sikap keluarga korban atas permintaan maaf tersebut? Cawi, 90, salah seorang janda korban, mengaku bisa memaafkan kekejaman tentara Belanda tersebut. “Biar yang dulu mah, yang penting mah sekarang,” katanya pelan.

Dia juga menyatakan senang atas diberikannya kompensasi uang. “Ibu berencana menggunakan uang itu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujarnya Laksmi, 90, yang juga kehilangan keluarga dalam peristiwa tersebut bersikap sama dengan Cawi. Dia berharap uang kompensasi tersebut bisa digunakan untuk membeli rumah. Sebab, selama ini, dirinya terus menumpang di rumah sanak saudara. “Saya sudah tua, tapi belum punya tempat tinggal tetap.

Rencananya uang itu saya belikan rumah dan sisanya untuk hidup seharihari,” ungkap Laksmi yang saat pembantaian terjadi sedang mengandung tujuh bulan. Peristiwa Rawagede terjadi pada 9 Desember 1947 dini hari. Ketika itu, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi, yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Karena tak menemukan yang dicari, tentara Belanda melakukan penggeledahan dan pembersihan. Seluruh pria dewasa di kampung tersebut dieksekusi hingga tanpa sisa.

Para perempuan dan anak-anak yang takut mengurung diri di dalam rumah. Mereka baru berani keluar rumah ketika tentara Belanda telah pergi. Keesokannya, ketika keluar rumah, para perempuan mendapati mayat bergelimpangan di mana-mana.

Karena sudah tidak ada kaum pria, mereka mengubur sendiri jenazah-jenazah tersebut dengan peralatan seadanya. Cawi harus mengubur jenazah suami serta dua putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Dia tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm. Untuk pemakaman secara Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, dirinya terpaksa menggunakan daun pintu dan kemudian diuruk tanah seadanya.

Alhasil, bau mayat masih tercium selama berhari-hari. “Semua laki-laki di desa ini mati dibantai Belanda. Tinggal ibu-ibu aja yang menguburkan,” ungkap Cawi kepada Pasundan Ekspres (Sumut Pos Group) kemarin. Dia juga menceritakan ketika tentara Belanda mengeksekusi para pria Rawagede. Menurut dia, saat itu, seluruh pria diminta keluar rumah, kemudian dikumpulkan di tempat lapang. “Semua laki-laki diperintah untuk berdiri berjejer. Terus, mereka ditanya keberadaan para pejuang.

Tapi, tidak seorang pun penduduk yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut,” ungkapnya. Karena tak ada yang mengaku, akhirnya bedil yang bicara. Ratusan pria itu pun tumbang satu demi satu bersimbah darah. Untuk mengenang peristiwa tersebut, setiap tahun warga Rawagede memperingati dengan beberapa kegiatan. Mulai renungan hingga membersihkan makam para korban. Ketua Umum Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia Batara Hutagalung mengungkapkan, permintaan maaf pemerintah Belanda tersebut merupakan sebuah permintaan maaf setengah hati. Sebab, di antara sekitar 76 kejahatan perang yang dilakukan tentara Belanda, baru satu kasus saja yang diselesaikan, yakni kasus Rawagede.

“Masih banyak kasus kejahatan perang yang dilakukan Belanda,” tegasnya. Yang juga membuat berang, hingga detik ini Belanda tidak mengakui secara de jure kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Menurut Belanda, Indonesia baru merdeka pada 27 Desember 1949. Padahal, pada tanggal tersebut terbentuk Negara Republik Indonesia Serikat. (*)

Para Ahli Waris Korban Pembantaian Rawagede setelah Belanda Meminta Maaf

Pemerintah Belanda akhirnya meminta maaf secara langsung kepada warga Rawagede, Karawang, Jabar. Di depan warga yang sedang memperingati 64 tahun pembantaian masal tersebut, kemarin Dubes Belanda untuk Indonesia Tjeerd De Zwaan juga menyerahkan kompensasi EUR 180 ribu (Rp216.396.000) kepada ahli waris korban. Bagaimana tanggapan mereka?

Engkus Kusnadi, Karawang

RATUSAN warga Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Karawang, kemarin berkumpul di halaman Monumen Rawagede. Bukan hanya orang dewasa, tampak pula anak-anak dan orang tua. Di antara mereka juga terdapat beberapa janda korban kekejaman tentara Belanda tersebut.

Ya, kemarin (9/12) mereka memperingati 64 tahun pembantaian masal oleh tentara Belanda terhadap 431 pria Rawagede. Di hadapan warga, Dubes Belanda untuk Indonesia Tjeerd De Zwaan secara terbuka menyampaikan sikap pemerintahnya.

“Saya atas nama pemerintah Belanda memohon maaf atas tragedi yang terjadi pada 9 Desember 1947 di Rawagede,” katanya. Permintaan maaf tersebut dilakukan guna mematuhi putusan Pengadilan Sipil Den Haag pada 21 September 2011. Pengadilan tersebut mewajibkan pemerintah Belanda meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada sembilan korban Rawagede, delapan janda, dan seorang korban luka tembak (mereka yang mengajukan gugatan).

De Zwaan mengaku hadir di Rawagede tidak hanya mewakili Kerajaan Belanda, tapi juga didukung parlemen Belanda serta masyarakat negeri tersebut. Menurut dia, 9 Desember 1947 merupakan hari paling menyedihkan bagi warga Rawagede. “Suatu hari yang sangat menyedihkan bagi Anda semua dan sebuah contoh yang mencolok tentang bagaimana hubungan Indonesia dan Belanda pada waktu itu berjalan di arah yang keliru,” ungkapnya. Lantas, bagaimana sikap keluarga korban atas permintaan maaf tersebut? Cawi, 90, salah seorang janda korban, mengaku bisa memaafkan kekejaman tentara Belanda tersebut. “Biar yang dulu mah, yang penting mah sekarang,” katanya pelan.

Dia juga menyatakan senang atas diberikannya kompensasi uang. “Ibu berencana menggunakan uang itu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujarnya Laksmi, 90, yang juga kehilangan keluarga dalam peristiwa tersebut bersikap sama dengan Cawi. Dia berharap uang kompensasi tersebut bisa digunakan untuk membeli rumah. Sebab, selama ini, dirinya terus menumpang di rumah sanak saudara. “Saya sudah tua, tapi belum punya tempat tinggal tetap.

Rencananya uang itu saya belikan rumah dan sisanya untuk hidup seharihari,” ungkap Laksmi yang saat pembantaian terjadi sedang mengandung tujuh bulan. Peristiwa Rawagede terjadi pada 9 Desember 1947 dini hari. Ketika itu, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi, yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Karena tak menemukan yang dicari, tentara Belanda melakukan penggeledahan dan pembersihan. Seluruh pria dewasa di kampung tersebut dieksekusi hingga tanpa sisa.

Para perempuan dan anak-anak yang takut mengurung diri di dalam rumah. Mereka baru berani keluar rumah ketika tentara Belanda telah pergi. Keesokannya, ketika keluar rumah, para perempuan mendapati mayat bergelimpangan di mana-mana.

Karena sudah tidak ada kaum pria, mereka mengubur sendiri jenazah-jenazah tersebut dengan peralatan seadanya. Cawi harus mengubur jenazah suami serta dua putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Dia tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm. Untuk pemakaman secara Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, dirinya terpaksa menggunakan daun pintu dan kemudian diuruk tanah seadanya.

Alhasil, bau mayat masih tercium selama berhari-hari. “Semua laki-laki di desa ini mati dibantai Belanda. Tinggal ibu-ibu aja yang menguburkan,” ungkap Cawi kepada Pasundan Ekspres (Sumut Pos Group) kemarin. Dia juga menceritakan ketika tentara Belanda mengeksekusi para pria Rawagede. Menurut dia, saat itu, seluruh pria diminta keluar rumah, kemudian dikumpulkan di tempat lapang. “Semua laki-laki diperintah untuk berdiri berjejer. Terus, mereka ditanya keberadaan para pejuang.

Tapi, tidak seorang pun penduduk yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut,” ungkapnya. Karena tak ada yang mengaku, akhirnya bedil yang bicara. Ratusan pria itu pun tumbang satu demi satu bersimbah darah. Untuk mengenang peristiwa tersebut, setiap tahun warga Rawagede memperingati dengan beberapa kegiatan. Mulai renungan hingga membersihkan makam para korban. Ketua Umum Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia Batara Hutagalung mengungkapkan, permintaan maaf pemerintah Belanda tersebut merupakan sebuah permintaan maaf setengah hati. Sebab, di antara sekitar 76 kejahatan perang yang dilakukan tentara Belanda, baru satu kasus saja yang diselesaikan, yakni kasus Rawagede.

“Masih banyak kasus kejahatan perang yang dilakukan Belanda,” tegasnya. Yang juga membuat berang, hingga detik ini Belanda tidak mengakui secara de jure kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Menurut Belanda, Indonesia baru merdeka pada 27 Desember 1949. Padahal, pada tanggal tersebut terbentuk Negara Republik Indonesia Serikat. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/