Berawal dari perselisihan kecil dua bocah berusia 12 tahun, Fahmi dan Rinto, terlibat dalam perkelahian. Wajar. Ya, semacam masa kecil manusia kebanyakan, perkelahian yang mengakibatkan luka atau memar. Wajar.
Menariknya, soal perselisihan Fahmi dan Rinto tidak sekadar selesai di situ. Dendam anak muda yang biasanya berakhir pada kata maaf hingga menjadi sahabat pupus. Fahmi malah menjadi tersangka. Warga Jalan Panglima Denai Gang Seser Medan Amplas ini dilaporkan karena dianggap telah menganiaya Rinto. Adakah hal ini wajar?
Terlepas siapa yang salah atau siapa yang benar, masalah ini sepatutnya menjadi perhatian khusus. Perkelahian anak di bawah umur, apa lagi masih dua belas tahun, tentu bukan kasus kriminal yang harus diselesaikan polisi. Memang, ayah Rinto adalah oknum polisi, namun hal itu sejatinya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Malah, tidak perlu turut campur orangtua. Biarkan anak menyelesaikan masalahnya. Nanti, ketika sang anak memang sudah tidak bisa lagi diatur hingga terus-terusan melakukan tindak kriminal, baru hukum yang berbicara.
Lucunya, untuk kasus Fahmi, orangtua Rinto malah ikut-ikutan. Tidak sekadar memarahi, main tangan pun dilakukan. Dengan kata lain, Fahmi langsung dihukum oleh keluarga Rinto. Tidak itu saja, setelah keluarga Fahmi mengadu ke polisi, keluarga Rinto malah balik mengadu. Ujung-ujungnya, Fahmi yang tersangka.
Berkelahi bukanlah hal yang mengerikan bagi seorang anak bukan? Adalah wajar seorang anak lelaki menunjukkan kegagahannya, ini adalah sebuah proses pendewasaan. Sejatinya, untuk tindakan semacam ini cukup dibina pihak keluarga saja. Negara ini sudah memiliki cukup banyak masalah pelik, mengapa harus mengurusi sebuah kebiasaan yang sejatinya tidak memiliki risiko besar.
Begitulah, orangtua Fahmi dan Rinto seperti angan lalu paham tertumbuk: hemat pikiran dapat dilakukan, namun ketika pelaksanaannya ternyata tidak mudah, sehingga kehilangan akal. Ya, hilang akal karena begitu sayang pada anak hingga tak berpikir soal perkembangan anak itu sendiri. Dengan kata lain, sesuatu yang sejatinya bisa diselesaikan dengan sederhana, ternyata kalah dengan emosi yang mematikan logika.
Terlepas dari itu, harus diakui, selain keluarga, tumbuh kembang anak sejak dini adalah tanggung jawab masyarakat dan negara. Karena itulah ditetapkan sebuah undang-undang yang mengurusi itu. Ya, untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu: UU No 23 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, sehat, cerdas, berahlak mulia dan sejahtera.
Yang menjadi perhatian adalah ketika semua perkelahian anak berujung pada hukum, apakah masih muat kantor polisi untuk mereka yang bertikai. Ya, ketika berkelahi saja langsung dipenjara, ada berapa anak yang berkelahi dalam sehari di Indonesia ini?
Begitulah, terlalu sadar hukum juga bisa menjadi masalah. Atas nama hukum, kebiasaan masa kanak-kanak pun bisa diselewengkan. Adakah yang dapat memastikan kalau Fahmi dan Rinto itu sudah sadar hukum?
Kejadian yang sederhana tapi diselesaikan dengan tidak sederhana ini tampaknya bisa menjadi pelajaran berharga. Setidaknya, khalayak dapat me maknai sadar hukum yang sebenarnya diinginkan, bukan sekadar untuk menyerang atau merugikan pihak lain demi keuntungan pribadi. Sportif seperti masa anak-anak; berkelahi, kalah, menangis, selesai; berkelahi, menang, tertawa, selesai. Itu saja. (*)