26 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Katya, adalah Tentang Pagar

Cerpen Restu Ashari Putra

1992, Cerita-cerita di depan pagar, sebelum petang menjelang.

Demi menghargai perasaan cinta yang semakin bunga bermekaran, aku rela mendengarkanmu. Di suatu sore di depan pagar. Mengapa kamu begitu percaya padaku, Katya. Apa pun yang kamu ceritakan, aku rela mendengarkanmu.

Tentang luka-lukamu. Tentang kemuakan-kemuakanmu. Tentang apa yang kamu anggap omong kosong. Betapa menyenangkan mendengarkan cerita-ceritamu.

Semisal saat kamu menanyakan padaku, mengapa kita harus mengikuti aturan-aturan, sedang sejak lahir kita bebas menangis dan tertawa. Atau saat kamu dengan girangnya menceritakan padaku bagaimana cara-cara ayahmu mengkhianati pimpinannya, bawahannya, sahabat-sahabatnya, orang-orang kepercayaannya di kantor dinas tempat ayahmu mengabdi dan bekerja. Juga ibumu.

Kamu belum tahu politik, Katya! kata-kata itu yang selalu terngiang di telingamu, bukan? Lalu lagi-lagi kamu menceritakan segala lukalukamu di rumah, di kamar, di ruang makan, di dapur, di halaman belakang, di garasi. Luka ketika tiba-tiba belakangan ini ayahmu kerap marah-marah tanpa alasan yang jelas. Dan aku semakin harus menyiapkan telinga untuk mendengar semua itu. Di suatu sore di depan pagar rumahmu. Sebelum petang menjelang.

Bukankah kita memiliki banyak tempat?

****

“Antonio, apa alasanmu mencintaiku?” “Aku tak pernah punya alasan.” “Berarti kamu tak punya tujuan.” “Apa salahnya.” “Sepertinya kamu lebih senang terombangambing di lautan.” “Bukankah itu menarik?” “Berarti kita berbeda.” “Bukankah itu menarik?” “Aku tidak suka.” “Kamu berharap kita sama?” “Ya.” “Sosialis!” “Ah, masa iya?” Satu minggu. Dua minggu. Satu bulan. Setengah tahun. Aku mencintainya. Dan ia mencintaiku. Lalu apa perlu mencintai dengan teori-teori, dengan alasan-alasan? Tanpa teori-teori pun perasaan-perasaan kita sudah kadung mencintai. Apa perlu kita mengurekurek Marx, Hegel atau Kant demi perasaanmu kepadaku. O Katya, sudahlah, kita lupakan alasan-alasan. Aku sudah cukup nyaman bersamamu. Dan kamu pun begitu tentunya.

Bedakanlah pengalaman-pengalaman lukamu, kemuakanmu dengan perasaan mencintaiku, Katya. Cukuplah teori-teori yang kamu dapatkan itu hanya untuk menghadapi ayahmu.

Kenyataanmu. Bukan aku.

“Bukankah dengan teori kita bisa tahu benar tidaknya pengalaman?” Katamu suatu waktu di depan pagar, pada pertemuan keseribuduapuluh.

“Pengalaman-pengalaman tidak mencari pembenaran, Katya. Pengalaman hanyalah pembebasan dari dirimu sendiri. Seperti deretan pagar ini,” Aku tiba-tiba menyaksikkan jajaran jeruji pagar yang tinggi-tinggi ini seperti menyimak pembicaraanku yang bertahan limabelas menit berdiri di depan pagar rumahnya. Pagar- pagar tinggi dengan ukiran bagai arca candi-candi. Aku percaya orang-orang tak mungkin tahu ada sepasang kekasih yang sedang asik berbicara di antara deretan pagar yang jangan aku, rumah tinggal sebesar istana ini pun aku berani bertaruh orang-orang tak akan tahu seperti apa bentuknya.

“Deretan pagar? Apa Maksudmu?”

****

1993, Surat-surat yang terselip di jeruji pagar.

Dan alasan mengapa kita saling mencintai tak pernah ada. Hanya suratsurat.

Aku hanya menjalani hari-hari bersamamu. Di taman. Di rumah. Di pusat perbelanjaan. Di perpustakaan. Kedai kopi. Trotoar. Jembatan penyeberangan. Kamar tidur. Ranjang. Sampai semuanya berakhir dengan ketiadaan.

Padahal aku hanya percaya pada yang “ada”.

Namun semua itu ternyata omong kosong belaka. Tak ada lagi deretan pagar. Tak ada lagi kebersamaan. Tak ada lagi dia. Katya. Aku kehilangannya.

Aku meyakini ketiadaan. Tapi sungguh, dengan amat terpaksa. Ada apa gerangan dengannya. Apakah ayahnya kini telah memingitnya dariku. Atau mengungsikannya ke negeri lain. Atau, membunuhnya? Antonio, kamu berjalanlah menuju rumahku.

Maka kamu akan menemukan aku ada.

Kali ini percayalah akan keberadaanku walau di sana kamu akan menemukan ketiadaan.

Tapi, kamu tahu kan, jeruji-jeruji pagar itu.

Ukiran-ukiran pagar yang pernah kamu ceritakan itu. Bagai arca candi-candi. Mungkin menceritakan kita. Ah, tapi tidak mungkin.

Ayah sangat membenci kita, tepatnya, pikiran- pikiran kita, perasaan-perasaan yang tumbuh di hati kita. Aneh ya, ia juga seperti kamu. Hampir mempercayai ketiadaan. Tapi ya begitulah. Sudah saatnya kita tak selalu berpikir pada materi. Lalu secarik surat yang kali ini akan selalu terselip di sela-selanya, saat matahari tenggelam, percayalah bahwa aku ada. Menjauhlah dari teriakan ayah.

Oh, aku membaca lagi surat-surat yang terselip di sela pagar rumahnya. Surat yang kesembilanpuluhtujuh.

Ia menceritakan luka-lukanya lagi, kemuakan-kemuakannya, sebagaimana ia bercerita padaku di depan pagar, berhadap-hadapan, sebelum petang menjelang. Padahal, selama sembilanpuluhtujuh kali aku membaca isi surat yang sama.

Maksudku, ia selalu membuka ceritanya dengan kalimat pembuka yang sama seperti di atas. Seakan ingin meyakinkanku bahwa ia ada dan akan selalu aku temui, meskipun dalam surat-suratnya, meskipun aku tak pernah membalasnya. Tepatnya ia melarangku membalasnya. Aku hanya dipaksa rela membaca dan menyimak kisah-kisahnya. Bahkan untuk sekedar ingin tahu mengapa aku tak boleh menemuinya pun ia melarangku. Bayangkan, betapa menyakitkannya bukan? Pernah aku ingin nekat masuk ke dalam rumahnya yang besar itu namun sehari sebelum rencanaku berjalan, surat yang terselip di sela pagar rumahnya seakan tahu isi kepalaku.

Antonio, kalau kamu percaya aku ada, bertahanlah! Surat yang teramat singkat dari sekian surat-surat yang pernah ia buat. Surat ketujuhpuluhlima. Sial!.

1993, Surat-surat di penghujung tahun.

Aku hampir mual hanya berurusan dengan surat-surat ini. aku butuh sesuatu yang riil.

Bukankah hidup ini tindakan nyata. Bukan sebatas teori atau cerita-cerita. Bukankah itu yang selama ini kupelajari dan mantap kuyakini.

Tiada sesuatu selain yang kuanggap nyata dipandang mata. Keadilan, kebenaran, penindasan, penderitaan adalah manifestasi dari kenyataan. Kenyataan! Lalu kali ini, surat kesembilanpuluh delapan.

Oh please, aku hampir gila! Antonio, maukah kamu menjawab pertanyaanku? Kali ini aku memperkenankanmu untuk membalas suratku, dan aku akan menunggumu untuk membalasnya. Selipkan saja pada deretan pagar rumahku.

Masih mendekam dalam ingatanku filosofi pagar yang pernah kamu utarakan padaku saat itu, satu tahun lalu, saat kita bicara alasan dan teori mengapa kita saling mencintaimu dan kamu menafikannya. Tapi sungguh aku belum memahaminya sampai saat ini. mengapa kamu menganalogikan begitu? Aku menunggumu Antonio, kekasihku.

****

Kamarku berantakan. Dengan sungguhsungguh aku menuliskan surat balasan untuknya.

Baru kali ini aku diberi kesempatan menulis surat untuknya. Maka bagai seorang penyair yang sedang kalap aku menulis sebuah surat dengan perasaan seperti menyala.

Gairahku terbakar. Seisi kamar ikut terbakar.

Isi kepalaku muntah. Dan pada kertas keduapuluh aku bisa benar-benar menyelesaikan surat untuknya. Setelah kertas-kertas sebelumnya berakhir di keranjang sampah.

Perutku mual. Mataku mau pecah. Sebab seharian ini nyaris lambungku tak terisi apa-apa kecuali seteguk kopi yang hingga detik mala mini mulai dingin. Aku seperti kerasukan nyawa Shakespeare. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku benar-benar ingin melampiaskan segalanya. Aku ingin kenyataan.

Pagar rumahnya sudah dekat. Jalanan sepi.

Aku seperti dikepung kastil-kastil tua. Rumah- rumah yang kulewati di komplek ini menyalakkan matanya kepadaku. Aku memang sudah terbiasa melewati jalanan sesepi ini menuju rumah Katya. Tapi tak pernah sedingin ini. apa sebenarnya yang dilakukan penghuni rumah malam-malam begini hingga suara seriuh pun tak kudengar sama sekali.

Dan di depan mataku itu. pagar rumah Katya. Bagai ukiran arca candi-candi. Apakah aku harus masuk ke rumahnya. Lewat jendela kamar mungkin, seperti lelaki muda yang tengah jatuh cinta lalu menjemput kekasih hatinya untuk dibawa lari. Tapi, tunggu, tunggu! Kenapa ada secarik surat lagi di sela pagar rumahnya. Bukankah ia katakan hanya ingin menunggu balasan dariku? Antonio, kamu sudah menulis surat balasan untukku kan? Aku yakin itu. Tapi maaf, kamu tidak akan pernah bertemu aku lagi. Dan yang kamu kunjungi saat ini juga bukanlah aku.

Biarlah aku yang akan mengunjungimu selalu.

Kamu sudah mempercayai ketiadaan, bukan. Apa-apa yang kamu yakini, seperti surat ini, percayalah aku ada. Ayo, sudahlah, memang benar kita tak perlu banyak berteori untuk urusan perasaan. Aku mencintaimu.

Titik. Itu saja.

Makin mual aku dengan surat-surat ini! Lalu kutatap surat balasan yang kubuat. Tak ada artinya. Surat itu kuremas. Kulempar jauhjauh dan entah jatuh di mana. Apa maksud semua ini. Apa maksudmu, Katya.

Malam semakin gelap. Gelap. Gelap. Komplek ini seperti kuburan. Sangat gelap. Dan sepi. Dengan segera aku pulang bersama amuk amarahku. Meninggalkan rumah itu, juga pagar di situ. Katya seperti telah mempermainkanku.

Kenyataannya membuatku gila. Persetan aku dengan ketiadaan. Ia memang benar-benar tiada.

Tiba di kamar. Kubakar semua surat-suratnya.

Habis. Hangus. Menjadi arang. Menjadi abu. Dan tak kan pernah kulihat lagi wajahnya.

Surat-suratnya. Tiada. Semua hangus terbakar.

Seperti pagar, Katya. Kamu harus punya prinsip kuat seperti pagar, yang bisa melindungi rumah melebihi pagar itu sendiri. Kita nyaman karenanya. Pagar yang kokoh meskipun hanya bilahan bambu terpotongterpotong dan diikat serabut. Oia Katya, aku prihatin membaca luka-lukamu, kemuakannmu.

Kalau kehidupanmu memang nyata, surat-surat yang kau kirimkan padaku ini akan kujadikan bukti untuk menolongmu Katya.

Juga tentang ayahmu.

—Antonio, kekasihmu

****

1994, di depan pagar, setelah surat-surat.

“Katya! Katya! Ayo kita berangkat sebelum ketinggalan pesawat. Cepat kemasi barang-barangmu. Celaka kalau kita terlambat, mereka akan menangkap kita!” Dari pintu garasi Ayah memanggilku sambil menyeret-nyeret koper ke bagasi mobil.

Aku melihat wajah ketakutannya, menyaksikan kebusukan-kebusukannya. Kita tidak akan ke mana-mana, Ayah. Kita tetap akan di sini, bersama kenyataan.

Biarkan saja gerimis mengguyurku sampai kuyup, asal jangan surat-surat ini. Aku membayangkan wajahnya. Antonio. Mengapa kamu tak pernah datang. Aku menunggu jawaban-jawabanmu. Apa kamu tidak melihat surat-suratku, hah? Haha, mengapa aku begitu bodohnya. Aku sudah menghitungnya sampai tiga kali, tidak ada yang kurang. Surat-suratku masih lengkap. Masih sembilanpuluhsembilan.

Oh salah, ini ada surat yang keseratus.

Keseratus? Loh, bukankah sudah kubuang jauh-jauh entah ke mana.

Bulir-bulir gerimis menimpaku terus-menerus.

Semakin kencang. Menembakiku.

Menjadi hujan. Dengan tergopoh-gopoh aku menuju pintu rumah. Meninggalkan pagar. Dan, oh tidak! surat-suratku tercecer, terlepas dari tangan. Termasuk surat yang keseratus. Aku tak bisa menyelamatkannya.

Ia terlanjur kuyup tertimpa air langit.

Kata-kata di dalamnya luntur, merembes ke tanah. Mengapa kamu tidak datang, Antonio, mengambil surat-suratku? Atau kamu memang benar-benar tidak ada? Aku berlari. Terus berlari. Menembus hujan.

Menembus ketiadaan.(*) Restu Ashari Putra. Lahir di Jakarta, 31 Desember 1985. Alumnus (S-1) Fakultas Dakwah&Komunikasi, UIN SGD Bandung.

Cerpen Restu Ashari Putra

1992, Cerita-cerita di depan pagar, sebelum petang menjelang.

Demi menghargai perasaan cinta yang semakin bunga bermekaran, aku rela mendengarkanmu. Di suatu sore di depan pagar. Mengapa kamu begitu percaya padaku, Katya. Apa pun yang kamu ceritakan, aku rela mendengarkanmu.

Tentang luka-lukamu. Tentang kemuakan-kemuakanmu. Tentang apa yang kamu anggap omong kosong. Betapa menyenangkan mendengarkan cerita-ceritamu.

Semisal saat kamu menanyakan padaku, mengapa kita harus mengikuti aturan-aturan, sedang sejak lahir kita bebas menangis dan tertawa. Atau saat kamu dengan girangnya menceritakan padaku bagaimana cara-cara ayahmu mengkhianati pimpinannya, bawahannya, sahabat-sahabatnya, orang-orang kepercayaannya di kantor dinas tempat ayahmu mengabdi dan bekerja. Juga ibumu.

Kamu belum tahu politik, Katya! kata-kata itu yang selalu terngiang di telingamu, bukan? Lalu lagi-lagi kamu menceritakan segala lukalukamu di rumah, di kamar, di ruang makan, di dapur, di halaman belakang, di garasi. Luka ketika tiba-tiba belakangan ini ayahmu kerap marah-marah tanpa alasan yang jelas. Dan aku semakin harus menyiapkan telinga untuk mendengar semua itu. Di suatu sore di depan pagar rumahmu. Sebelum petang menjelang.

Bukankah kita memiliki banyak tempat?

****

“Antonio, apa alasanmu mencintaiku?” “Aku tak pernah punya alasan.” “Berarti kamu tak punya tujuan.” “Apa salahnya.” “Sepertinya kamu lebih senang terombangambing di lautan.” “Bukankah itu menarik?” “Berarti kita berbeda.” “Bukankah itu menarik?” “Aku tidak suka.” “Kamu berharap kita sama?” “Ya.” “Sosialis!” “Ah, masa iya?” Satu minggu. Dua minggu. Satu bulan. Setengah tahun. Aku mencintainya. Dan ia mencintaiku. Lalu apa perlu mencintai dengan teori-teori, dengan alasan-alasan? Tanpa teori-teori pun perasaan-perasaan kita sudah kadung mencintai. Apa perlu kita mengurekurek Marx, Hegel atau Kant demi perasaanmu kepadaku. O Katya, sudahlah, kita lupakan alasan-alasan. Aku sudah cukup nyaman bersamamu. Dan kamu pun begitu tentunya.

Bedakanlah pengalaman-pengalaman lukamu, kemuakanmu dengan perasaan mencintaiku, Katya. Cukuplah teori-teori yang kamu dapatkan itu hanya untuk menghadapi ayahmu.

Kenyataanmu. Bukan aku.

“Bukankah dengan teori kita bisa tahu benar tidaknya pengalaman?” Katamu suatu waktu di depan pagar, pada pertemuan keseribuduapuluh.

“Pengalaman-pengalaman tidak mencari pembenaran, Katya. Pengalaman hanyalah pembebasan dari dirimu sendiri. Seperti deretan pagar ini,” Aku tiba-tiba menyaksikkan jajaran jeruji pagar yang tinggi-tinggi ini seperti menyimak pembicaraanku yang bertahan limabelas menit berdiri di depan pagar rumahnya. Pagar- pagar tinggi dengan ukiran bagai arca candi-candi. Aku percaya orang-orang tak mungkin tahu ada sepasang kekasih yang sedang asik berbicara di antara deretan pagar yang jangan aku, rumah tinggal sebesar istana ini pun aku berani bertaruh orang-orang tak akan tahu seperti apa bentuknya.

“Deretan pagar? Apa Maksudmu?”

****

1993, Surat-surat yang terselip di jeruji pagar.

Dan alasan mengapa kita saling mencintai tak pernah ada. Hanya suratsurat.

Aku hanya menjalani hari-hari bersamamu. Di taman. Di rumah. Di pusat perbelanjaan. Di perpustakaan. Kedai kopi. Trotoar. Jembatan penyeberangan. Kamar tidur. Ranjang. Sampai semuanya berakhir dengan ketiadaan.

Padahal aku hanya percaya pada yang “ada”.

Namun semua itu ternyata omong kosong belaka. Tak ada lagi deretan pagar. Tak ada lagi kebersamaan. Tak ada lagi dia. Katya. Aku kehilangannya.

Aku meyakini ketiadaan. Tapi sungguh, dengan amat terpaksa. Ada apa gerangan dengannya. Apakah ayahnya kini telah memingitnya dariku. Atau mengungsikannya ke negeri lain. Atau, membunuhnya? Antonio, kamu berjalanlah menuju rumahku.

Maka kamu akan menemukan aku ada.

Kali ini percayalah akan keberadaanku walau di sana kamu akan menemukan ketiadaan.

Tapi, kamu tahu kan, jeruji-jeruji pagar itu.

Ukiran-ukiran pagar yang pernah kamu ceritakan itu. Bagai arca candi-candi. Mungkin menceritakan kita. Ah, tapi tidak mungkin.

Ayah sangat membenci kita, tepatnya, pikiran- pikiran kita, perasaan-perasaan yang tumbuh di hati kita. Aneh ya, ia juga seperti kamu. Hampir mempercayai ketiadaan. Tapi ya begitulah. Sudah saatnya kita tak selalu berpikir pada materi. Lalu secarik surat yang kali ini akan selalu terselip di sela-selanya, saat matahari tenggelam, percayalah bahwa aku ada. Menjauhlah dari teriakan ayah.

Oh, aku membaca lagi surat-surat yang terselip di sela pagar rumahnya. Surat yang kesembilanpuluhtujuh.

Ia menceritakan luka-lukanya lagi, kemuakan-kemuakannya, sebagaimana ia bercerita padaku di depan pagar, berhadap-hadapan, sebelum petang menjelang. Padahal, selama sembilanpuluhtujuh kali aku membaca isi surat yang sama.

Maksudku, ia selalu membuka ceritanya dengan kalimat pembuka yang sama seperti di atas. Seakan ingin meyakinkanku bahwa ia ada dan akan selalu aku temui, meskipun dalam surat-suratnya, meskipun aku tak pernah membalasnya. Tepatnya ia melarangku membalasnya. Aku hanya dipaksa rela membaca dan menyimak kisah-kisahnya. Bahkan untuk sekedar ingin tahu mengapa aku tak boleh menemuinya pun ia melarangku. Bayangkan, betapa menyakitkannya bukan? Pernah aku ingin nekat masuk ke dalam rumahnya yang besar itu namun sehari sebelum rencanaku berjalan, surat yang terselip di sela pagar rumahnya seakan tahu isi kepalaku.

Antonio, kalau kamu percaya aku ada, bertahanlah! Surat yang teramat singkat dari sekian surat-surat yang pernah ia buat. Surat ketujuhpuluhlima. Sial!.

1993, Surat-surat di penghujung tahun.

Aku hampir mual hanya berurusan dengan surat-surat ini. aku butuh sesuatu yang riil.

Bukankah hidup ini tindakan nyata. Bukan sebatas teori atau cerita-cerita. Bukankah itu yang selama ini kupelajari dan mantap kuyakini.

Tiada sesuatu selain yang kuanggap nyata dipandang mata. Keadilan, kebenaran, penindasan, penderitaan adalah manifestasi dari kenyataan. Kenyataan! Lalu kali ini, surat kesembilanpuluh delapan.

Oh please, aku hampir gila! Antonio, maukah kamu menjawab pertanyaanku? Kali ini aku memperkenankanmu untuk membalas suratku, dan aku akan menunggumu untuk membalasnya. Selipkan saja pada deretan pagar rumahku.

Masih mendekam dalam ingatanku filosofi pagar yang pernah kamu utarakan padaku saat itu, satu tahun lalu, saat kita bicara alasan dan teori mengapa kita saling mencintaimu dan kamu menafikannya. Tapi sungguh aku belum memahaminya sampai saat ini. mengapa kamu menganalogikan begitu? Aku menunggumu Antonio, kekasihku.

****

Kamarku berantakan. Dengan sungguhsungguh aku menuliskan surat balasan untuknya.

Baru kali ini aku diberi kesempatan menulis surat untuknya. Maka bagai seorang penyair yang sedang kalap aku menulis sebuah surat dengan perasaan seperti menyala.

Gairahku terbakar. Seisi kamar ikut terbakar.

Isi kepalaku muntah. Dan pada kertas keduapuluh aku bisa benar-benar menyelesaikan surat untuknya. Setelah kertas-kertas sebelumnya berakhir di keranjang sampah.

Perutku mual. Mataku mau pecah. Sebab seharian ini nyaris lambungku tak terisi apa-apa kecuali seteguk kopi yang hingga detik mala mini mulai dingin. Aku seperti kerasukan nyawa Shakespeare. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku benar-benar ingin melampiaskan segalanya. Aku ingin kenyataan.

Pagar rumahnya sudah dekat. Jalanan sepi.

Aku seperti dikepung kastil-kastil tua. Rumah- rumah yang kulewati di komplek ini menyalakkan matanya kepadaku. Aku memang sudah terbiasa melewati jalanan sesepi ini menuju rumah Katya. Tapi tak pernah sedingin ini. apa sebenarnya yang dilakukan penghuni rumah malam-malam begini hingga suara seriuh pun tak kudengar sama sekali.

Dan di depan mataku itu. pagar rumah Katya. Bagai ukiran arca candi-candi. Apakah aku harus masuk ke rumahnya. Lewat jendela kamar mungkin, seperti lelaki muda yang tengah jatuh cinta lalu menjemput kekasih hatinya untuk dibawa lari. Tapi, tunggu, tunggu! Kenapa ada secarik surat lagi di sela pagar rumahnya. Bukankah ia katakan hanya ingin menunggu balasan dariku? Antonio, kamu sudah menulis surat balasan untukku kan? Aku yakin itu. Tapi maaf, kamu tidak akan pernah bertemu aku lagi. Dan yang kamu kunjungi saat ini juga bukanlah aku.

Biarlah aku yang akan mengunjungimu selalu.

Kamu sudah mempercayai ketiadaan, bukan. Apa-apa yang kamu yakini, seperti surat ini, percayalah aku ada. Ayo, sudahlah, memang benar kita tak perlu banyak berteori untuk urusan perasaan. Aku mencintaimu.

Titik. Itu saja.

Makin mual aku dengan surat-surat ini! Lalu kutatap surat balasan yang kubuat. Tak ada artinya. Surat itu kuremas. Kulempar jauhjauh dan entah jatuh di mana. Apa maksud semua ini. Apa maksudmu, Katya.

Malam semakin gelap. Gelap. Gelap. Komplek ini seperti kuburan. Sangat gelap. Dan sepi. Dengan segera aku pulang bersama amuk amarahku. Meninggalkan rumah itu, juga pagar di situ. Katya seperti telah mempermainkanku.

Kenyataannya membuatku gila. Persetan aku dengan ketiadaan. Ia memang benar-benar tiada.

Tiba di kamar. Kubakar semua surat-suratnya.

Habis. Hangus. Menjadi arang. Menjadi abu. Dan tak kan pernah kulihat lagi wajahnya.

Surat-suratnya. Tiada. Semua hangus terbakar.

Seperti pagar, Katya. Kamu harus punya prinsip kuat seperti pagar, yang bisa melindungi rumah melebihi pagar itu sendiri. Kita nyaman karenanya. Pagar yang kokoh meskipun hanya bilahan bambu terpotongterpotong dan diikat serabut. Oia Katya, aku prihatin membaca luka-lukamu, kemuakannmu.

Kalau kehidupanmu memang nyata, surat-surat yang kau kirimkan padaku ini akan kujadikan bukti untuk menolongmu Katya.

Juga tentang ayahmu.

—Antonio, kekasihmu

****

1994, di depan pagar, setelah surat-surat.

“Katya! Katya! Ayo kita berangkat sebelum ketinggalan pesawat. Cepat kemasi barang-barangmu. Celaka kalau kita terlambat, mereka akan menangkap kita!” Dari pintu garasi Ayah memanggilku sambil menyeret-nyeret koper ke bagasi mobil.

Aku melihat wajah ketakutannya, menyaksikan kebusukan-kebusukannya. Kita tidak akan ke mana-mana, Ayah. Kita tetap akan di sini, bersama kenyataan.

Biarkan saja gerimis mengguyurku sampai kuyup, asal jangan surat-surat ini. Aku membayangkan wajahnya. Antonio. Mengapa kamu tak pernah datang. Aku menunggu jawaban-jawabanmu. Apa kamu tidak melihat surat-suratku, hah? Haha, mengapa aku begitu bodohnya. Aku sudah menghitungnya sampai tiga kali, tidak ada yang kurang. Surat-suratku masih lengkap. Masih sembilanpuluhsembilan.

Oh salah, ini ada surat yang keseratus.

Keseratus? Loh, bukankah sudah kubuang jauh-jauh entah ke mana.

Bulir-bulir gerimis menimpaku terus-menerus.

Semakin kencang. Menembakiku.

Menjadi hujan. Dengan tergopoh-gopoh aku menuju pintu rumah. Meninggalkan pagar. Dan, oh tidak! surat-suratku tercecer, terlepas dari tangan. Termasuk surat yang keseratus. Aku tak bisa menyelamatkannya.

Ia terlanjur kuyup tertimpa air langit.

Kata-kata di dalamnya luntur, merembes ke tanah. Mengapa kamu tidak datang, Antonio, mengambil surat-suratku? Atau kamu memang benar-benar tidak ada? Aku berlari. Terus berlari. Menembus hujan.

Menembus ketiadaan.(*) Restu Ashari Putra. Lahir di Jakarta, 31 Desember 1985. Alumnus (S-1) Fakultas Dakwah&Komunikasi, UIN SGD Bandung.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/