Dua rumah dari rumahku, adalah rumah Niyala. Gadis yang beberapa hari ini kerap datang bermain ke rumahku sendirian. Kadangkala saat pekerjaan kantor menumpuk, Niyala datang dan mengajakku bermain.
Cerpen: Miftah Fadhli
Ah…
SIAPA sangka kelucuan dan kecantikannya mampu menyihirku? Dengan segera kutinggalkan pekerjaan yang menumpuk, menuruti ajakan Niyala bermain kuda-kudaan atau rumah-rumahan.
Tiga bulan aku telah mendiami rumah ini. Belum sekalipun aku berkunjung ke rumah Niyala. Pertama kali aku pindah, justru Niyala yang bertandang ke rumahku membawakan sepiring kolak pisang untukku.
Seperti yang kukatakan tadi, ia datang (selalu) sendirian. Tanpa ibu atau ayah yang menemani. Ia selalu datang dengan boneka panda lusuh di tangan. Satu-satunya mainan yang ia miliki, katanya kepadaku.
Niyala, yang selalu memasang wajah ceria, bertanya padaku, “Om sudah punya isteri?” Tentu saja aku kaget dengan pertanyaan itu. Bagaimana bisa Niyala, gadis lima tahun yang berjalan sendirian dari rumahnya, bertanya hal yang demikian. Tidakkah itu terlalu dewasa. Ah.
Perlu kuceritakan, bahwa kepindahanku ke rumah ini semata-mata adalah sebuah pelarian. Pelarian dari rasa sakit hati yang terlanjur memuncak.
Hampir tidak terukur rasa sakit hati itu hingga aku memilih untuk benar-benar melepaskan segala cerita di balik rasa sakit hati itu. Jika kuceritakan ini pada Niyala, jelas ia tidak akan mengerti. Tapi ia terus saja mendesakku agar menjawab pertanyaannya.
Ah, Niyala.
Aku mengangkatnya ke pangkuanku. Saat itu hujan. Suara hujan terdengar bergemerontangan, mendarat pada permukaan seng rumahku.
Pekerjaan kantor masih bertumpuk- tumpuk dalam file di laptopku.
Niyala membangunkanku dari kesibukan kerja yang semakin hari semakin padat. Bisa kurasakan bulu-bulu tangan Niyala yang bergerak tegang akibat udara dingin yang diam di titik 27 derajat. Kuminumkan padanya segelas teh manis untuk menghangatkan tubuhnya.
“Isteri om ada di mana sekarang?” desak Niyala, menatap tajam ke arahku.
Ah. Kenapa aku gugup? Bagaimana bisa suasana dingin ini berubah menjadi rikuh? Wajah Niyala, yang menggetarkan. Wajah yang belakangan ini selalu hadir menepis kenangan terburuk dalam hidupku. Wajah yang belakangan menghilangkan segala risau dan penyesalanku. Wajah yang bisa tiba-tiba hadir seperti hujan tak terduga di siang hari. Ah, Niyala.
Tatapan matanya kepadaku.
Pipi tembamnya yang tersorong ke samping dan menciptakan dua ceruk kecil saat tersenyum. Siapa yang bisa mengatasi itu? “Isteri om ada di suatu tempat, jauh di sini……” ucapku sambil menunjuk dadaku, “……dan tidak akan kembali.” Niyala memiringkan kepala ke kanan.
Alisnya mengerucut ke bawah.
Keningnya menciut. Tatapan matanya sedikit longgar. Ia tampak sedang mencerna kata-kataku, yang tentunya, tidak dia mengerti. Dimain- mainkannya boneka panda yang sejak tadi ia dekap. Kadang ia pelintir telinganya. Kadang ia ciumi pipi berbulunya. Kadangpula ia sorong- sorongkan ke dadaku, seperti menyorongkan mobil mainan.
“Jadi om sendirian?” “Iya, Niyala.” Yang tidak aku mengerti adalah, kenapa orangtuanya tak pernah mengantar Niyala atau menjemput Niyala dari rumahku. Bahkan untuk sekedar berjumpa dan berkenalan denganku, tetangga barunya, tidak pernah.
Aku juga tidak pernah melihat kedua orangtua Niyala di luar rumah. Rumahnya terlihat kosong. Seperti tak ada yang menghuni.
Hanya kain-kain basah sehabis dicuci yang diselonjorkan di pagar tanaman rumahnya, yang menandakan rumah itu berpenghuni.
Kadang aku mendengar suara mengiris bagai tangis dari dalam rumah.
Kadang terdengar suara benda seperti diseret dan bantingan pintu.
Tanpa mau tahu suara apa itu, aku bergegas melintas di depan rumah itu. Tak pernah sekalipun aku mau berpikir tentang sesuatu di dalam rumah Niyala.
“Niyala, bibir kamu kenapa?” *** Sudah seminggu lebih tiga hari Niyala tidak berkunjung ke rumahku.
Ini tidak biasanya karena Niyala selalu berkunjung ke rumah setiap hari atau tiga hari sekali. Aku mulai cemas. Aku juga sering mendengar suara ribut entah dari mana. Aku pikir suara itu berasal dari rumah sebelah.
Namun pemilik rumah mengaku tidak melakukan suatu hal sehingga menimbulkan suara sedemikian ricuh. Mereka yang ternyata juga mendengar suara gaduh itu juga tidak tahu suara tersebut berasal dari mana.
Niyala? Suatu pagi aku mencoba iseng bertandang ke rumahnya. Tidak ada pakaian dijemur. Tidak ada suara apapun dari dalam. Tidak seperti biasanya rumah itu terlihat benar-benar kosong. Lampu teras masih menyala bahkan telah berkurang pencahayaannya karena tidak pernah dimatikan. Lantai teras terlihat sangat kotor. Ada genangan air berkumpul di sudut teras. Semut-semut berjejer rapi merayap di dinding membawa segala makanan dan telur di pundak mereka. Betapa sepi. Betapa asing.
Aku mengintip dari jendela hitam ke dalam rumah. Perabotan rumah masih ada di tempat. Lampu di ruang tengah juga masih menyala. Namun tak ada pergerakan sama sekali.
Huh. Kenapa tiba-tiba aku sangat merindukan Niyala? Merindukan kehadiran senyumnya yang dapat menuntaskan kekesalanku pada perempuan yang telah mengkhianatiku beberapa bulan lalu. Setelah sekian lama hal itu terpendam karena Niyala selalu hadir dalam kehidupanku, kini perasaan itu muncul kembali seperti gabus yang ditenggelamkan ke dalam air. Sangat ringan. Begitu mudah muncul ke permukaan.
Setiap hari aku selalu memperlambat gerakanku saat melintas di depan rumah Niyala. Berharap ada tanda-tanda memuaskan dari Niyala.
Lebih dari itu, aku berharap saat aku melintas di depan rumahnya, Niyala membuka pintu rumahnya dan melonjak ke pelukanku saat kami bertemu dan bersitatap.
Hingga waktu berganti bulan untuk kedua kalinya, Niyala tidak pernah lagi berkunjung ke rumahku.
Hari-hariku diisi dengan kegiatan serupa, saat aku belum mengenal Niyala.
Bersiteru dengan file-file kantor yang mesti kuselesaikan. Bersiteru dengan perasaan kecewa atas pengkhianatan yang dilakukan isteriku.
Bersiteru dengan penyesalan yang sakitnya seperti dihantam gagang parang di pelipis. Dan ditambah lagi dengan persiteruan batinku yang terus saja menanyakan keberadaan Niyala.
Niyala yang wajah imutnya tibatiba hilang begitu saja tanpa memberi kabar. Ia hilang bersama senyum manisnya yang menciptakan dua ceruk dangkal di kedua pipi gembilnya. Mata coklatnya, alis tipisnya, hidung mancungnya, dan segala hal yang ia bawa serta ke kehidupanku tiba-tiba seperti memaksaku untuk mencaritahu keberadaannya.
Sungguh, ada yang tidak beres dengan degup jantungku.
Degup jantung yang tibatiba kencang setelah bulan ketiga Niyala tidak datang ke rumahku.
Niyala, apakah…….? *** Sore yang basah, tanpa sengaja aku melihat pintu rumah Niyala terbuka lebar. Lampu teras tidak menyala.
Entah karena dimatikan atau mati dengan sendirinya. Aku melihat seorang wanita hilir mudik, mengangkat barang-barangnya ke teras.
Dua buah koper besar telah ada di depan jendela rumah Niyala. Mungkin berisi pakaian, atau apa? Tapi aku tidak melihat Niyala sama sekali.
Aku mencoba mendatangi rumahnya dan bertemu dengan wanita itu.
Mungkinkah itu ibu Niyala? Ah, begitu muda wanita itu. Tapi, kenapa ia terlihat cemas? Tidak. Lebih dari itu, ia terlihat sedih. Matanya sembab.
Pipinya bengkak dan berwarna kebiruan.
Airmata terus saja mengalir dari mata sayunya yang telah berkantung itu.
Aku iseng berucap, “Selamat sore.
Perkenalkan, saya Fadil. Anda ibunya Niyala, bukan?”.
Wanita itu tersenyum, menjabat tanganku. Ah, ada yang tidak beres dengan senyumnya.
Tangannya dingin.
Pada jemarinya terdapat bekas goresan berwarna merah. Ia mengeluarkan dua kursi.
Satu untukku, satu lagi untuknya.
“Silahkan duduk. Sudah lama kita tidak bertemu, ya?” katanya.
Aku mendesah. Kita memang tidak pernah bertemu nona, gerutuku dalam hati. Kuperhatikan wajahnya. Ada kilat kesedihan yang melebihi kesedihanku. Aku tidak tenang.
Mataku terus melirik ke dalam rumah.
Mungkin saja Niyala ada di dalam. Bersembunyi. Aku enggan menanyakan keberadaan Niyala pada wanita ini. Tapi pikiranku terus saja mendesak agar pertanyaan itu kuucapkan. Sangat kuat. Ah, aku menyerah.
“Maaf, boleh saya bertemu dengan Niyala?” tanyaku, ragu-ragu.
*** Malam mengerucut tepat di angka dua belas. Mendung menghalangi bulan menggelantung di angkasa.
Aku termenung di teras rumah.
Memperhatikan satu atau dua bintang yang sesekali berkerlip redup.
Angin dingin menyambar tengkukku.
Membuatku sekali lagi menuangkan teh ke gelas. Menyeruputnya sampai habis. Berharap hawa dingin yang tadi menelusup ke dalam tubuhku menguap. Seperti asap yang mengepul dari permukaan teh. Seperti embun yang tadi pagi ada, dan kini tak ada. Seperti senyum Niyala yang dulu hadir dalam kehidupanku, dan kini hilang begitu saja.
Bibir Niyala yang beberapa bulan lalu mengeluarkan darah, adalah cerita lain dari senyum menggemaskannya.
Ia lari begitu saja saat kutanyakan soal bibirnya yang biru dan pecah. Aku tidak tahu ternyata ada luka yang lebih besar dalam dirinya yang membuatnya pupus dari kehidupanku kini. Ada luka yang tak terobati, tidak hanya pada diri Niyala, tapi dalam diri dan perasaan ibunya.
Aku juga tidak menyadari bahwa pertemuanku dengan Niyala saat itu adalah yang terakhir, sebelum ayah Niyala yang berengsek itu, dengan mudahnya melayangkan tamparan di pipi gembil Niyala. Pria pemabuk yang tiap hari menimbulkan suara gaduh itu adalah pembunuh yang sukses menebas kehidupanku yang perlahan mulai pulih. Dia adalah laki-laki yang sukses membuat luka besar dalam diri Niyala dan ibunya. Dan kini ia mendekam dalam penjara untuk beberapa tahun ke depan.
Rumahnya, kini benar-benar ditinggalkan.
Ibunya yang waktu itu berada di kampung halamannya, kembali ke rumah untuk mengemasi barangbarangnya.
Semua perabotan di rumah itu diangkat. Rumah itu dibiarkan kosong. Tak ada niat ibunya untuk kembali lagi ke rumah itu. Di kampung halamannyalah, ada Niyala dan segala kenangan menyedihkan yang terbaring begitu saja. Tampaknya ibunya ingin terus berada di dekat pusaranya yang beku. Tanpa memperdulikan perasaanku yang juga ingin berada di dekat Niyala.
Ah, Niyala. Saat kuperhatikan langit mendung, aku menyaksikan cahaya bulan perlahan muncul dari balik awan. Bulan sabit berwarna kekuningan itu mengingatkanku padamu. Pada senyummu.(*)