Oleh: Herdiansyah
Wakil Pemimpin Redaksi Sumut Pos
Musim hujan datang lagi. Banjir pun kembali menghantui. Ribuan kepala keluarga (KK) yang tinggal di bantaran daerah aliran sungai (DAS) Deli dan Babura pun harus pasrah. ‘Tamu’ tahunan itu rutin datang. Tak bisa ditolak.
Tak hanya warga yang tinggal di bantaran sungai. Warga yang tinggal di beberapa kawasan yang jauh dari bantaran sungai pun, tiap tahun juga ikut kebanjiran “Salah, bukan banjir. Itu genangan air. Banjir itu akibat meluapnya sungai. Genangan air itu akibat drainase yang tak mampu menampung debit air hujan.”
Itu kalimat bernada protes dari seorang pejabat di Dinas Bina Marga Kota Medan karena ada perbedaaan penyebutan banjir di masyarakat. Terserah mana penyebutan yang benar. Tapi yang jelas saat musim hujan, banyak warga kota ini yang menderita karena terendam air.
Rekam jejak banjir di kota ini terdokumentasi dengan baik. Datang saja ke kantor Dinas Bina Marga Medan, di belakang Terminal Pinang Baris. Dari dokumen yang ada, kita bisa mengurut banjir besar yang pernah melanda kota ini. Termasuk banjir yang terjadi saat masa kolonial.
Banyak proyek penanggulangan banjir yang telah dilakukan. Ratusan miliar uang rakyat, hingga triliunan rupiah dana pinjaman dari Japan International Cooperation Agency (JICA) telah digelontorkan. Mulai proyek penanggulangan banjir yang dilakukan Badan Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Pemprovsu, hingga proyek yang dilakukan Pemko Medan. Tapi, banjir tetap tak tertanggulangi.
Pemerintah kolonial sebenarnya punya grand design penanggulangan banjir di Kota Medan. Terbukti saat proyek Medan Metropolitan Urban Development (MMUDP) dilakukan pada rentang 1983 hingga 1994, ditemukan tiga gorong-gorong raksasa yang memanjang dan bercabang di bawah tanah Kota Medan.
Tak jelas kapan gorong-gorong itu dibangun Belanda. Saat ditemukan gorong-gorong itu dalam kondisi baik. Berpusat di kawasan Sambu memanjang ke beberapa kawasan, sebelum akhirnya berakhir di Sungai Deli. “Besar, dua truk colt diesel muat,” ujar seorang pensiunan Dinas PU Medan (sekarang Dinas Bina Marga) yang dulu terlibat proyek tersebut.
Meski dalam kondisi baik, gorong-gorong raksasa itu tak bisa difungsikan. Pasalnya, di beberapa titik terputus oleh fondasi bangunan. Bangunan Medan Mall di Jalan MT Haryono, merupakan satu di antara ratusan bangunan yang didirikan persis di atas gorong-gorong itu. “Gorong-gorong itu sebenarnya bisa memecah debit air Sungai Deli, sehingga luas genangan air bisa dikurangi. Juga bisa jadi drainase induk, sehingga tak ada lagi genangan air akibat tingginya debit air hujan,” ujar pensiunan itu.
Proyek MMUDP yang dikerjakan hampir satu dekade juga tak banyak manfaatnya. Proyek itu sendiri dibagi dalam tiga tahap: MMUDP I khusus normalisasi Sungai Deli, MMUDP II dan III khusus untuk pembangunan drainase di pusat kota. Proyek multi years yang menghabiskan uang rakyat ratusan miliar itu, tak bisa difungsikan maksimal.
“Sebenarnya jika proyek drainase dari proyek MMUDP terawat dengan baik, genangan air atau banjir di kota ini bisa sebagian besar teratasi,” ujar seorang mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Medan.
Pejabat berperawakan tinggi besar itu mengatakan, proyek drainase MMUDP memang tak pernah dirawat. Sehingga lambat laun tak berfungsi karena tingginya tingkat sedementasi. Tak hanya itu, ratusan bangunan yang dibiarkan dibangun di atas drainase tersebut, makin memperburuk kondisi.
Mengapa tak dirawat? Sebenarnya Pemko Medan berniat merawatnya. Namun perawatan tak bisa dilakukan. Pasalnya banyak dokumen MMUDP yang hilang atau tak dimiliki Pemko Medan. Tak jelas mengapa bisa begitu. Namun dari lima buku MMUDP I, II, dan III hanya Buku 1, 4, dan 5 yang dimiliki Pemko Medan. “Peta drainasenya ada di Buku II dan III.
Jadi bagaimana kita melakukan perawatan kalau kita tak punya Buku II dan III. Gak mungkin kita melakukan perawatan tanpa mengetahui, di mana saja lokasi drainasenya,” tambahnya saat itu.
Pejabat yang kini telah memasuki usia pensiun itu, kemudian saya ikut mencari keberadaan buku MMUDP yang hilang. (bersambung)