30.5 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

DPRD Pilih Gubernur, Itu Akal-akalan

JAKARTA-Gagasan pemerintah mengenai perubahan mekanisme pemilihan gubernur (pilgub), langsung menuai kecurigaan. Jika disahkan, maka rakyat akan kehilangan hak suara. Pemilihan gubernur pun hanya ‘kerjaan’ wakil rakyat yang ada di DPRD provinsi saja.

Fraksi PKS di DPR pun menolak materi RUU tentang pemilukada tersebut. Bagi mereka, Partai Demokrat yang hingga saat ini masih menguasai DPRD di sebagian besar daerah, sudah bisa dipastikan akan menangguk keuntungan dengan model teranyar yang ditawarkan pemerintah ini. Dengan kata lain, calon gubernur yang diusung Partai Demokrat lah yang terbanyak bakal memenangkan pemilukada oleh DPRD ini.

Wakil Ketua Fraksi PKS di DPR, Agus Purnomo, menyatakan, jika gubernur dipilih oleh DPRD  maka akan dengan mudah memetakan siapa calon yang akan menang, cukup dengan melihat jumlah anggota masing-masing fraksi di DPRD. “Petanya sudah kelihatan kalau di DPRD. Tinggal nego-nego sedikit,” ujar Agus Purnomo, yang juga anggota Komisi II DPR, kepada Sumut Pos, Minggu (13/5).

Dikatakan Agus, para gubernur asal PKS sudah memberikan masukan ke DPP PKS mengenai penolakannya terhadap tawaran model Pilgub oleh DPRD ini. “Aspirasi para gubernur dari PKS, Pilgub langsung oleh rakyat lebih fair,” ujarnya.

Seperti diberitakan, pemerintah bersama DPR akan mulai membahas RUU tentang pemilukada pada 30 Mei mendatang. RUU ini akan mengatur perubahan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota dan wakilnya.

Kapuspen Kemendagri Reydonnyzar ‘Donny’ Moenek menjelaskan, RUU yang sudah diserahkan ke DPR pada 24 Januari 2012 lalu dijadwalkan mulai dibahas di DPR pada 30 Mei 2012. Diawali dengan penyampaian keterangan resmi dari pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Dalam Negeri. Selanjutnya, DPR kemudian akan membentuk pansus, panja, sampai RDP. Sesuai dengan tatib kata Donny, RUU Pemilukada ini, diupayakan bisa diberlakukan tahun ini juga.

“Tahun ini juga (rampung), kan sesuai dengan tatib (tata-tertib DPR RI)  tidak boleh melampaui dua kali masa sidang. Kalaupun ada perpanjangan, masih ada satu kali masa sidang  jadi tidak boleh lebih dari tiga kali masa sidang,’’ ujar Donny.

Namun jika harus molor hingga akhir tahun atau lebih, pemilihan gubernur oleh DPRD itu baru bisa dilakukan pada 2014 mendatang. Pasalnya, kata Donny UU yang baru disahkan membutuhkan masa sosialisasi sebelum diaplikasikan.

‘’Tergantung pada pasal peralihan  kapan itu (undang-undang) diberlakukan, setahun atau dua tahun (setelah disahkan). Akankah masih harus ada turunan PP (peraturan pemerintah) atau Permen (peraturan menteri),’’ paparnya.

Dalam RUU itu, pemerintah mengajukan usulan, pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD provinsi. Sedang wakilnya, calonnya diusulkan oleh gubernur terpilih setelah enam bulan menjabat dan dipilih oleh DPRD.

Alasannya, selain untuk menekan biaya pemilukada, juga untuk mengakhiri maraknya fenomena pecah kongsi antara kepala daerah dengan wakilnya. Dengan model calon wakil diusulkan oleh kepala daerah, diharapkan si wakil nurut dengan kepala daerah.

Agus tidak serta merta setuju dengan alasan pemerintah itu. Soal alasan penghematan, dia setuju. Namun, Agus menolak alasan pecah kongsi. “Pecah kongsi itu biasa dalam politik. Tidak mengganggu pemerintahan. Kalau dianggap masalah, biar mereka berdua yang menyelesaikan,” ujar Agus.
Mengenai posisi wakil yang proses pencalonannya diambilkan dari birokrat tertinggi, juga ditentang PKS. Menurutnya, akan muncul persoalan jika kepala daerahnya berhalangan tetap dan wakilnya naik menggantikannya. “Padahal dia birokrat, yang harus netral. Sementara jabatan kepala daerah itu jabatan politis,” kata Agus. “Jadi, secara prinsip, kita juga tak setuju wakil dijabat birokrat,” imbuhnya.

Terpisah, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeiry Sumampow, menilai, gagasan pemerintah yang dituangkan di RUU pemilukada ini gampang terbaca. “Ini upaya partai-partai besar untuk bisa mengambil jabatan gubernur,” ujar Jeiry.

Praktik politik uang, lanjutnya, juga akan sama saja. Para anggota DPRD sudah paham dan sudah bisa memperkirakan berapa calon harus mengeluarkan uang jika lewat pemilukada langsung. “Nah, sebesar itu pula nanti para anggota DPRD akan memasang angka dan dilanjutkan nego. Jadi, alasan pemerintah akan menekan politik uang, belum kuat,” ujarnya.

Terkait dengan alasan pecah kongsi, menurut pria asal Manado itu, sebenarnya pemerintah bisa membuat aturan untuk mengatasinya. Pertama, pembagian kewenangan antara kada dengan wakilnya harus diperjelas. Kedua, dibuat aturan bahwa jika kepala daerahnya bermasalah, misalnya tersangkut korupsi, maka wakilnya juga harus ikut dicopot. Jika saat maju dengan sistem paket, maka pemberhentian juga sistem paket. “Ini akan memaksa mereka untuk saling membutuhkan. Satu mundur, dua-duanya gugur,” ulas Jeiry.

Potensi konflik juga akan tetap muncul jika gubernur dipilih oleh DPRD. Tatkala keinginan rakyat terhadap calon berbeda dengan DPRD, maka rakyat akan dengan gampang dimobilisasi untuk protes ke dewan.

Jeiry memperkirakan, materi RUU ini akan mentok saat dibahas di DPR. Karenanya, dia menyarankan pemerintah untuk mmebuat kajian yang mendalam sehingga bisa mengajukan argumen-argumen yang kuat.

Sebelumnya, Reydonnyzar Moenek menjelaskan, untuk bupati dan wali kota, tetap dipilih lewat pemilukada langsung. Hanya saja, untuk wakil bupati dan wakil wali kota, calonnya diusulkan bupati/walikota terpilih. “Calon wakil bupati dan wakil walikota diusulkan dari kalangan birokrat tertinggi di daerah,” imbuhnya.

Untuk calon wakil bupati/wakil walikota, harus birokrat eselon IIA. Untuk calon gubernur, birokrat eselon 1B. “Ini agar loyalitas ke kepala daerah, bisa terjaga, karena belakangan marak fenomena pecah kongsi,” papar Donny.

Untuk pemilihan wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota ini, dilakukan enam bulan kepala daerah terpilih menjabat. Jadi, selama enam bulan pertama, tidak ada wakil. Targetnya, UU pemilukada, yang merupakan pecahan dari UU pemda, sudah bisa terbit tahun ini. (sam)

RUU Pemilukada

  • Diserahkan ke DPR RI: 24 Januari 2012
  • Dibahas di DPR Ri: Mulai 30 Mei 2012
  • Target Selesai: Akhir tahun

Usulan:

  1. Pemilihan Gubernur melalui DPRD provinsi; tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat.
  2. Bupati/wali kota tetap dipilih oleh rakyat
  3. Tidak ada sistem satu paket atau berpasangan, melainkan hanya pemimpin daerah saja.
  4. Wakil kepala daerah, baik tingkat kabupaten maupun provinsi akan diusulkan oleh kepala daerah terpilih enam bulan kemudian.
  5. Wakil kepala daerah berasal dari pejabat birokrasi tertinggi di daerah. Di provinsi eselon 1B, maka di kabupaten kota eselon IIA.

Sumber: Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Reydonnyzar Moenek

 

JAKARTA-Gagasan pemerintah mengenai perubahan mekanisme pemilihan gubernur (pilgub), langsung menuai kecurigaan. Jika disahkan, maka rakyat akan kehilangan hak suara. Pemilihan gubernur pun hanya ‘kerjaan’ wakil rakyat yang ada di DPRD provinsi saja.

Fraksi PKS di DPR pun menolak materi RUU tentang pemilukada tersebut. Bagi mereka, Partai Demokrat yang hingga saat ini masih menguasai DPRD di sebagian besar daerah, sudah bisa dipastikan akan menangguk keuntungan dengan model teranyar yang ditawarkan pemerintah ini. Dengan kata lain, calon gubernur yang diusung Partai Demokrat lah yang terbanyak bakal memenangkan pemilukada oleh DPRD ini.

Wakil Ketua Fraksi PKS di DPR, Agus Purnomo, menyatakan, jika gubernur dipilih oleh DPRD  maka akan dengan mudah memetakan siapa calon yang akan menang, cukup dengan melihat jumlah anggota masing-masing fraksi di DPRD. “Petanya sudah kelihatan kalau di DPRD. Tinggal nego-nego sedikit,” ujar Agus Purnomo, yang juga anggota Komisi II DPR, kepada Sumut Pos, Minggu (13/5).

Dikatakan Agus, para gubernur asal PKS sudah memberikan masukan ke DPP PKS mengenai penolakannya terhadap tawaran model Pilgub oleh DPRD ini. “Aspirasi para gubernur dari PKS, Pilgub langsung oleh rakyat lebih fair,” ujarnya.

Seperti diberitakan, pemerintah bersama DPR akan mulai membahas RUU tentang pemilukada pada 30 Mei mendatang. RUU ini akan mengatur perubahan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota dan wakilnya.

Kapuspen Kemendagri Reydonnyzar ‘Donny’ Moenek menjelaskan, RUU yang sudah diserahkan ke DPR pada 24 Januari 2012 lalu dijadwalkan mulai dibahas di DPR pada 30 Mei 2012. Diawali dengan penyampaian keterangan resmi dari pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Dalam Negeri. Selanjutnya, DPR kemudian akan membentuk pansus, panja, sampai RDP. Sesuai dengan tatib kata Donny, RUU Pemilukada ini, diupayakan bisa diberlakukan tahun ini juga.

“Tahun ini juga (rampung), kan sesuai dengan tatib (tata-tertib DPR RI)  tidak boleh melampaui dua kali masa sidang. Kalaupun ada perpanjangan, masih ada satu kali masa sidang  jadi tidak boleh lebih dari tiga kali masa sidang,’’ ujar Donny.

Namun jika harus molor hingga akhir tahun atau lebih, pemilihan gubernur oleh DPRD itu baru bisa dilakukan pada 2014 mendatang. Pasalnya, kata Donny UU yang baru disahkan membutuhkan masa sosialisasi sebelum diaplikasikan.

‘’Tergantung pada pasal peralihan  kapan itu (undang-undang) diberlakukan, setahun atau dua tahun (setelah disahkan). Akankah masih harus ada turunan PP (peraturan pemerintah) atau Permen (peraturan menteri),’’ paparnya.

Dalam RUU itu, pemerintah mengajukan usulan, pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD provinsi. Sedang wakilnya, calonnya diusulkan oleh gubernur terpilih setelah enam bulan menjabat dan dipilih oleh DPRD.

Alasannya, selain untuk menekan biaya pemilukada, juga untuk mengakhiri maraknya fenomena pecah kongsi antara kepala daerah dengan wakilnya. Dengan model calon wakil diusulkan oleh kepala daerah, diharapkan si wakil nurut dengan kepala daerah.

Agus tidak serta merta setuju dengan alasan pemerintah itu. Soal alasan penghematan, dia setuju. Namun, Agus menolak alasan pecah kongsi. “Pecah kongsi itu biasa dalam politik. Tidak mengganggu pemerintahan. Kalau dianggap masalah, biar mereka berdua yang menyelesaikan,” ujar Agus.
Mengenai posisi wakil yang proses pencalonannya diambilkan dari birokrat tertinggi, juga ditentang PKS. Menurutnya, akan muncul persoalan jika kepala daerahnya berhalangan tetap dan wakilnya naik menggantikannya. “Padahal dia birokrat, yang harus netral. Sementara jabatan kepala daerah itu jabatan politis,” kata Agus. “Jadi, secara prinsip, kita juga tak setuju wakil dijabat birokrat,” imbuhnya.

Terpisah, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeiry Sumampow, menilai, gagasan pemerintah yang dituangkan di RUU pemilukada ini gampang terbaca. “Ini upaya partai-partai besar untuk bisa mengambil jabatan gubernur,” ujar Jeiry.

Praktik politik uang, lanjutnya, juga akan sama saja. Para anggota DPRD sudah paham dan sudah bisa memperkirakan berapa calon harus mengeluarkan uang jika lewat pemilukada langsung. “Nah, sebesar itu pula nanti para anggota DPRD akan memasang angka dan dilanjutkan nego. Jadi, alasan pemerintah akan menekan politik uang, belum kuat,” ujarnya.

Terkait dengan alasan pecah kongsi, menurut pria asal Manado itu, sebenarnya pemerintah bisa membuat aturan untuk mengatasinya. Pertama, pembagian kewenangan antara kada dengan wakilnya harus diperjelas. Kedua, dibuat aturan bahwa jika kepala daerahnya bermasalah, misalnya tersangkut korupsi, maka wakilnya juga harus ikut dicopot. Jika saat maju dengan sistem paket, maka pemberhentian juga sistem paket. “Ini akan memaksa mereka untuk saling membutuhkan. Satu mundur, dua-duanya gugur,” ulas Jeiry.

Potensi konflik juga akan tetap muncul jika gubernur dipilih oleh DPRD. Tatkala keinginan rakyat terhadap calon berbeda dengan DPRD, maka rakyat akan dengan gampang dimobilisasi untuk protes ke dewan.

Jeiry memperkirakan, materi RUU ini akan mentok saat dibahas di DPR. Karenanya, dia menyarankan pemerintah untuk mmebuat kajian yang mendalam sehingga bisa mengajukan argumen-argumen yang kuat.

Sebelumnya, Reydonnyzar Moenek menjelaskan, untuk bupati dan wali kota, tetap dipilih lewat pemilukada langsung. Hanya saja, untuk wakil bupati dan wakil wali kota, calonnya diusulkan bupati/walikota terpilih. “Calon wakil bupati dan wakil walikota diusulkan dari kalangan birokrat tertinggi di daerah,” imbuhnya.

Untuk calon wakil bupati/wakil walikota, harus birokrat eselon IIA. Untuk calon gubernur, birokrat eselon 1B. “Ini agar loyalitas ke kepala daerah, bisa terjaga, karena belakangan marak fenomena pecah kongsi,” papar Donny.

Untuk pemilihan wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota ini, dilakukan enam bulan kepala daerah terpilih menjabat. Jadi, selama enam bulan pertama, tidak ada wakil. Targetnya, UU pemilukada, yang merupakan pecahan dari UU pemda, sudah bisa terbit tahun ini. (sam)

RUU Pemilukada

  • Diserahkan ke DPR RI: 24 Januari 2012
  • Dibahas di DPR Ri: Mulai 30 Mei 2012
  • Target Selesai: Akhir tahun

Usulan:

  1. Pemilihan Gubernur melalui DPRD provinsi; tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat.
  2. Bupati/wali kota tetap dipilih oleh rakyat
  3. Tidak ada sistem satu paket atau berpasangan, melainkan hanya pemimpin daerah saja.
  4. Wakil kepala daerah, baik tingkat kabupaten maupun provinsi akan diusulkan oleh kepala daerah terpilih enam bulan kemudian.
  5. Wakil kepala daerah berasal dari pejabat birokrasi tertinggi di daerah. Di provinsi eselon 1B, maka di kabupaten kota eselon IIA.

Sumber: Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Reydonnyzar Moenek

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/