30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Korupsi dan Moral yang Terpinggirkan

Oleh: Supriadi Purba

Kembali menguak dan mengapungnya persoalan kasus pembangunan proyek Hambalang yang sedianya diperuntukkan untuk pemusatan latihan para atlet Indonesia yang disinyalir penuh dengan kejanggalan-kejanggalan bahkan telah menjurus kepada persoalan korupsi, seakan mengindikasikan bahwa persoalan korupsi di Indonesia tidak akan pernah habis dibahas.

Korupsi sudah menjadi isu yang menjadi perbincangan sehari-hari masyarakat Indonesia. Para koruptor sudah menjadi artis dadakan yang menghiasi pemberitaan baik di media cetak maupun di media elektronik. Bahkan kalau dilakukan survei berkaitan mana yang lebih terkenal artis sinetron dari pada koruptor sekelas Gayus Tambunan, maka jawabannya bisa saja Gayus Tambunan. Ini menunjukkan bahwa Indonesia bisa dibilang sebagai Negara para koruptor sehingga para pelaku lebih dikenal dari pada artis sinetron sekalipun.

Namun walaupun kemudian sudah menjerat para pelaku dan menjebloskan ke penjara, tidak ada istilah kapok. Pada prinsipnya, efek jera dari sanksi yang diberikan tidak berdampak pada menurunnya jumlah para koruptor. Hal ini menunjukkan bahwa harus ada sanksi yang tegas yang harus diatur dan memberikan efek jera sehingga ada ketakutan untuk mengkorupsikan uang Negara.

Pada dasarnya kesempatan untuk korupsi sangat terbuka disemua lini lembaga Negara yang ada, mulai dari pemerintahan pusat sampai daerah baik di Eksekutif, Legeslatif maupun Yudikatif. Oleh karena itu seorang Gayus Tambunan yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan 3 A mampu mengumpulkan uang puluhan miliar. Pertanyaanya adalah bagaimana petinggi atau pejabat Negara yang posisinya sudah berada di atas angin,  apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau lebih parah lagi?.

Belum selesai fenomena Gayus, satu persatu koruptor kelas kakap dicekal oleh KPK mulai dari Nazaruddin, Nunun, Miranda Gultom, Angelina Sondakh dan semua yang disangka terlibat dalam kasus wisma atlet yang telah dibukakan oleh Mindo Rosalina Manullang. Dengan pemberitaan media yang secara rutin menyiarkannya maka opini sehari-hari publik adalah korupsi dan korupsi.

Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya diperkuat sehingga dengan kewenangan yang dimilikinya tidak ada kemudian tebang pilih bagi para pelaku. Negara dengan kesadarannya, harus mampu menjadikan KPK sebagai kekuatan untuk menghalau para koruptor sehingga kedepannya kesempatan untuk melakukan penggelapan uang rakyat semakin kecil dan berangsur-angsur hilang.

Di satu sisi, hukuman bagi para koruptor harus mampu memberikan efek jera. Hukuman yang setimpal dengan perbuatannya adalah sebuah sanksi yang menjadi satu ketakutan bagi para koruptor. Ketegasan Negara sangat dibutuhkan apalagi selama ini sepertinya diberi ruang bagi para pelaku korupsi untuk bebas dan hukuman yang sangat minim.

Moral Yang Terpinggirkan

Jangan salahkan banyak masyarakat kemudian berpandangan jikalau bangsa ini sudah mengalami krisis moral. Krisis moral yang mengantarkan pada hilangnya akal sehat dan lahirnya para pelaku yang menyesatkan bangsa yang besar ini. Hal ini didukung oleh fakta yang menunjukkan grafik para koruptor semakin mengkawatirkan setiap tahunnya. Triliunan uang Negara ludes akibat keserakahan segelintir orang yang memiliki kepentingan dan kekuasaan. Jikalau kemudian kepercayaan masyarakat semakin minim itu adalah bukti masyarakat sudah mengambil sikap. Sikap masyarakat bisa melalui tidak mau memberikan hak suaranya pada pemilu atau pemilihan kepala desa, yang sudah terbukti di daerah-daearah yang sudah melakukan pilkada. Dimana masyarakat yang memberikan hak suaranya tidak sampai 70 persen, selebihnya sudah memilih untuk diam dan tidak percaya pada sistem atau pemimpinnya sendiri.

Gejala ini kemudian diprediksi akan semakin besar pada pemilu 2014, golongan putih yang menjadi sebuah pilihan masyarakat akan menjadi pemenang, apalagi kebijakan pemerintahan selama ini tidak mendukung masyarakat pada umumnya selanjutnya ditambahai dengan fenomena korupsi para aparat Negara yang memakan uang masyarakat.

Oleh karenanya, pilihan yang diambil masyarakat tersebut adalah sebuah jalan untuk mengubah sistem secara tidak langsung. Contoh berkaitan tidak memberikan hak suara dalam pemilu atau pilkada hanya satu dari bayak kasus yang sudah dilakukan masyarakat. Kepercayaan masyarakat harus diobati dengan kebijakan dan ketegasan para Pemerintah. Apalagi ada wacana untuk menaikkan BBM pada tahun 2012, maka makin parahlah keadaan masyarakat dengan diikuti oleh naiknya kebutuhan bahan pokok yang merupakan kebutuhan langsung masyarakat.

Bahaya Laten Korupsi

Korupsi telah menjadi denyut nadi dan nafas kehidupan negeri ini, sehingga tidak heran jika popularitas bangsa ini tetap bertahan sebagai bangsa yang terkorup di dunia. Bagaimana tidak, bahwa setiap dimensi sosial telah menjadi ruang terbuka manifestasi serta implementasi dari praktik busuk ini.
Korupsi bukan menjadi monopoli bagi penguasa di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif melainkan telah berubah ke arah milik publik secara luas. Dengan kepemilikan secara meluas tersebut membuat korupsi mendapat legalisasi dari masyarakat sehingga upaya pemberantasannya mengalami hambatan dan kesulitan. Semakin korupsi merajalela maka semakin jauh cita-cita para pendahulu bangsa kepada Indonesia yang berkeadilan, berperikemanusiaan dan berketuhanan. Siapa yang menyangkal, jikalau kemudian ada wacana bahwa semakin besar kesempatan korupsi di sebuah Negara maka Negara itu menuju ambang kehancuran. Sebuah bentuk dari kegagalan dalam memberikan sisi baik bagi masyarakat sehingga sekali lagi masyarakat kemudian merasa tertipu tatkala diperhadapkan kepada personal korupsi yang dilakukan oleh pemangku kekuasaan.

Salah satu bentuk sikap kewaspadaan bangsa, karena korupsi sudah menjadi bahaya laten bangsa ini. Hukum yang tidak memberi efek jera, membuat banyak koruptor yang masih dengan beraninya untuk membela diri dan masih mau ikut dalam percaturan politik bangsa. Tidak seperti Negara lain yang dengan kesadarannya menanggahkan jubahnya untuk turun tahta karena menyesali perbuatan yang dilakukannya yakni telah melrugikan Negara.
Membangun kesadaran adalah salah satu misi bangsa ini untuk menuju masyarakat yang berkeadilan, berprikemanusiaan dan berketuhanan. Dengan kesadaran pulalah maka bangsa ini akan semakin dihormati bukan malah dikucilkan, dengan Pemerintah semakin tegas dan Hukum menjadi Panglima maka babak baru menuju masyarakat yang bermartabat dan bermoral akan segera datang. (*)

Penulis adalah Koordinator Solidarity For Human Rights (SA-HAM)  dan sedang Bekerja Di KontraS Sumatera Utara

Oleh: Supriadi Purba

Kembali menguak dan mengapungnya persoalan kasus pembangunan proyek Hambalang yang sedianya diperuntukkan untuk pemusatan latihan para atlet Indonesia yang disinyalir penuh dengan kejanggalan-kejanggalan bahkan telah menjurus kepada persoalan korupsi, seakan mengindikasikan bahwa persoalan korupsi di Indonesia tidak akan pernah habis dibahas.

Korupsi sudah menjadi isu yang menjadi perbincangan sehari-hari masyarakat Indonesia. Para koruptor sudah menjadi artis dadakan yang menghiasi pemberitaan baik di media cetak maupun di media elektronik. Bahkan kalau dilakukan survei berkaitan mana yang lebih terkenal artis sinetron dari pada koruptor sekelas Gayus Tambunan, maka jawabannya bisa saja Gayus Tambunan. Ini menunjukkan bahwa Indonesia bisa dibilang sebagai Negara para koruptor sehingga para pelaku lebih dikenal dari pada artis sinetron sekalipun.

Namun walaupun kemudian sudah menjerat para pelaku dan menjebloskan ke penjara, tidak ada istilah kapok. Pada prinsipnya, efek jera dari sanksi yang diberikan tidak berdampak pada menurunnya jumlah para koruptor. Hal ini menunjukkan bahwa harus ada sanksi yang tegas yang harus diatur dan memberikan efek jera sehingga ada ketakutan untuk mengkorupsikan uang Negara.

Pada dasarnya kesempatan untuk korupsi sangat terbuka disemua lini lembaga Negara yang ada, mulai dari pemerintahan pusat sampai daerah baik di Eksekutif, Legeslatif maupun Yudikatif. Oleh karena itu seorang Gayus Tambunan yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan 3 A mampu mengumpulkan uang puluhan miliar. Pertanyaanya adalah bagaimana petinggi atau pejabat Negara yang posisinya sudah berada di atas angin,  apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau lebih parah lagi?.

Belum selesai fenomena Gayus, satu persatu koruptor kelas kakap dicekal oleh KPK mulai dari Nazaruddin, Nunun, Miranda Gultom, Angelina Sondakh dan semua yang disangka terlibat dalam kasus wisma atlet yang telah dibukakan oleh Mindo Rosalina Manullang. Dengan pemberitaan media yang secara rutin menyiarkannya maka opini sehari-hari publik adalah korupsi dan korupsi.

Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya diperkuat sehingga dengan kewenangan yang dimilikinya tidak ada kemudian tebang pilih bagi para pelaku. Negara dengan kesadarannya, harus mampu menjadikan KPK sebagai kekuatan untuk menghalau para koruptor sehingga kedepannya kesempatan untuk melakukan penggelapan uang rakyat semakin kecil dan berangsur-angsur hilang.

Di satu sisi, hukuman bagi para koruptor harus mampu memberikan efek jera. Hukuman yang setimpal dengan perbuatannya adalah sebuah sanksi yang menjadi satu ketakutan bagi para koruptor. Ketegasan Negara sangat dibutuhkan apalagi selama ini sepertinya diberi ruang bagi para pelaku korupsi untuk bebas dan hukuman yang sangat minim.

Moral Yang Terpinggirkan

Jangan salahkan banyak masyarakat kemudian berpandangan jikalau bangsa ini sudah mengalami krisis moral. Krisis moral yang mengantarkan pada hilangnya akal sehat dan lahirnya para pelaku yang menyesatkan bangsa yang besar ini. Hal ini didukung oleh fakta yang menunjukkan grafik para koruptor semakin mengkawatirkan setiap tahunnya. Triliunan uang Negara ludes akibat keserakahan segelintir orang yang memiliki kepentingan dan kekuasaan. Jikalau kemudian kepercayaan masyarakat semakin minim itu adalah bukti masyarakat sudah mengambil sikap. Sikap masyarakat bisa melalui tidak mau memberikan hak suaranya pada pemilu atau pemilihan kepala desa, yang sudah terbukti di daerah-daearah yang sudah melakukan pilkada. Dimana masyarakat yang memberikan hak suaranya tidak sampai 70 persen, selebihnya sudah memilih untuk diam dan tidak percaya pada sistem atau pemimpinnya sendiri.

Gejala ini kemudian diprediksi akan semakin besar pada pemilu 2014, golongan putih yang menjadi sebuah pilihan masyarakat akan menjadi pemenang, apalagi kebijakan pemerintahan selama ini tidak mendukung masyarakat pada umumnya selanjutnya ditambahai dengan fenomena korupsi para aparat Negara yang memakan uang masyarakat.

Oleh karenanya, pilihan yang diambil masyarakat tersebut adalah sebuah jalan untuk mengubah sistem secara tidak langsung. Contoh berkaitan tidak memberikan hak suara dalam pemilu atau pilkada hanya satu dari bayak kasus yang sudah dilakukan masyarakat. Kepercayaan masyarakat harus diobati dengan kebijakan dan ketegasan para Pemerintah. Apalagi ada wacana untuk menaikkan BBM pada tahun 2012, maka makin parahlah keadaan masyarakat dengan diikuti oleh naiknya kebutuhan bahan pokok yang merupakan kebutuhan langsung masyarakat.

Bahaya Laten Korupsi

Korupsi telah menjadi denyut nadi dan nafas kehidupan negeri ini, sehingga tidak heran jika popularitas bangsa ini tetap bertahan sebagai bangsa yang terkorup di dunia. Bagaimana tidak, bahwa setiap dimensi sosial telah menjadi ruang terbuka manifestasi serta implementasi dari praktik busuk ini.
Korupsi bukan menjadi monopoli bagi penguasa di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif melainkan telah berubah ke arah milik publik secara luas. Dengan kepemilikan secara meluas tersebut membuat korupsi mendapat legalisasi dari masyarakat sehingga upaya pemberantasannya mengalami hambatan dan kesulitan. Semakin korupsi merajalela maka semakin jauh cita-cita para pendahulu bangsa kepada Indonesia yang berkeadilan, berperikemanusiaan dan berketuhanan. Siapa yang menyangkal, jikalau kemudian ada wacana bahwa semakin besar kesempatan korupsi di sebuah Negara maka Negara itu menuju ambang kehancuran. Sebuah bentuk dari kegagalan dalam memberikan sisi baik bagi masyarakat sehingga sekali lagi masyarakat kemudian merasa tertipu tatkala diperhadapkan kepada personal korupsi yang dilakukan oleh pemangku kekuasaan.

Salah satu bentuk sikap kewaspadaan bangsa, karena korupsi sudah menjadi bahaya laten bangsa ini. Hukum yang tidak memberi efek jera, membuat banyak koruptor yang masih dengan beraninya untuk membela diri dan masih mau ikut dalam percaturan politik bangsa. Tidak seperti Negara lain yang dengan kesadarannya menanggahkan jubahnya untuk turun tahta karena menyesali perbuatan yang dilakukannya yakni telah melrugikan Negara.
Membangun kesadaran adalah salah satu misi bangsa ini untuk menuju masyarakat yang berkeadilan, berprikemanusiaan dan berketuhanan. Dengan kesadaran pulalah maka bangsa ini akan semakin dihormati bukan malah dikucilkan, dengan Pemerintah semakin tegas dan Hukum menjadi Panglima maka babak baru menuju masyarakat yang bermartabat dan bermoral akan segera datang. (*)

Penulis adalah Koordinator Solidarity For Human Rights (SA-HAM)  dan sedang Bekerja Di KontraS Sumatera Utara

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/